Kamis, 18 April 2013

Pendidikan Dakwah Walisongo


Pendidikan Dakwah Walisongo
       I.            Pendahuluan
Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Mereka tinggal di pantai uatara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gersik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradapan baru : mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu – Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain
    II.            Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Pendidikan Dakwah para Walisongo ?
b.      Bagaimana sistem pendidikan walisongo ketika masa islamisasi?
 III.            Pendahuluan
a.       Bagaimana Pendidikan Dakwah para Walisongo ?
Beberapa pendapat  menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Beliau  merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran.
Di Ampel Denta Raden rahmat berhasil menjadikan daerah yang semula berair, berlumpur, dan berawa-rawa menjadi daerah yang makur  yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,  pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabayabeliau meninggalkan putera yang dikenal sebagai wali bonang dan derajat.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misalnnya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung  lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Sunan Bonang menyiarkan Islam di daerah Tuban, Pati, Madura, dan Pulau Bawean. Daerah tempat beliau tinggal adalah Bonang. Sunan Bonang sebagaimana para wali lainnya, membuat gending-gending jawa untuk berdakwah. Beliau menciptakan tembang dan gending berisikan ajaran-ajaran Islam, dan gending-gending itu sangat disenangi takyat.
Bila beliau membunyikan bonang, masyarakat sekeliling yang mendengarnya tertarik dan datanglah mereka ke masjid. Di depan masjid dibuat kolam, sehingga setiap pengunjung yang datang sudah dengan sendirinya mereka membersihkan kakinya. Bila mereka berkumpul, Sunan Bonang mengajar tembang. Tembang tersebut berisikan ajaran Islam sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi pelajaran agama Islam.
Dalam berdakwah Sunan Kalijaga dikenal sebagai :
a.          Sebagai Mubaligh
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat jawa yang saat itu banyak menganut kepercayaan lama tidak di tentang adat istiadatnya, beloiau mendekati rakyat itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah melainkan memakai pakaian adat jawa yang di salin dan di sempurnakan sendiri secara islami sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerimanya dengan senang hati. Cara berdakwah tersebut sangat efektif, sebagian besar adaipati di Jawa memeluk agama islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adipati Padanaran, Kartasura, Kabumen, Bayumas, serta Pajang ( sekarang Kotagede - Yogya).
b.        Sebagai ahli budayawan
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, beduk di masjid, grebek maulud, seni tata kota,dan lain-lain.
a.         Strategi pendekatan dengan masyarakat, sunan kudus termasuk mendukung sunan kalijaga dan sunan bonong menerapkan strategi dakwah antara lain :
1)   Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah.
2)   Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3)   Tut wuri handayani dan menerapkan  prinsip tut wuri hangiseni.
4)   Menghindarkan konfrontasi, didalam menyiarkan islam.
5)   Pada akhirnya boleh merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tridak sesuai dengan ajaran islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat islam.
b.        Merangkul masyarakat Hindu - Budha,
Cara beliau mendekati masyarakat Kudus yaitu dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu – Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran / padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu,  Ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan Tabliqh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagumi sapi menjadi simpatik. Apalagi setelah mereka mendengarkan penjelasan Sunan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti “Sapi Betina”. Sampai sekarang sebahagian masayarakat tradisional Kudus, masih menolak menyembalih sapi.
c.         Selamatan mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa sunan kudus itu pada ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti mitoni pada  saat tiga bulan. Sembari minta kepada Dewa bahwa bila anakmya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan seperti Dewi Ratih cantiknya.
Adat istiadat tersebut ditentang secara keras oleh Sunan kudus. Melainkan diarahkan ke bentuk islami. Acara selamatan tetap ada tetapi niatnya bukan kirim sesaji kepara para dewa , melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada ALLAH dengan harapan lahir laki-laki seperti Nabi Yusuf tampannya. Dan bila perempuan seperti Siti Mariam cantiknya. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca surat Yusuf dan Mariam. Sebelum acara dimulai diadakanlah pembacaan laying anbiya. Biasanysa yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri, yaitu menyebarkan agama Islam dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama. Meskipun demikian beliau juga menggunakan kesenian rakyat sebagai media dakwah. Karena di museum Sunan drajad terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa.
Raden Qosim adalah wali yang hidup bersahaja, walaupun beliau juga rajin mencari rizeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang sangat dermawan dan suka menolong rakyat jelata yang menderita.
Sunan Muria, dalam menyebarkan Islam di Jawa, menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang ada bukan di hilangkan, melainkan diberi warna islam. Hal ini terlihat antara lain dalam upacara selamatan yang dilaksanakan oleh orang Jawa pada waktu itu tetap dipelihara.
Dalam berdakwah Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria menyebarkan Islam pada daerah-daerah Jepara, Tayu, Juana dan sekitar Kudus. Dalam berdakwah beliau juga menciptakan lagu-lagu Jawa seperti lagu Sinom Kinanthi. Serta menggunakan metode dengan tidak melawan budaya yang ada, mewarnai dengan ajaran Islam. Para wali telah mengubah beberapa lakon pewayangan yang isinya membawa pesan Islam. Antara lain cerita Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, dll.
Dalam bidang politik, Sunan Muria menyongkong kerajaan Demak. Yang pada saat Raden Patah wafat pada tahun 1518 terjadi konflik internal
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
b.      Bagaimana sistem pendidikan walisongo ketika masa islamisasi?
Proses pendidikan bukanlah proses yang sudah final, melainkan proses
yang dinamis dan berkelanjutan, karena itu taktik dan setrategi walisongo dalam
menyebarkan dan menda’wahkan Islam patutlah kiranya sebagai bahan inspirasi
bagi kita yang hidup di abad modern ini.
Walisongo, baik sebagai individu, maupun sebagai lembaga atau
organisasi da’wah adalah paling banyak berperan menyebarkan dan
mengislamkan pulau Jawa. Berikutnya penduduk pribumi atau penduduk asli
Jawa, yang telah memeluk Islam, juga turut ambil bagian “membantu” da’wah
islamiyah di daerah kelahirannya. Berangkat dari latar belakang itulah penulis
kemudian ingin membahasnya dalam skripsi dan mengambil judul Sistem
Pendidikan Walisongo (Studi Analisis Pemikiran Widji Saksono Kajian Kitab
Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Da’wah Walisongo).
Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu Pertama, bagaimana cara
walisongo menyebarkan dan mengislamkan pulau Jawa. Kedua, bagaimana
metode da’wah dan model pendidikan yang diterapkan walisongo saat itu,
Sehingga mampu mencetak kader-kader muballigh yang militan. Ketiga, sejauh
mana pengaruh ajaran Islam terhadap budaya Jawa. Keempat, apakah sistem
pendidikan yang dikembangkan walisongo masih bisa dipakai untuk kondisi masa
kini. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah Untuk mengetahui
bagaimana cara walisongo menyebarkan dan mengislamkan pulau Jawa, untuk
mendiskripsikan tentang peran walisongo dalam proses pengislaman pulau Jawa,
untuk Mendiskripsikan tentang langkah-langkah walisongo dalam menyebarkan
Islam dipulau Jawa, untuk mengetahui sistem pendidikan yang dikembangkan
walisongo.
            Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif analysis kritis.
Dalam metode mengumpulkan data, penulis menggunakan metode deduksi,
metode induksi, melakukan studi kepustakaan, metode komparasi.
Hasil dari penelitian ini dapat di simpulkan bahwa ada banyak faktor, yang
menjadikan da’wah islamiyah di Jawa mulai pada abad VII sampai pada abad XV
dapat
        dikatakan        sukses:
_ Pertama : Islam telah menanamkan prinsip ketauhidan dan menerapkan
daya
         fleksibilitas.
_ Kedua : menggunakan saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf,
pendidikan, kesenian, dan politik. Semua saluran yang digunakan itu telah
ada dan mapan di Jawa. Jadi walisongo murni menggunakan potensi yang
ada
           di         Jawa.
_ Ketiga : menggunakan metode yang tepat, yaitu Al-hujuj balaghah, Al-
Asalibul Hakimah, Al-Adabus Samiyah, dan As-Siyatul Hakimah. Semua
Sistem
      Pendidikan      Walisongo.
metode yang di terapkan walisongo ini, jika diterapkan untuk sekarang tetap
cocok
        dan      relevan.
           Penerapan prinsip fleksibilitas, menjadikan Islam adoptis terhadap budaya
Jawa, artinya Islam tetap mengambil dan memanfaatkan segala budaya yang ada
di Jawa. Bersikap reseptif, artinya Islam berpembawaan mudah menerima
terhadap apa saja yang ada di Jawa. Tidak bersikap konfrontatif, artinya tidak
pernah melakukan penentangan terhadap budaya Jawa, budaya musyrik di
hilangkan dan berusaha mengisi budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai
  Islam.
           Pendidikan pesantren yang diterapkan walisongo, untuk sekarang masih
cocok dan perlu dikembangkan, hanya disana sini perlu adanya ikhtiar untuk
memenuhi tuntutan zaman. Dan kita tidak mungkin bertahan pada kemampuan
masa lalu.

 IV.            Kesimpulan
Berdasarkan  uraian diatas tentang Walisongo beserta dakwahnya maka disimpulkan sebagai berikut :
1.          Wali dalam babad merupakan julukan yang diberikan kepada para penyebar Islam pada periode awal di pulau Jawa. Jumlah mereka tidak terbatas, tetapi sebagai dewan wali anggotanya terdiri dari sembilan orang, yang kemudian dilembagakan sebagai Walisongo.
2.          Dakwah yang digunakan para Walisongo tidak melakukan konfrontasi dengan budaya masyarakat yang ada melainkan dengan “tapa ngeli” ( mengikuti aliran air ) dengan kebiasaan yang berlaku dan memberi baju Islam, atau memberi pesan-pesan keislaman.
3.          Media yang digunakan dalam dakwah para wali adalah melalui media kesenian ( tembang dan wayang ), media pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, dan melalui jalan perkawinan.
4.          Ajaran Walisongo adalah sebagaimana yang dianut oleh masyarakat muslim Indonesia, yakni Islam Ahlus Sunnah yang berdasarkan ajaran salaf yang ortodok.


      V.               Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat , kami sadar makalah yang kami buat jauh dari kriteria sempurna .Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan demi perbaikan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal ‘alamin............


























DAFTAR PUSTAKA
http://Coretan-rissi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html.
http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=04110038
www.pesantren.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar