Proton, Mobil Nasional Malaysia Kurang Diminati Rakyatnya
Butuh sepekan lebih bagi Mahathir Mohamad untuk mencari waktu yang pas
mengeluarkan uneg-unegnya soal keputusannya meninggalkan Proton. Dalam blog pribadinya, Mahathir
menjelaskan keputusannya meninggalkan Proton yang sudah "diasuhnya"
selama lebih dari 30 tahun, dengan gamblang dan bernada emosional.
Blog yang dirilis 5 April 2016 lalu itu, menjawab teka teki keputusan Mahathir mundur dari kursi Chairman Proton Holding sejak 30 Maret 2016. Proton sendiri dalam kondisi "berdarah-darah" dililit masalah keuangan, dan hidup mengais-ngais suntikan subsidi dari negara.
“Saya tidak dikeluarkan oleh manajemen Proton atau pemegang saham. Saya
memutuskannya sendiri, untuk kebaikan Proton saya harus keluar. Saya
tak punya dendam dengan Proton, atau tidak maksud ingin Proton gagal
setelah saya pergi.”
“Saya tahu, saya orang yang tak diinginkan
oleh pemerintah. Saya tak mau menyebabkan Proton tak bisa pulih karena
keberadaan saya.”
Dalam paragraf terakhir, Mahathir sedikit
menohok pemerintah yang dipimpin PM Najib—sebagai lawan politiknya.
“Hari ini pemerintah sudah tak punya kebanggaan pada produk nasional,”
jelas Mahathir menyoroti murahnya barang-barang impor masuk Malaysia.
Proton
pun menyampaikan terima kasih atas pengabdian Mahathir yang sudah
"mengasuh" mereka sejak tahun 1983 itu. "Kami ucapkan terima kasih dan
mengakui Tun Dr Mahathir sebagai kreator dari perusahaan mobil
nasional," jelas Proton dalam pernyataan resminya dikutip dari The Straits Times.
Mundurnya
Mahathir merupakan puncak dari segala kemelut yang sudah Proton selama
bertahun-tahun. Proton terseok-seok soal keuangan hingga akhirnya
Khazanah Nasional Berhad selaku tangan pemerintah di Proton melego 42,74 persen saham Proton ke perusahaan lokal DRB-Hicom senilai RM1,291 miliar atau setara US$ 412 juta, pada Januari 2012.
Hadirnya
investor baru ternyata tak membuat Proton bisa bangkit. Semenjak
DRB-Hicom masuk, kerugian Proton sudah mencapai RM2,5 miliar.
Penyebabnya karena merosotnya penjualan, masalah dengan arus kas, dan
menumpuknya stok mobil yang tak terjual. Semua menjadi beban yang tidak
ringan bagi perusahaan yang memiliki 12.000 tenaga kerja ini.
Padahal pada masa jayanya, pada tahun 1993, Proton mampu menguasai 74
persen pangsa pasar mobil baru di Malaysia. Proton juga berhasil
menguasai saham mayoritas pabrik mobil sport asal Inggris, Lotus pada
1996. Sayangnya Lotus tak berkembang sehingga tak memberikan kontribusi
positif bagi Proton.
Pada 2015 Proton masih menguasai 17,3 persen pangsa pasar mobil penumpang, tapi berselang setahun pasar mereka merosot jadi hanya 14 persen,
dengan menjual 72.290 unit kendaraan pada 2016, padahal pabrik mereka
punya kapasitas 400.000 unit mobil per tahun. Proton tertinggal jauh
dengan Perodua (Perusahaan Automobil Kedua)--perusahaan mobil lokal yang
sahamnya dimiliki Daihatsu. Perodua masih kuat sebagai pemimpin pasar
hingga 40,3 persen.
Dalam
kondisi Proton yang terus terpuruk, Mahathir memutuskan untuk hengkang.
Setelah itu, kabar penjualan saham Proton ke investor asing mencuat.
DRB-Hicom, konglomerasi Malaysia milik taipan Syed Mokhtar ini juga
bukan tanpa masalah, mereka juga memikul utang maha besar. Hingga
kini ada dua nama yang disebut-sebut berminat meminang Proton,
yakni Zhejiang Geely Holding Group Co asal Cina dan PSA Perancis
produsen Peugeot.
Mengapa Proton Gagal?
Proton merupakan sebuah proyek ambisius yang digagas oleh
Mahathir ketika berkuasa. Sejak awal kelahirannya, Proton mendapatkan
banyak bantuan pemerintah, mulai dari insentif pajak dan bantuan
pendanaan. Mahathir sendiri mengakui pemerintah sudah menyuntikkan dana RM 14.600 miliar sejak
mobil Proton pertama meluncur ke pasar pada 1985 hingga 2016. Sebulan
setelah Mahathir keluar, suntikan dana RM1,5 miliar dari pemerintah cair
untuk menalangi utang-utang Proton kepada vendor. Berselang dua bulan,
dana RM1,25 miliar digelontorkan pemerintah untuk Proton, yang bisa
dikonversi saham milik DRB-Hicom di Proton.
Proteksi
perdagangan yang dikendalikan oleh Mahathir saat masih berkuasa juga
punya andil terhadap Proton. Namun, dunia telah berubah, perdagangan
bebas tak bisa dibendung, yang membuat tembok besar melindungi Proton
dari persaingan dengan mobil impor atau merek asing tak bisa lagi
melindungi Proton. Pada masa Mahathir, mobil impor yang masuk ke
Malaysia harus dijejali tarif impor kendaraan maha tinggi hingga 40-300
persen.
“Proton telah berkembang, iya, tetapi harus dengan
bantuan pemerintah. Industri mobil kami tumbuh di bawah payung proteksi,
dengan kuota pada kapasitas mesin dan orang Malaysia membeli mobil
impor dengan pajak impor yang tinggi,” kata PM Najib.
Yang
cukup menohok dan barangkali menjadi kunci utama Proton gagal di
kandangnya sendiri karena persoalan kualitas produk. Proton memang masih
punya pekerjaan rumah soal kualitas. Salah satu momok yang paling
memukul Proton soal kualitas adalah skandal power window yang macet dan
bermasalah. Semenjak September 2011, Proton memang menerapkan garansi hingga 10 tahun atau 250.000 km pemakaian.
Masyarakat Malaysia masih cenderung memilih mobil impor Jepang meski harganya lebih mahal tapi dianggap memuaskan. J.D. Power 2016 Malaysia Customer Service Index (CSI)
menempatkan merek Proton terendah kedua dari 12 merek mobil yang
beredar di Malaysia. Proton berada jauh di bawah Toyota yang ada di
puncak skor tertinggi.
Dengan segala kondisi runyam tersebut,
muncul dorongan agar Proton dikendalikan oleh pemegang saham baru,
khususnya pihak asing. Madani Sahari, Kepala Malaysia Automotive
Institute—sebuah badan publik yang merancang kebijakan industri otomotif
Malaysia mengatakan perubahan itu justru akan membawa peluang baru.
Namun, tentu saja sebuah kebanggaan adanya mobil nasional Malaysia akan
pupus.
“Ini akan membuat Proton bisa ekspansi dalam hal
teknologi dan basis pasar. Juga membuka peluang ekspor rantai pasok dari
Malaysia,” katanya dikutip dari Bloomberg.
Kegagalan
Mobnas Malaysia bukan hanya soal salah strategi menjalankan bisnis,
juga ada warna-warna politik yang masih menjadi ranah Mahathir. Ia getol
menentang PM Najib yang masih memegang kendali pusaran kekuasaan.
Ketika Mahathir tak lagi punya kuasa, "bayi" yang sudah diasuhnya pun
harus kehilangan segala fasilitas dari negara. Inilah ujung dari
mencampuradukkan bisnis dan politik.
Sumber - tirto.id
Sumber - tirto.id