Pendidikan Dakwah Walisongo
I.
Pendahuluan
Walisongo berarti sembilan
wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan
Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama
lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Mereka tinggal di pantai
uatara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah
penting. Yakni Surabaya-Gersik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk
peradapan baru : mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga kebudayaan dan
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu –
Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka
adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak
tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali”
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain
II.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana Pendidikan Dakwah para Walisongo
?
b. Bagaimana sistem pendidikan walisongo ketika
masa islamisasi?
III.
Pendahuluan
a. Bagaimana Pendidikan Dakwah para Walisongo
?
Beberapa pendapat
menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam
wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran
kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang
dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari dengan harga murah. Selain itu secara
khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara
gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja
yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat
istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Beliau merangkul masyarakat bawah -kasta yang
disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat
di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di
Leran.
Di Ampel Denta
Raden rahmat berhasil menjadikan daerah yang semula berair, berlumpur, dan
berawa-rawa menjadi daerah yang makur
yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok
pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad
15, pesantren tersebut menjadi sentra
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di
antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut
kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel
menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah
yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh
madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman
keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabayabeliau meninggalkan putera yang dikenal sebagai wali
bonang dan derajat.
Sunan Giri kecil
menuntut ilmu di pesantren misalnnya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah
juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup
ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik.
Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti
sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon
karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.
Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat
dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia
diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.Giri
Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih
ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga
Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua
sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu
fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta
karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir
dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung lagi bernuansa
Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Sunan Bonang
menyiarkan Islam di daerah Tuban, Pati, Madura, dan Pulau Bawean. Daerah tempat
beliau tinggal adalah Bonang. Sunan Bonang sebagaimana para wali lainnya,
membuat gending-gending jawa untuk berdakwah. Beliau menciptakan tembang dan
gending berisikan ajaran-ajaran Islam, dan gending-gending itu sangat disenangi
takyat.
Bila beliau
membunyikan bonang, masyarakat sekeliling yang mendengarnya tertarik dan
datanglah mereka ke masjid. Di depan masjid dibuat kolam, sehingga setiap
pengunjung yang datang sudah dengan sendirinya mereka membersihkan kakinya.
Bila mereka berkumpul, Sunan Bonang mengajar tembang. Tembang tersebut
berisikan ajaran Islam sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi pelajaran
agama Islam.
Dalam berdakwah
Sunan Kalijaga dikenal sebagai :
a. Sebagai
Mubaligh
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat jawa yang saat itu banyak menganut
kepercayaan lama tidak di tentang adat istiadatnya, beloiau mendekati rakyat
itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah
melainkan memakai pakaian adat jawa yang di salin dan di sempurnakan sendiri
secara islami sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerimanya dengan
senang hati. Cara berdakwah tersebut sangat efektif, sebagian besar adaipati di
Jawa memeluk agama islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adipati
Padanaran, Kartasura, Kabumen, Bayumas, serta Pajang ( sekarang Kotagede -
Yogya).
b. Sebagai ahli budayawan
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali
menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit,
beduk di masjid, grebek maulud, seni tata kota,dan lain-lain.
a. Strategi pendekatan dengan masyarakat, sunan kudus
termasuk mendukung sunan kalijaga dan sunan bonong menerapkan strategi dakwah
antara lain :
1) Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah.
2) Bagian adat
yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi mudah dirubah maka segera
dihilangkan.
3) Tut wuri
handayani dan menerapkan prinsip tut
wuri hangiseni.
4) Menghindarkan
konfrontasi, didalam menyiarkan islam.
5) Pada
akhirnya boleh merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tridak sesuai
dengan ajaran islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat
islam.
b. Merangkul masyarakat Hindu - Budha,
Cara beliau mendekati
masyarakat Kudus yaitu dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu – Budha. Hal itu
terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran /
padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang
dilakukan Sunan Kudus.
Suatu
waktu, Ia memancing masyarakat untuk
pergi ke masjid mendengarkan Tabliqh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan
sapinya yang diberi nama kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagumi sapi menjadi simpatik. Apalagi setelah mereka mendengarkan
penjelasan Sunan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti “Sapi Betina”.
Sampai sekarang sebahagian masayarakat tradisional Kudus, masih menolak
menyembalih sapi.
c. Selamatan mitoni
Di dalam cerita
tutur disebutkan bahwa sunan kudus itu pada ketika gagal mengumpulkan rakyat
yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti mitoni pada saat tiga bulan. Sembari minta kepada Dewa
bahwa bila anakmya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan
seperti Dewi Ratih cantiknya.
Adat istiadat
tersebut ditentang secara keras oleh Sunan kudus. Melainkan diarahkan ke bentuk
islami. Acara selamatan tetap ada tetapi niatnya bukan kirim sesaji kepara para
dewa , melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang
dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada ALLAH
dengan harapan lahir laki-laki seperti Nabi Yusuf tampannya. Dan bila perempuan
seperti Siti Mariam cantiknya. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering
membaca surat Yusuf dan Mariam. Sebelum acara dimulai diadakanlah pembacaan
laying anbiya. Biasanysa yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf.
Raden Qosim
adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri, yaitu menyebarkan
agama Islam dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh
dicampur dengan adat dan kepercayaan lama. Meskipun demikian beliau juga
menggunakan kesenian rakyat sebagai media dakwah. Karena di museum Sunan drajad
terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa.
Raden Qosim
adalah wali yang hidup bersahaja, walaupun beliau juga rajin mencari rizeki.
Hal itu disebabkan sikap beliau yang sangat dermawan dan suka menolong rakyat
jelata yang menderita.
Sunan Muria, dalam menyebarkan Islam di Jawa, menggunakan pendekatan
seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang ada bukan di
hilangkan, melainkan diberi warna islam. Hal ini terlihat antara lain dalam
upacara selamatan yang dilaksanakan oleh orang Jawa pada waktu itu tetap
dipelihara.
Dalam berdakwah Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil
dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat
jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang
dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria menyebarkan Islam pada daerah-daerah
Jepara, Tayu, Juana dan sekitar Kudus. Dalam berdakwah beliau juga menciptakan
lagu-lagu Jawa seperti lagu Sinom Kinanthi. Serta menggunakan metode dengan
tidak melawan budaya yang ada, mewarnai dengan ajaran Islam. Para wali telah
mengubah beberapa lakon pewayangan yang isinya membawa pesan Islam. Antara lain
cerita Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, dll.
Dalam bidang politik, Sunan Muria menyongkong kerajaan Demak. Yang pada
saat Raden Patah wafat pada tahun 1518 terjadi konflik internal
Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon
yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian,
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja
Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan
atau Priangan.
Dalam berdakwah,
ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati
rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah.
Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89
tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan
di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota
Cirebon dari arah barat.
b. Bagaimana sistem pendidikan walisongo ketika
masa islamisasi?
Proses pendidikan bukanlah proses yang sudah final, melainkan
proses
yang dinamis dan berkelanjutan, karena itu taktik dan setrategi walisongo dalam
menyebarkan dan menda’wahkan Islam patutlah kiranya sebagai bahan inspirasi
bagi kita yang hidup di abad modern ini.
Walisongo, baik sebagai individu, maupun sebagai lembaga atau
organisasi da’wah adalah paling banyak berperan menyebarkan dan
mengislamkan pulau Jawa. Berikutnya penduduk pribumi atau penduduk asli
Jawa, yang telah memeluk Islam, juga turut ambil bagian “membantu” da’wah
islamiyah di daerah kelahirannya. Berangkat dari latar belakang itulah penulis
kemudian ingin membahasnya dalam skripsi dan mengambil judul Sistem
Pendidikan Walisongo (Studi Analisis Pemikiran Widji Saksono Kajian Kitab
Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Da’wah Walisongo).
Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu Pertama, bagaimana cara
walisongo menyebarkan dan mengislamkan pulau Jawa. Kedua, bagaimana
metode da’wah dan model pendidikan yang diterapkan walisongo saat itu,
Sehingga mampu mencetak kader-kader muballigh yang militan. Ketiga, sejauh
mana pengaruh ajaran Islam terhadap budaya Jawa. Keempat, apakah sistem
pendidikan yang dikembangkan walisongo masih bisa dipakai untuk kondisi masa
kini. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah Untuk mengetahui
bagaimana cara walisongo menyebarkan dan mengislamkan pulau Jawa, untuk
mendiskripsikan tentang peran walisongo dalam proses pengislaman pulau Jawa,
untuk Mendiskripsikan tentang langkah-langkah walisongo dalam menyebarkan
Islam dipulau Jawa, untuk mengetahui sistem pendidikan yang dikembangkan
walisongo.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif analysis kritis.
Dalam metode mengumpulkan data, penulis menggunakan metode deduksi,
metode induksi, melakukan studi kepustakaan, metode komparasi.
Hasil dari penelitian ini dapat di simpulkan bahwa ada banyak faktor, yang
menjadikan da’wah islamiyah di Jawa mulai pada abad VII sampai pada abad XV
dapat dikatakan sukses:
_ Pertama : Islam telah menanamkan prinsip ketauhidan dan menerapkan
daya fleksibilitas.
_ Kedua : menggunakan saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf,
pendidikan, kesenian, dan politik. Semua saluran yang digunakan itu telah
ada dan mapan di Jawa. Jadi walisongo murni menggunakan potensi yang
ada di Jawa.
_ Ketiga : menggunakan metode yang tepat, yaitu Al-hujuj balaghah, Al-
Asalibul Hakimah, Al-Adabus Samiyah, dan As-Siyatul Hakimah. Semua
Sistem Pendidikan Walisongo.
metode yang di terapkan walisongo ini, jika diterapkan untuk sekarang tetap
cocok dan relevan.
Penerapan prinsip fleksibilitas, menjadikan Islam adoptis terhadap budaya
Jawa, artinya Islam tetap mengambil dan memanfaatkan segala budaya yang ada
di Jawa. Bersikap reseptif, artinya Islam berpembawaan mudah menerima
terhadap apa saja yang ada di Jawa. Tidak bersikap konfrontatif, artinya tidak
pernah melakukan penentangan terhadap budaya Jawa, budaya musyrik di
hilangkan dan berusaha mengisi budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
Pendidikan pesantren yang diterapkan walisongo, untuk sekarang masih
cocok dan perlu dikembangkan, hanya disana sini perlu adanya ikhtiar untuk
memenuhi tuntutan zaman. Dan kita tidak mungkin bertahan pada kemampuan
masa lalu.
yang dinamis dan berkelanjutan, karena itu taktik dan setrategi walisongo dalam
menyebarkan dan menda’wahkan Islam patutlah kiranya sebagai bahan inspirasi
bagi kita yang hidup di abad modern ini.
Walisongo, baik sebagai individu, maupun sebagai lembaga atau
organisasi da’wah adalah paling banyak berperan menyebarkan dan
mengislamkan pulau Jawa. Berikutnya penduduk pribumi atau penduduk asli
Jawa, yang telah memeluk Islam, juga turut ambil bagian “membantu” da’wah
islamiyah di daerah kelahirannya. Berangkat dari latar belakang itulah penulis
kemudian ingin membahasnya dalam skripsi dan mengambil judul Sistem
Pendidikan Walisongo (Studi Analisis Pemikiran Widji Saksono Kajian Kitab
Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Da’wah Walisongo).
Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu Pertama, bagaimana cara
walisongo menyebarkan dan mengislamkan pulau Jawa. Kedua, bagaimana
metode da’wah dan model pendidikan yang diterapkan walisongo saat itu,
Sehingga mampu mencetak kader-kader muballigh yang militan. Ketiga, sejauh
mana pengaruh ajaran Islam terhadap budaya Jawa. Keempat, apakah sistem
pendidikan yang dikembangkan walisongo masih bisa dipakai untuk kondisi masa
kini. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah Untuk mengetahui
bagaimana cara walisongo menyebarkan dan mengislamkan pulau Jawa, untuk
mendiskripsikan tentang peran walisongo dalam proses pengislaman pulau Jawa,
untuk Mendiskripsikan tentang langkah-langkah walisongo dalam menyebarkan
Islam dipulau Jawa, untuk mengetahui sistem pendidikan yang dikembangkan
walisongo.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif analysis kritis.
Dalam metode mengumpulkan data, penulis menggunakan metode deduksi,
metode induksi, melakukan studi kepustakaan, metode komparasi.
Hasil dari penelitian ini dapat di simpulkan bahwa ada banyak faktor, yang
menjadikan da’wah islamiyah di Jawa mulai pada abad VII sampai pada abad XV
dapat dikatakan sukses:
_ Pertama : Islam telah menanamkan prinsip ketauhidan dan menerapkan
daya fleksibilitas.
_ Kedua : menggunakan saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf,
pendidikan, kesenian, dan politik. Semua saluran yang digunakan itu telah
ada dan mapan di Jawa. Jadi walisongo murni menggunakan potensi yang
ada di Jawa.
_ Ketiga : menggunakan metode yang tepat, yaitu Al-hujuj balaghah, Al-
Asalibul Hakimah, Al-Adabus Samiyah, dan As-Siyatul Hakimah. Semua
Sistem Pendidikan Walisongo.
metode yang di terapkan walisongo ini, jika diterapkan untuk sekarang tetap
cocok dan relevan.
Penerapan prinsip fleksibilitas, menjadikan Islam adoptis terhadap budaya
Jawa, artinya Islam tetap mengambil dan memanfaatkan segala budaya yang ada
di Jawa. Bersikap reseptif, artinya Islam berpembawaan mudah menerima
terhadap apa saja yang ada di Jawa. Tidak bersikap konfrontatif, artinya tidak
pernah melakukan penentangan terhadap budaya Jawa, budaya musyrik di
hilangkan dan berusaha mengisi budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
Pendidikan pesantren yang diterapkan walisongo, untuk sekarang masih
cocok dan perlu dikembangkan, hanya disana sini perlu adanya ikhtiar untuk
memenuhi tuntutan zaman. Dan kita tidak mungkin bertahan pada kemampuan
masa lalu.
IV.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas tentang Walisongo beserta
dakwahnya maka disimpulkan sebagai berikut :
1.
Wali dalam babad merupakan julukan yang diberikan
kepada para penyebar Islam pada periode awal di pulau Jawa. Jumlah mereka tidak
terbatas, tetapi sebagai dewan wali anggotanya terdiri dari sembilan orang,
yang kemudian dilembagakan sebagai Walisongo.
2.
Dakwah yang digunakan para Walisongo tidak melakukan
konfrontasi dengan budaya masyarakat yang ada melainkan dengan “tapa ngeli” (
mengikuti aliran air ) dengan kebiasaan yang berlaku dan memberi baju Islam,
atau memberi pesan-pesan keislaman.
3.
Media yang digunakan dalam dakwah para wali adalah
melalui media kesenian ( tembang dan wayang ), media pelayanan kebutuhan dasar
masyarakat, dan melalui jalan perkawinan.
4.
Ajaran Walisongo adalah sebagaimana yang dianut oleh
masyarakat muslim Indonesia, yakni Islam Ahlus Sunnah yang berdasarkan ajaran
salaf yang ortodok.
V.
Penutup
Demikianlah
makalah ini kami buat , kami sadar makalah yang kami buat jauh dari kriteria
sempurna .Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan
demi perbaikan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin ya rabbal ‘alamin............
DAFTAR PUSTAKA
http://Coretan-rissi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html.
http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=04110038
www.pesantren.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar