Sabtu, 20 Mei 2017

Proton, Mobil Nasional Malaysia Kurang Diminati Rakyatnya


Proton, Mobil Nasional Malaysia Kurang Diminati Rakyatnya

Tamatnya Mobil Nasional Malaysia
Mobil Proton Pribadi Savvy, Produk Negara Malasia.
      Butuh sepekan lebih bagi Mahathir Mohamad untuk mencari waktu yang pas mengeluarkan uneg-unegnya soal keputusannya meninggalkan Proton. Dalam blog pribadinya, Mahathir menjelaskan keputusannya meninggalkan Proton yang sudah "diasuhnya" selama lebih dari 30 tahun, dengan gamblang dan bernada emosional. 
       Blog yang dirilis 5 April 2016 lalu itu, menjawab teka teki keputusan Mahathir mundur dari kursi Chairman Proton Holding sejak 30 Maret 2016. Proton sendiri dalam kondisi "berdarah-darah" dililit masalah keuangan, dan hidup mengais-ngais suntikan subsidi dari negara. 
“Saya tidak dikeluarkan oleh manajemen Proton atau pemegang saham. Saya memutuskannya sendiri, untuk kebaikan Proton saya harus keluar. Saya tak punya dendam dengan Proton, atau tidak maksud ingin Proton gagal setelah saya pergi.” 
        “Saya tahu, saya orang yang tak diinginkan oleh pemerintah. Saya tak mau menyebabkan Proton tak bisa pulih karena keberadaan saya.” 
       Dalam paragraf terakhir, Mahathir sedikit menohok pemerintah yang dipimpin PM Najib—sebagai lawan politiknya. “Hari ini pemerintah sudah tak punya kebanggaan pada produk nasional,” jelas Mahathir menyoroti murahnya barang-barang impor masuk Malaysia. 
        Proton pun menyampaikan terima kasih atas pengabdian Mahathir yang sudah "mengasuh" mereka sejak tahun 1983 itu. "Kami ucapkan terima kasih dan mengakui Tun Dr Mahathir sebagai kreator dari perusahaan mobil nasional," jelas Proton dalam pernyataan resminya dikutip dari The Straits Times. 
        Mundurnya Mahathir merupakan puncak dari segala kemelut yang sudah Proton selama bertahun-tahun. Proton terseok-seok soal keuangan hingga akhirnya Khazanah Nasional Berhad selaku tangan pemerintah di Proton melego 42,74 persen saham Proton ke perusahaan lokal DRB-Hicom senilai RM1,291 miliar atau setara US$ 412 juta, pada Januari 2012. 
        Hadirnya investor baru ternyata tak membuat Proton bisa bangkit. Semenjak DRB-Hicom masuk, kerugian Proton sudah mencapai RM2,5 miliar. Penyebabnya karena merosotnya penjualan, masalah dengan arus kas, dan menumpuknya stok mobil yang tak terjual. Semua menjadi beban yang tidak ringan bagi perusahaan yang memiliki 12.000 tenaga kerja ini. 
        Padahal pada masa jayanya, pada tahun 1993, Proton mampu menguasai 74 persen pangsa pasar mobil baru di Malaysia. Proton juga berhasil menguasai saham mayoritas pabrik mobil sport asal Inggris, Lotus pada 1996. Sayangnya Lotus tak berkembang sehingga tak memberikan kontribusi positif bagi Proton.
        Pada 2015 Proton masih menguasai 17,3 persen pangsa pasar mobil penumpang, tapi berselang setahun pasar mereka merosot jadi hanya 14 persen, dengan menjual 72.290 unit kendaraan pada 2016, padahal pabrik mereka punya kapasitas 400.000 unit mobil per tahun. Proton tertinggal jauh dengan Perodua (Perusahaan Automobil Kedua)--perusahaan mobil lokal yang sahamnya dimiliki Daihatsu. Perodua masih kuat sebagai pemimpin pasar hingga 40,3 persen. 
