Konsep Ahwal dalam Tasawuf
Ahwal adalah
bentuk jamak. Dan bentuk tunggalnya adalah hal.
Merupakan keadaan jiwa dalam menghayati puncak pengalaman sufistik. Konsep
ahwal juga bisa disebut keadaan-keadaan spiritual yang didapatkan dari anugrah
dan karunia Allah SWT kepada hati para penempuh jalan spiritual. Ada ribuan di
atas ribuan keadaan spiritual, yang masing-masing banyak sekali
mengandungkiasan halus, dan kiasan yang mengandung makna-makna yang sangat
banyak. Orang yang mendengar konser spiritual bisa mengalami gejala-gejala
spiritual.
Ahwal seperti
yang disebutkan di atas bahwa merupakan keadaan jiwa dalam menghayati puncak
pengalaman sufistik. Berbeda dengan maqam yang merupakan hasil dari sebuah
usaha keras dari seseorang, maka ahwal merupakan sesuatu pemberian dari Tuhan.
Dan waktunya tidaklah lama. Dengan kata lain, ia merupakan efek kejiwaan akibat
seorang sufi melakukan latihan-latihan spiritual dan menapaki maqamat. Karena
itu, Rahman menyebutkan ahwal ini sebagai psiko-gnostik.
Dengan bertumpu dari teori ini, maka ada tiga hal yang hendak dibahas berkenaan
dengan ahwal dalam perspektif As-Syafi’i.
Pertama, tentang al-wushul. Mengenai konsep ini, as-Syafi’i mengatakan:
Bagaimana sampai kepada Su’ad, sementara di
bawahnya
Puncak-puncak gunung dan di bawahnya
kematian
Kaki telanjang dan aku tak punya kendaraan
Telapak tangan kosong dan jalannya pun
menakutkan.
Menurut
Abdurrahman Mahmud, as-Syafi’i menggunakan Su’ad (biasanya digunakan untuk nama
perempuan) sebagai kinayah (sindiran,
simbol) untuk kekasihnya yang tertinggi, yaitu Allah SWT. Dengan bertumpu pada
keterangan ini, dapat dinyatakan bahwa al-wushul
yang dimaksud as-Syafi’i itu adalah keadaan sampai Allah SWT. Dalam syair itu
ia menegaskan bahwa kecil sekali kemungkinan seseorang bisa sampai kepada Allah
SWT. Karena untuk bisa sampai, seseorang harus melewati puncak-puncak gunung,
dan di bawah puncak-puncak gunung itu terdapat jurang-jurang yang mematikan
serta memerlukan bekal yang tidak sedikit. Tentu saja, ungkapan itu merupakan
simbol betapa sulitnya sampai kepada Allah SWT. Karena itu, dengan kerendahan
hati, ia sendiri mengatakan tidak mampu karena tidak memiliki bekal cukup.
Bila seperti
itu yang dimaksud dengan al-wushul,
maka ia merupakan istilah lain dari apa yang dalam tasawuf heteredoks disebut sebagai al-ittihad.
Dan bila hal ini benar, maka agaknya as-Syafi’i memang menghindari penggunaan
istilah tersebut, maka di kalangan ulama sunni (ulama’ ortodoks), istilah
tersebut telah mengalami stigmatisasi, yakni ia telah dikonotasikan secara
negatif, tentu dari mereka. Namun dengan memperhatikan secara cermat bait-bait
syair itu, tampaknya al-wushul
mungkin saja bisa dicapai, meski sangat sulit.
Kedua, tentang as-syathahat. Jika seseorang mangalami keadaan jiwa tertentu,
sebagai efek dari perjalanan sufistiknya, maka tidak jarang ia mengeluarkan
kata-kata yang ganjil dilihat dari logika struktural, dalam hal ini logika
kalam dan fiqih. Kata-kata yang ganjil itulah yang disebut dengan as-syathahat. Dalam beberapa bait di
atas, as-Syafi’i mengatakan bahwa ia tidak mampu mencapai al-wushul. Namun demikian, terdapat bait-bait syairnya yang mungkin
saja merupakan as-syathahatnya,
yaitu:
Sang kekasih sakit, lalu aku menengok-Nya
Lalu aku pun sakit karena takutku,
keterkejutanku dan
Ketersadaranku pada-Nya
Sang kekasih datang menengokku
Lalu aku pun sembuh karena melihat-Nya.
Kedua bait
syair ini memang boleh jadi akan dipahami sebagai sebuah puisi cinta biasa.
Akan tetapi, penulis lebih memilih menyebutnya sebagai syathahat as-Syafi’i
dengan beberapa alasan. Pertama, penggunaan arti “hadzari” (yang oleh Abdurahman Mahmud diartikan sebagai takutku,
keterkejutanku, dan ketersadaranku). Jika syair itu merupakan syair puisi cinta
biasa, maka tidak mungkin digunakan katadengan makna seperti itu. Sebab kata
dengan makna demikian hanya digunakan untuk Kekasih luar biasa, yaitu Allah
SWT. Kedua, al-Ghazali juga menyimpulkan hal yang sama. Yakni, bahwa syair itu
bukan syair cinta biasa, tetapi syair cinta kepada Kekasih Sejati, yaitu Allah
SWT.
Dengan bertumpu
pada kesimpulan bahwa syair tersebut bukan merupakan syair cinta biasa, maka
jelas bahwa as-Syafi’i pernah mengalami al-wushul
itu. Pernyataannya yang menyiratkan bahwa ia tidak mampu mencapainya harus
dipahami sebagai sebuah sikap tawadlu saja darinya. Dan di sela-sela al-wushul itulah, barangkali syairnya
itu keluar dan merupakan syathahat darinya. Dikatakan sebagai syathahat, karena
dengan tolak ukur logika fiqih dan kalam, jelas tidak bisa dipahami dengan
baik, bahkan akan menyiratkan adanya pentasybihan,
yaitu penyerypaan terhadap Tuhan dengan makhluk, atau yang dikenal dengan
istilah (barat) antropomorphisme.
Dan ketiga, tentang al-Wilayah (kewilayahan). Dalam studi tasawuf, pembicaraan tentang
ahwal tidak bisa lepas dari tentang kewalian. Al-Syafi’i agaknya tidak terlalu
peduli dengan pengertian wali secara teknis, yang dikembangkan oleh kaum sufi,
sehingga ia lebih memilih memaknai wali dengan orang mukmin. Hal ini terlihat
dari perkataannya:” di dalam Kitab Allah Ta’ala (terdapat firman): ‘sekali-kali
tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)
Tuhan mereka’. (Firman ini) menunjukkan bahwa wali-wali Allah bisa melihat-Nya sesuai dengan sifat-Nya.
Ketidakpeduliaanya terhadap konsep wali secara teknis itu barangkali disebabkan
antara lain oleh penyalahgunaan terhadap konsep tersebut pada sementara sufi
(yakni sufi-sufi ekstrem), misalnya dengan mengaku memiliki karamah tertentu.
Karena itu, ia mengatakan:”jika aku melihat pelaku bid’ah berjalan di udara,
maka aku tidak akan menerima (kesaksian)Nya”. Dan karena
penyimpangan-penyimpangan itulah, maka ia mengeluarkan konsep yang bisa
dianggap sebagai konsep tandingan. Dengan sedikit reaktif, ia mengatakan:”jika
para faqih (fuqaha) yang alim bukan wali Allah SWT, maka Allah SWT tidak
memiliki wali”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar