Kamis, 04 April 2013

Negara dan Civil Society


Negara dan Civil Society

I.                   Pendahuluan
            Dalam sebuah kehidupan pasti tak akan lepas dari dunia perpolitikan, apalagi di Indonesia yang notabenenya negara bebas berpolitik bagi siapapun pada warganya. Dan dalam politik tidak akan lepas dari awal mula politik itu hadir dengan berdirinya negara yang berdaulat, diakui secara internasional dan adanya rakyat yang mampu menjalankan roda kehidupan di negara tersebut. Dan pada umumnya politik yaitu bagian dari usaha menentukan, membentuk peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh rakyatnya, dan juga untuk membawa suatu negara dan rakyatnya yang dapat hidup harmonis, aman, tentram, dan damai.
Dan dalam makalah ini, kami akan membahas dan menjelaskan tentang negara baik dari definisinya hingga pada bagian-bagian lainnya, dan civil society atau masyarakat madani dalam suatu negara yang berdaulat.


II.                Rumusan Masalah
A.    Definisi Negara
B.     Sifat-sifat Negara
C.     Unsur-unsur Negara
D.    Tujuan dan Fungsi Negara
E.     Istilah Negara dan Kekuasaan Politik
F.      Definisi dan Tipologi Civil Society

III.             Pembahasan
A.       Definisi Negara
Negara merupakan intergrasi dari kekuasaan politik, dan negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan.[1] Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh rakyatnya.[2] Adapun definisi lain, negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.[3]
B.       Sifat-sifat Negara
Negara mempunyai beberapa sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada organisasi lain. Ada pun beberapa sifat umum yang dimiliki suatu negara:
1.      Sifat memaksa, adalah sifat yang mengatur perundang-undangan pada suatu negara yang harus ditaati oleh rakyatnya, agar terciptanya kedamaian dan memudahkan penertiban pada masyarakat sehingga tercegahnya perbuatan-perbuatan anarki. Sifat memaksa juga berarti memiliki kekuasaan untuk menggunakan kekerasan fisik secara legal, seperti para polisi dan tentara.
2.      Sifat monopoli, yang berarti negara mampu memonopoli kehidupan masyarakat agar tercapai tujuan bersama. Dalam hal ini negara berhak untuk melarang dan menyebarluaskan suatu aliran politik maupun kepercayaan yang dianggap bertentangan dengan kehidupan dan tujuab masyarakatnya.
3.      Sifat mencakup semua, yang berarti negara berhak mengatur perundang-undangan yang berlaku pada semua rakyatnya tanpa terkecuali. Jika suatu negara membebaskan maka cita-cita masyarakat pada negaranya tidak akan tercapai. Seseorang menjadi warga negara tidak berdasarkan keinginan sendiri, berbeda dengan organisasi lain yang bersifat sukarela.
C.       Unsur-unsur Negara
Negara memiliki beberapa unsur yang terperinci sebaga berikut:
1.      Wilayah, suatu negara harus menduduki tempat dan mempunyai perbatasan tertentu di muka bumi. kekuasaan pada suatu negara terdiri dari wilayah darat, laut, dan udara. Dan dalam suatu negara harus diperhatikan variabel wilayahnya seperti besar kecilnya, luas sempitnya suatu negara.
2.      Penduduk, suatu negara harus memiliki rakyat atau penduduk, dan kekuasaan negara mampu mengayomi dan menjangkau seluruh penduduk di negaranya. Dalam hal kependudukan harus diperhatatikan beberapa faktor, seperti kepadatan peduduk, tingkat kelahiran, tingkat kematian, tingkat pembangunan, homogenitas, rasa nasionalisme pada warganya dan lain-lain. Dan penduduk suatu negara harus memilik jiwa nasinalisme agar terciptanya persatuan nasional dan identitas nasinal yang kuat.
3.      Pemerintah, suatu negara hurus memiliki pemerintahan yang memiliki wewenang untuk merumuskan, mengatur dan melaksanakan keputusan-keputusan baik berbentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan lain yang berguna untuk khalayak umum di wilayahnya. Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama negara dalam melaksanakan wewenang dan kekuasaan dari negara yang menunjang tercapainya tujuan bersama, dan dilaksanakan serta menertibkan hubungan-hubungan pada masyarakatnya. Kekuasaan pemerintah terbagi atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
4.      Kedaulatan, yang berarti kekuasaan tertinggi dalam suatu negara untuk membuat peraturan perundang-undangan dan melaksanakannya. Negara berhak memaksa rakyatnya untuk menaati undang-undang dan berhak mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari berbagai hal negatif seperti serangan dari negara lain, dan negara berghak menuntut loyalitas yang mutlak dari rakyatnya. Kedaulatan merupakan suatu konsep yuridis yang tidak sealalu sama dengan komposisi dan letak dari kekuasaan politik. Tidak ada kedaulatan yang bersifat mutlak, karena terpengaruh oleh takanan dan faktor yang membatasi penyalenggaraan kekuasaan secara mutlak yang di alami oleh seorang pemimpin negara.

D.       Tujuan dan Fungsi Negara
Tujuan suatu negara selalu ber-inti-kan untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya.
Menurut Roger H. Soltau bahwa tujuan negara ialah “memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin”.
Menurut Harold J. Laski bahwa tujuan negara adalah “menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan meraka secara maksimal”.[4]
Banyak sekali haluan-haluan yang bersifat membangun masayarakat demi tercapainya tujuan masyarakat, seperti marxisme-leninisme, liberalisme dan Islam.
Adapun beberapa fungsi mutlak pada setiap negara, yaitu:
1.      Melaksanakan penertiban, yang bertujuan untuk mencegah sikap anarki dari masyarakat.
2.      Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, yang berfungsi untuk membangun kesejahteraan dan kemakmurean hidup masyarakat.
3.      Pertahanan, yang bertujuan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.
4.      Menegakan keadilan, yang bertujuan membangun masyarakat yang harmonis.[5]
Adapun fungsi lain menurut Charles E. Merriam yang diselenggarakan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama, yaitu:
a.       Keamanan ekstern
b.      Ketertiban intern
c.       Keadilan
d.      Kesejahteraan umum
e.       Kebebasan [6]
E.        Istilah Negara dan Sistem Politik
Konsep sistem politik merupakan pokok dari gerakan pembaharuan yang timbul dalam dekade 50-an. Gerakan ini ingin mencari suatu keilmuan politik baru yang dikenal dengan istilah pendekatan tingkah laku oleh karena mengemukakan tingkah laku politik sebagai fokus utama dari penelitian, menekankan struktur dan fungsi tingkah laku.
Pada dasarnya konsep sistem politik dipakai untuk keperluan analisa pada suati sisitem yang bersifat abstrak. Dan dalam konteks ini sistem terdiri dari beberapa fariabel yang dapat diterapkan pada suatu situasi yang konkret, misalnya negara atau kesatuan yang lebih kecil. Konsep ini didasarkan studi tentang gejala-gejala politik dalam kenteks tingkah laku dimasyarakat.
Sistem politik merupakan salah satu dari bermacam-macam sistem yang terdapat dalam suatu masyarakat, dan setiap sistem memiliki fungsi tertentu yang dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup dan mencapai tujuan dari masyarakat tertentu. Sistem menyelenggarakan beberapa fungsi seperti membuat keputusan-keputusan kebijakan yang mengikat mengenai alokasi dari nila-nilai yang bersifat materiil dan non meteriil.
Sistem politik disebut juga sistem terbuka, karena terbuka terhadap pengaruh dari luar sebagai akibat dari interaksi dengan sistem-sistem lain. Proses dalam setiap sistem dapat dijelaskan sebagai input dan output, begitu pula dalam suatu sistem politik yang konkret seperti negara. Dalam sistem politik, input ini diubah dan diolah menjadi output keputusan-keputusan, dan kebijakan yang mengikat dari pemerintah.
Umumnya sistem politik mempunyai empat variabel:
1.      Kekuasaan, sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan.
2.      Kepentingan, tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku atau kelompok politik.
3.      Kebijaksanaan, hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan.
4.      Budaya politik, orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik.[7]