         Dalam kondisi Proton yang terus terpuruk, Mahathir memutuskan untuk hengkang. Setelah itu, kabar penjualan saham Proton ke investor asing mencuat. DRB-Hicom, konglomerasi Malaysia milik taipan Syed Mokhtar ini juga bukan tanpa masalah, mereka juga memikul utang maha besar. Hingga kini ada dua nama yang disebut-sebut berminat meminang Proton, yakni Zhejiang Geely Holding Group Co asal Cina dan PSA Perancis produsen Peugeot.  
Mengapa Proton Gagal?
          Proton merupakan sebuah proyek ambisius yang digagas oleh Mahathir ketika berkuasa. Sejak awal kelahirannya, Proton mendapatkan banyak bantuan pemerintah, mulai dari insentif pajak dan bantuan pendanaan. Mahathir sendiri mengakui pemerintah sudah menyuntikkan dana RM 14.600 miliar sejak mobil Proton pertama meluncur ke pasar pada 1985 hingga 2016. Sebulan setelah Mahathir keluar, suntikan dana RM1,5 miliar dari pemerintah cair untuk menalangi utang-utang Proton kepada vendor. Berselang dua bulan, dana RM1,25 miliar digelontorkan pemerintah untuk Proton, yang bisa dikonversi saham milik DRB-Hicom di Proton.  
          Proteksi perdagangan yang dikendalikan oleh Mahathir saat masih berkuasa juga punya andil terhadap Proton. Namun, dunia telah berubah, perdagangan bebas tak bisa dibendung, yang membuat tembok besar melindungi Proton dari persaingan dengan mobil impor atau merek asing tak bisa lagi melindungi Proton. Pada masa Mahathir, mobil impor yang masuk ke Malaysia harus dijejali tarif impor kendaraan maha tinggi hingga 40-300 persen.  
         “Proton telah berkembang, iya, tetapi harus dengan bantuan pemerintah. Industri mobil kami tumbuh di bawah payung proteksi, dengan kuota pada kapasitas mesin dan orang Malaysia membeli mobil impor dengan pajak impor yang tinggi,” kata PM Najib. 
         Yang cukup menohok dan barangkali menjadi kunci utama Proton gagal di kandangnya sendiri karena persoalan kualitas produk. Proton memang masih punya pekerjaan rumah soal kualitas. Salah satu momok yang paling memukul Proton soal kualitas adalah skandal power window yang macet dan bermasalah. Semenjak September 2011, Proton memang menerapkan garansi hingga 10 tahun atau 250.000 km pemakaian. 
        Masyarakat Malaysia masih cenderung memilih mobil impor Jepang meski harganya lebih mahal tapi dianggap memuaskan. J.D. Power 2016 Malaysia Customer Service Index (CSI) menempatkan merek Proton terendah kedua dari 12 merek mobil yang beredar di Malaysia. Proton berada jauh di bawah Toyota yang ada di puncak skor tertinggi. 
       Dengan segala kondisi runyam tersebut, muncul dorongan agar Proton dikendalikan oleh pemegang saham baru, khususnya pihak asing. Madani Sahari, Kepala Malaysia Automotive Institute—sebuah badan publik yang merancang kebijakan industri otomotif Malaysia mengatakan perubahan itu justru akan membawa peluang baru. Namun, tentu saja sebuah kebanggaan adanya mobil nasional Malaysia akan pupus. 
       “Ini akan membuat Proton bisa ekspansi dalam hal teknologi dan basis pasar. Juga membuka peluang ekspor rantai pasok dari Malaysia,” katanya dikutip dari Bloomberg.  
       Kegagalan Mobnas Malaysia bukan hanya soal salah strategi menjalankan bisnis, juga ada warna-warna politik yang masih menjadi ranah Mahathir. Ia getol menentang PM Najib yang masih memegang kendali pusaran kekuasaan. Ketika Mahathir tak lagi punya kuasa, "bayi" yang sudah diasuhnya pun harus kehilangan segala fasilitas dari negara. Inilah ujung dari mencampuradukkan bisnis dan politik.

Sumber - tirto.id