Sabtu, 22 Juli 2017

Echosmith - Cool Kids


Sumber : www.youtube.com

Lagu Aku Lapar - Musisi Punk Asal Perancis


Sumber : www.youtube.com

KARAKTERISTIK MANAJEMEN



KARAKTERISTIK MANAJEMEN
[QS AL-HUJURAT (49): 6]
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah  : Tafsir Dakwah
Dosen Pengampu : Hj. Yuyun Affandi, Lc. M.A.

Disusun Oleh:
Nayla Shofia                                       (111311007)
Anis Khoirun Nisa’                             (111311011)
Asri Wahyuningrum                            (111311012)
Atika Mudhofaroh                             (111311 013)
Dian Adi Perdana                               (111311014)
Faizatun Alfi Hasanah                        (111311015)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2013





KARAKTERISTIK MANAJEMEN
[QS AL-HUJURAT (49): 6]
I.                   MUQODIMAH
                        Secara etimologis, Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Sedangkan Manajemen berarti mengurus, mengelola dan menjalankan. Jhonson mengartikan manajemen sebagai suatu proses mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sumber total yang saling berkaitan untuk menyelesaikan suatu tujuan.[1]
                        Karakteristik manajemen merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan manajemen, sesuatu yang menjadi pembeda antara manajemen dengan hal lainnya, sesuatu yang menjadi identitas manajemen, serta sesuatu yang menjadikan manajemen itu unik. Dalam studi manajemen sendiri manajemen merupakan sebuah kegiatan dimana yang menjadi salah satu ciri khasnya adalah fungsi-fungsi yang ada di dalam manajemen itu sendiri, dalam Q.S Al-Hujraat ayat 6 jika kita analisis bersama fungsi manajemen begitu erat kaitannya dengan surat Al-Hujraat Ayat 6 ini, untuk lebih jelasnya marilah kita ulas bersama mengenai fungsi manajemen yang berkaitan dengan Al-Hujraat ayat 6.

II.                AYAT DAN TERJEMAH
QS AL-HUJURAT (49): 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahun sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan”. (QS al-Hujurat [49]:6)[2]
III.             MUFRODAT
-          فَاسِقٌ     - Fasiq             à        Orang-orang yang keluar dari batas-batas agama
-           تَبَيَّن    - Tabayyun      à        Mencari kejelasan
-          نَبَأٍ       - Naba’            à        Berita, Menurut Ar-Ragib berita tidak di sebut                                                          Naba’ kecuali bila memuat perkara besar yang                                                           demikian diperoleh pengetahuan (ilmu) atau                                                              persangkaan yang kuat.
-          بِجَهَالَةٍ  - Bi Jahalah     à        Dengan kebodohan. Maksudnya perbuatan yang                                                       terlanjur mereka lakukan dan berangan-angan                                                            sekiranya hal itu tak pernah terjadi.[3]

IV.             ASBABUN NUZUL
Imam Ahmad meriwayatkan dari Harits Bin Dhirar al-Khuzai’i yang berkata “Suatu ketika saya mendatangi Rasulullah. Beliau lalu menyeru saya  masuk Islam dan saya menyambutnya. Setelah itu beliau menyeru saya untuk membayar zakat dan saya pun langsung menyetujuinya. Saya kemudian berkata “Wahai Rasulullah, izinkan saya kembali ke  tengah-tengah kaum saya agar saya dapat menyeru mereka kepada Islam dengan menunaikan zakat. Bagi mereka yang memenuhi seruan saya itu maka saya akan mengumpulkan zakat mereka. Setelah itu hendaknya engkau mengutus seorang utusanmu ke Iban dan disana saya akan menyerahkan zakat yang terkumpul tersebut.
Akan tetapi sesampainya di Iban ia tidak menemukan utusan Rasul. Harits lantas menyangka bahwa telah terjadi sesuatu yang membuat (Allah dan Rasulullah) marah kepadanya. Kemudian Harits mengumpulkan pemuka agama untuk menghadap Rasulullah. Sementara itu Rasulullah mengutus Walid Bin Uqbah untuk mengambil zakat dari kaum Harits namun di tengah perjalanan Walid merasa bimbang karena takut dengan kaum Harits dan memutuskan kembali ke Madinah, kemudian sesampainya Walid dihadapan Rasulullah, Walid berkata “Kaum Harits menolak untuk menyerahkan zakatnya, bahkan ia juga bemaksud membunuh saya”
Mendengar hal itu Rasululah lantas mengirim utusan untuk bertemu Harits. Dan ditengah perjalanan utusan Rasulullah bertemu dengan Harits dan para pemuka agama. Kemudian utusan tersebut menceritakan kepada Harits tentang apa yang telah terjadi. Segeralah Harits menemui Rasulullah dan menceritakan yang sebenarnya. Kemudian turunlah Q.S Al Hujuraat Ayat 6.[4]