F.        Definisi dan Tipologi Civil Society
Civil Society secara bahasa dapat diartikan Masyarakat Madani yaitu Masyarakat yang beradab atau memiliki adab untuk mendapat tatanan masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya.[8]
Banyak para ahli memberikan definisi tentang Civil Society yang berbeda akan tetapi definisi tersebut tetap pada ruang lingkup yang saling berhubungan pada sebuah keseimbangan  antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut beberapa ahli, civil society merupakan:
Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Menurut Han Sung-joo mendefinisikan masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Menurut Kim Sunhyuk mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakn satuan-satuan dari (re)produksi dan masyarakat politik yang mampu melekukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memejukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.[9]
Menurut Eisenstadt, civil society adalah suatu masyarakat baik secara individual maupun kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara independen.
Menurut Anwar Ibrahim, merupakan sistem sosial yang subur yang berasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dibidang pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Menurut Emest Geller, civil society merupakan masyarakat yang terdiri atas institusi pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk mengimbangi negara.[10]
Dan Adapun Tipologi dari Civil Society, yaitu:
Istilah civil society berasal dari bahasa Latin societes civiles yang mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 SM), seorang orator, politisi dan filosof Roma. Sejak saat itu sampai dengan abad ke-18, pengertian civil society masih disamakan dengan negara (the state), yakni sekelompok masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok lain.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) kembali menghidupkan dan mengembangkan istilah civil society (masyarakat sipil) dengan merujuk kepada masyarakat dan politik. Hobbes, misalnya, berpendapat bahwa perjanjian masyarakat diadakan oleh individu-individu untuk membentuk suatu masyarakat politik atau negara. Locke mendefinisikan masyarakat sipil sebagai masyarakat politik (political society) yang mana dihadapkan dengan keadaan alami (state of nature) sekelompok manusia. Masyarakat politik itu sendiri, menurut Rousseau yang senada dengan Hobbes, merupakan hasil dari suatu kontrak sosial. Perlu digarisbawahi bahwa pengertian-pengertian ini lahir ketika perbedaan antara masyarakat sipil dan negara belum dikenal, sehingga negara merupakan bagian dari masyarakat sipil yang mengontrol pola-pola interaksi warga negaranya.
Barulah pada paruh kedua abad 18 Adam Ferguson (1723-1816) dan Thomas Paine (1737-1809) memberi tekanan lain terhadap makna civil society. Civil society dan negara dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik sebagai akibat pencerahan (enlightment). Keduanya diposisikan dalam posisi yang diametral. Masyarakat sipil bahkan dinilai sebagai anti tesis terhadap negara, ia harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi kepentingannya.
Pemahaman ini mengundang reaksi para pemikir lainnya seperti Hegel (1770-1831) yang beraliran idealis. Menurutnya civil society tidak dapat dibiarkan tanpa terkontrol. Ia justru memerlukan berbagai macam aturan dan pembatasan melalui kontrol hukum, administrasi dan politik. Lebih lanjut, Hegel membedakan masyarakat politik (the state) dan masyarakat sipil (civil society). Masyarakat politik adalah perkumpulan-perkumpulan yang mengandung aspek politik yang mengayomi masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan masyarakat sipil ialah perkumpulan merdeka yang membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat borjuis.
Karl Marx (1818-1883) sependapat dengan Hegel dalam melihat civil society sebagai masyarakat borjuis. Bedanya, Hegel menganggap hanya melalui negara, kepentingan-kepentingan masyarakat yang universal dan mengandung potensi konflik bisa terselesaikan. Dus, negara merupakan sesuatu yang ideal. Marx berpandangan sebaliknya, ia menganggap negara tak lain sebagai badan pelaksana kepentingan kaum borjuis. Oleh sebab itu, negara harus dihapuskan, atau harus diruntuhkan oleh kelas proletar. Ketika negara akhirnya lenyap, maka yang tinggal hanyalah masyarakat tanpa kelas. Visi ini berseberangan dengan visi Hegel yang mengatakan di masa depan masyarakat sipillah yang akan runtuh dari dalam, jika negara telah mampu mengayomi seluruh kepentingan masyarakat. Sedangkan menurut Antonio Gramsci (1891-1937) yang juga memandang civhl society sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung negara, disamping mereka memegang hegemoni, mereka juga seharusnya bisa menjalankan fungsi etis dalam mendidik dan mengarahkan perkembangan ekonomi masyarakat. (Dawam Raharjo: 1999)
Adapun menurut Alexis de Tocqueville (1805-1859), masyarakat sipil tidak secara a priori subordinatif terhadap negara, tetapi lebih dari itu ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjdi kekuatan penyeimbang menghadapi intervensi negara dan tidak hanya berorientasi pada kepentingan sendiri tetapi juga terhadap kepentingan publik. Pendap`t Tocqueville ini kemudian diperkuat oleh Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929) dengan konsep ”a free public sphere”, sebuah wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Penciptaan ruang publik, bagi Arendt merupakan prasyarat terciptanya civil society dan demokratisasi. Hal senada diungkapkan Ernest Gellner (1925-1995) yang memandang perlunya ruang dan kebebasan publik. Menurutnya civil society adalah seperangkat institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara dan mencegah timbulnya tirani kekuasaan.
Secara umum saat ini, penganut sosialis banyak mengadopsi konsep hegemoni Gramsci dalam memahami civil society dimana hegemoni tidak lagi dilakukan secara fisik, melainkan melalui penjinakan budaya dan ideologi yang diselenggarakan secara terstruktur oleh negara. Sementara penganut kapitalis lebih tertarik kepada civil society versi Tocqueville dimana masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat saling berinterksi dengan semangat toleransi. Adapun di negara-negara berkembang umumnya, sikap Hegelian terhadap negara merupakan pandangan yang dominan. Di satu sisi mereka memandang negara sebagai wadah segala sesuatu yang ideal dan di sisi lain mereka kurang percaya terhadap masyarakat sipil.
Menurut AS Hikam (1999), masyarakat sipil sebagaimana dikonsepsikan oleh para pemikirnya mempunyai tiga ciri khusus yaitu: pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok dalam masyarakat, terutama saat berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara demi kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter. Selanjutnya akan kita lihat bagaimana konsep civil society ini diaktualisasikan dalam konteks Indonesia.[11]