V.                KOLERASI AYAT

Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu. Dan jika dikatakan kepada kamu ; Berdirilah ! ", maka berdirilah Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang~rang yang diberi ilmu beberapa derajat ; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui”. (Al- Mujadalah : 11)
Kolerasi dengan Q.S Al-Hujurat ayat 6 :
1.    Kedua surat ini di awali dengan يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا dimana keduanya ditunjukkan sebagai teguran untuk orang mu’min.
2.    Dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan hal-hal yang membuat timbulnya rasa persahabatan. Misalnya melapangkan tempat untuk orang yang datang ke majelis, dan berpindah tempat untuk melapangkan tempat  apabila keadaan menghendaki. Apabila yang demikian itu kita laksanakan, Allah akan meninggikan kedudukan kita di dalam surga dan menjadikan kita diantara orang-orang yang berbakti.[5] Sedangkan dalam surat Al-Hujuraat ayat 6 menurut Imam Hanafi bahwa sanya keterangan (informasi) dari orang fasik dapat kita jadikan sebagai saksi. Kedua surat ini sama-sama menghimbau kepada kita untuk memberikan kesempatan.
ŸŠ 
artinya :
Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya(QS al-Isrâ’ [17]: 36).
Sedangkan surat al-Isra 36 ini sebagai jawabah atas surat al-Hujuraat ayat 6 bahwa kita tidak boleh mengikuti suatu informasi yang kita belum tau jelas kebenarannya, perlu adanya kebenaran, ketelitian dan bukti untuk mempercayai suatu informasi.

VI.             TAFSIR AYAT
Dalam ayat ini dibahas enam masalah :
                             Pertama, Firman Allah Ta’ala يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌWahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita”. Menurut pendapat ayat ini diturunkan tentang Al-Walid bin Aqabah bin Abi Mu’ith. Hal tersebut berdasarkan pada keterangan yang diriwayatkan oleh Sa’id dari Qatadah, bahwa nabi Muhammad mengutus Al-Walid untuk memungut zakat dari Bani Mushthaliq. Ketika kaum Bani Mushthaliq melihat Al-Walid, maka mereka pun menghadapnya, sehingga dia merasa takut terhadap mereka. Dia kemudian kembali kepada Nabi SAW dan memberitahukan bahwa mereka telah murtad dari agama islam.
                             Nabi pun kemudian mengutus Khalid bin Al-Walid dan memerintahkannya untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti dan tidak tergesa-gesa. Khalid kemudian berangkat (ke tempat mereka), sehingga dia tiba ditempat mereka pada malam hari. Maka Khalid pun mengutus mata-matanya. Ketika mereka pulang, mereka memberitahukan kepada Khalid bahwa kaum Bsni Mushthaliq itu masih memeluk agama islam dan mereka pun mendengar suara adzan dan shalat mereka.
                             Keesokan harinya Khalid mendatangi kaum Bani Mushthaliq dan dia pun melihat secara langsung kebenaran yang dikatakan mata-matanya. Dia kemudian kembali kepada nabi SAW dan memberitahukan hal itu. Maka turunlah ayat ini. Nabi kemudian bersabda,
اَلتَّٰأَنِي مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Artinya :
“Perlahan-lahan itu dari Allah, sedangkan tergesa-gesa itu dari syetan”.[6]
Bahwa ayat ini memerintahkan orang-orang beriman untuk menyelidiki, memeriksa dan tidak terburu-buru melontarkan tuduhan jika mereka di bawa khabar atau cerita oleh seseorang yang fasiq. Tindakan meneliti terlebih dahulu suatu berita sangat diperlukan agar kita tidak menjadi orang bodoh atau jahil sebagaimana ditimbulkan di akhir ayat ini supaya menjauhi kejahilan ini kerana kelak pada suatu masa kita akan menyesal dengan perbuatan kita dengan sepenuh sesalan.[7]
Namun, timbul pula persoalan tentang siapa yang dikatakan atau yang mempunyai ciri-ciri fasiq dalam surat Al-Hujuraat ayat 6 ini. Fasiq menurut para ulama’ ialah mereka yang melakukan dosa-dosa besar dan sudah tentu orang kafir tergolongan dari kalangan fasiq kerena secara nyata mereka menyekutukan Allah SWT. Begitu pula dengan persoalan penyesalan dalam ayat ini. Apakah begitu besar atau dahsyat penyesalan bagi yang akan di alami akibat dari menyebarkan berita tidak pasti atau berita palsu. Tentunya akan begitu besar pengaruh yang ditimbulkan dalam berita palsu karena persepsi negatif dalam diri akan memakan diri dan menampakkan keburukan orang sesama muslim di mata muslim yang lain. Dan pada akhirnya nanti akan timbul perpecahan antara satu sama lain.
Ibnu Zaid. Muqatil, dan Sahl bin Abdullah berkata, “ Al-Faasiq adalah orang yang sering berdusta”.
Abu Al Hasan Al waraq berkata, “ Al-Faasiq adalah orang yang terang-terangan melakukan perbuatan dosa.”
Ibnu Thahir berkata “ Al Faasiq adalah orang yang tidak malu kepada Allah.”[8]
Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 6 terdapat kata ( إِنْ ) in / jika yang biasa digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. Ini mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada orang-orang beriman diragukan atau jarang terjadi. Hal itu disebabkan orang-orang fasik mengetahui bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi sehingga sang fasik dapat dipermalukan dengan kebohongannya.
Kata ( فَاسِقٌ ) fasiq terambil dari kata(فَسَقَ) fasaqa yang biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang keluar dari koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil.
Kata ( نَبَأٍ) nabain digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata (خبار) khabar yang berarti kabar secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini, terlihat perlunya memilih informasi apakah itu penting atau tidak dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapa pun yang tidak penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi dari waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Hamzah dan Al-Kisa’i membaca firman Allah itu dengan : فَثَبِتُوْاdiambil dari kata At-tatsabut. Adapun yang lain, mereka membaca firman Allah itu dengan : فَتَبَيَّنُواdiambil dari kata At- Tabyiin.
Firman Allah,  أَنْ تُصِيبُوا”agar kamu tidak menimpakan suatu musibah,” yakni agar kamu tidak menimpakan suatu musibah. Dengan demikian, lafazh أَنْ berada pada posisi nashab, karena gugurnya huruf yang menjarkanya
Kata (بِجَهَالَةٍ) bijahalah dapat berarti tidak mengetahui dan dapat diartikan serupa dengan makna kejahilan, yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi.
Kata (تُصْبِحُوا) tushbihu pada mulanya berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan menjadi. Ayat diatas mengisyatratkan bagaimana sikap seseorang yang beriman dikala melakukan satu kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat di atas, dilukiskan sebagai فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ, yakni segera dan berpagi-pagi menjadi orang yang penuh penyesalan.[9]
Dalam Q.S Al-Hujuraat ayat 6 Allah menjelaskan bahwa apabila datang seorang fasik kepada kaum mukmin, yang mereka terang-terangan meninggalkan syi’ar agama, membawa sesuatu berita penting, janganlah kamu lantas mempercayainya sebelum menyelidiki lebih jauh, supaya kamu tidak bertindak salah terhadap suatu kaum.[10]
Kedua: pada ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa berita satu orang (khabar waahid) itu dapat diterima, jika dia seorang yang adil. Sebab ayat ini, Allah hanya memerintahkan untuk memeriksa dengan teliti terhadap pemberitaab orang yang fasik.
Adapun ornag yang sufah dipastikan kefasikannya, ucapannya tidak dapat diterima dalam bidang pemberitaan. Hal ini berdasarkan ijma. Sebab pemberitaan adalah sebuah amanah, sedangkan kefasikan adalah petunjuk yang dapat membuat amanah itu tidak disampaikan.
Ketiga: Ibnu Al Arabi berkata, “ adalah mengherankan jika Asy-Syafi’i dan orang-orang yang sependapat dengannya, membolehkan kepemimpinan orang yang fasik. Sementara orang yang tidak amanah terhadap sepeser uang, bagaimana mungkin dia dapat diberikan kepercayaan untuk melunasi utang yang banyak?
Hal ini sebgaiman dikatkan oleh Utsman, ‘ Shalat adalah hal terbaik yang dapat dilakukan orang-orang. Apabila mereka ( para penguasa) berbuat baik, maka berbuat baiklah. Tapi jika mereka berbuat buruk, mak hindarilah keburukan orang-orang.
Keempat: adapun putusan orang yang fasik, jika dia menjadi seorang wali, maka putusannya yang sesuai dengan kebenaran harus dijalankan, sedang putusannya yang tidak sesuai dengan kebenaran harus ditolak.
Kelima: pada ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan rusaknya pendpat orang-orang yang mengatakan bahwa seluruh kaum  muslim itu unggul, sampai ditetapkan adanya cacat. Sebab ( dalam ayat ini ) Allah memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan secara teliti, sementara pemerikasaan secara teliti itu tidak akan berguna jika putusan sudah dilakukan.
Keenam: jika hakim memutuskan sesuatu berdasarkan dugaan kuat, maka hal itu tidak termasuk perbuatan tanpa mengetahui keadaannya, seperti putusan terhadap dua orang saksi yang adil dan penerimaan terhadap pendapat orang yang alim dan mujtahid.[11]
Pendapat Muffasirin:
Imam Hanafi mengambil dalil dari ayat ini untuk menerima khabar seseorang yang tidak diketahui keadaannya. Ayat ini juga bisa menjadi dalil bahwa di antara sahabat Nabi ada yang tidak adil, karena Allah memberi sebuah fasiq kepada al-Walid.
Ar-Razi menolak riwayat ini, karena beliau tidak dapat menerima pemakaian nama fasiq kepada al-Walid, sebab baginya al-Walid tidak sengaja berdusta apalagi kata fasik sering dipakai dalam al-Qur’an untuk orang yang tidak beriman.[12]
Hubungan dengan ilmu lain:
(a.)  Ilmu Akhlaq, dalam ilmu akhlak kita sebagai muslim hendaknya berperilaku baik dan sesuai koridor agama Islam, sedangkan apa yang dilakukan oleh al-Walid merupakan berbuatan dusta yang hendaknya harus kita hindari.
(b.)  Ilmu Manajemen, dalam setiap kegiatan bahkan penginformasian perlu adanya kejelasan didalamnya untuk itu manajemen sebagai suatu cara untuk mengkoordinir kegiatan perlu diamalkan dalam semua aktivitas.

VII.          HUKUM
A.    Hukum:
1.        Wajib amanah karena mendustai amanah adalah termasuk golongan orang munafik.
2.        Haram berdusta karena dusta adalah perbuatan yang dilarang agama dan termasuk dosa besar.
B.     Hikmah:
1.      Dalam kehidupan social masyarakat dalam penerimaan dan pengamalan berita haruslah ada kejelasaan mengenai fakta berita tersebut.
2.      Pihak yang menyampaikan berita perlu dinilai kejujurannya dan integritasnya dalam menyampaikan berita.
3.      Banyaknya orang yang menyampaikan informasi juga bukan jaminan kebenaran informasi.
4.      Jangan mudah mempercayai berita-berita yang terlihat meragukan dan belum jelas.
5.      Berita yang terkadang dilebih-lebihkan perlu diteliti dan dipastikan dengan menggunakan sumber yang sah.
6.      Tujuan dari berita atau khabar bukan untuk mencari simpati, publisiti atau sengaja digunakan untuk mencari kesalahan orang lain dengan di karenakan hasad dengki, amarah, tidak puas hati dll.
7.      Manajemen perlu dibiasakan dan ditanamkan dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam komunikasi.

VIII.       KESIMPULAN
      Pentingnya penekanan fungsi-fungsi manajemen sebagai suatu karakteristik dalam mengatur kegiatan perlu dibiasakan. Dengan adanya kegiatan yang berlandaskan manajemen maka sebuah kegiatan akan lebih terarah baik dalam perencanaan sampai dengan pencapaian tujuan. Seperti pada kisah Harits di atas jika manajemen digunakan terutama dalam controlling komunikasi atau penginformasian khabar lebih teliti maka kesalah fahaman akan jauh dari kaum mereka. untuk itulah manajemen penting adanya.

IX.             PENUTUP
Demikian makalah ini saya susun, saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, Untuk kritik dan saran yang membangun saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah yang saya buat dapat bermanfaat.  Amin

DAFTAR PUSTAKA
Al Qurthubi. Syaikh Imam, 2009. Tafsir Al Qurthubi.  Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-Maraghi. Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
As-Suyuti. Jalaluddin. 2008. Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul. Jakarta: Gema Insani.
Choliq. Abdul .2011. Pengantar Manajemen. Semarang:Rafi Sarana Perkasa.
Departemen Agama (SK Menteri Agama Munawir Sadzali). 1992.  Al Qur’an dan Terjemah Edisi Lux, (Semarang: Asy-Syifa, 1992)
Shiddiqi. Nourouzzaman dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy. 2000.  Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur.Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Shihab. M. Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Ayat al-Qur’an). Jakarta: Lentera hati.



[1] Abdul Choliq, Pengantar Manajemen, (Semarang:Rafi Sarana Perkasa, 2011),  hal 2
[2] Departemen Agama (SK Menteri Agama Munawir Sadzali), Al Qur’an dan Terjemah Edisi Lux, (Semarang: Asy-Syifa, 1992),  hal 846
[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992), hal 2009
[4] Jalaluddin as-Suyuti, Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul, ( Jakarta: Gema Insani, 2008) hal 524
[5] Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), hal 414
                [6] Tafsir alqurtubi hal. 26
[8] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009 ) Hal.27
                [9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Ayat al-Qur’an), (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal 589-590.
[10]Ibid, Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, hal 3917

[11] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009 )hal 30
[12] Op.Cit, Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, hal 39