IV.             Kesimpulan
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh rakyatnya.
Negara mempunyai beberapa sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada organisasi lain. dan beberapa sifat umum yang dimiliki suatu negara:
a)    Sifat memaksa.
b)   Sifat monopoli.
c)    Sifat mencakup semua.
Negara memiliki beberapa unsur yang terperinci sebaga berikut:
a.    Wilayah.
b.    Penduduk.
c.    Pemerintah.
d.   Kedaulatan.
Tujuan suatu negara selalu ber-inti-kan untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya dan menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan meraka secara maksimal. Sistem Politik merupakan pokok pendekatan tingkah laku oleh karena mengemukakan tingkah laku politik sebagai fokus utama dari penelitian, Pada dasarnya konsep sistem politik dipakai untuk keperluan analisa pada suati sisitem yang bersifat abstrak.
Umumnya sistem politik mempunyai empat variabel:
a)    Kekuasaan.
b)   Kepentingan.
c)    Kebijaksanaan.
d)   Budaya politik.
Civil Society secara bahasa dapat diartikan Masyarakat Madani yaitu Masyarakat yang beradab atau memiliki adab untuk mendapat tatanan masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya.
V.                Penutup
 Demikianlah makalah yang kami sampaikan. Saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan demi kesempurnaan  makalah ini dan makalah berikutnya.
Semoga ada manfaatnya. Amin





DAFTAR PUSTAKA

Miriam budihadrjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008
“Pengertian Civil society” http://as-sosunila.blogspot.com/2012/11/pengertian-civil-society.html, Rabu 13 Maret 2013 20:13 WIB.


[1] Miriam budihadrjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008, hlm 47.
[2] Ibid, hlm 17.
[3] Miriam budihadrjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008, hlm 47.
[4] Miriam budihadrjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008, hlm 48.
[5] Ibid, hlm 56.
[6] Ibid, hlm 56
[7] Miriam budihadrjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008, hlm 59.
[8] “Pengertian Civil society” http://as-sosunila.blogspot.com/2012/11/pengertian-civil-society.html, Rabu 13 Maret 2013 20:13 WIB.
[10] “Pengertian Civil society” http://as-sosunila.blogspot.com/2012/11/pengertian-civil-society.html, Rabu 13 Maret 2013 20:13 WIB.
[11] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar