Kasus : Kekerasan
LEMBAR KASUS
Ina (4
tahun, bukan nama sebenarnya) anak yang sedang lucu-lucunya, siapa pun akan
senang melihat kelucuan anak itu. Dia bukan anak penakut, sehingga mudah akrab
dengan siapapun, meskipun orang itu baru dikenalnya. Ayah dan ibu Ina bekerja
sebagai pegawai swasta, sehingga Ina diasuh oleh pembantu rumah tangga. Dia
juga sudah masuk Play Group dan ke sekolah seminggu tiga kali. Sepulang sekolah, atau jika tidak sedang
sekolah dia bermain bersama teman-temannya di luar rumah. Kadang-kadang tidak
diawasi pembantu karena harus melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Suatu hari, Ina menangis karena saat buang air
kecil dia kesakitan bahkan dari vaginanya keluar darah. Sang ibu terkejut
sekali, kemudian segera membawanya ke tetangga sebelah (seorang dokter umum),
yang juga bekerja sebagai dokter di RSUP K. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan
bahwa selaput dara Ina robek oleh benda tumpul secara paksa. Dokter tersebut
hanya memberi obat kepada Ina, tetapi tidak melakukan rujukan kerumah sakit.
Sang ibu bertanya kepada Ina siapa yang melakukan itu. Dari mulut bocah cilik
itu meluncur cerita yang mengerikan, “Ina diajak main sama Oom M (tetangga satu
RT) dan dikasih permen, Oom M buka baju dan celana Ina”, dari cerita itu Ibu
Ina berteriak histeris.
Dia dan suaminya segera melaporkan kasus tersebut
kepada polisi yang segera ditindaklanjuti dengan melihat TKP dan barang bukti
lainnya. Selanjutnya, Polisi membawa Ina ke RSUP K untuk dilakukan visum.
Namun, karena visum dilakukan setelah 3 hari hari sejak peristiwa terjadi, luka
pada vagina Ina sudah agak sembuh, sehingga hasil visum menyimpulkan bahwa
tidak terjadi luka pada vagina Ina, robekan pada selaput dara bisa disebabkan
oleh faktor lainnya. Polisi menyatakan bahwa kasus tersebut tidak dapat
diteruskan proses hukumnya. Bahkan, pelaku tidak ditahan dan masih bebas
berkeliaran.
Orang tua Ina tidak dapat menerima hal itu,
apalagi tampaknya Ina mengalami trauma pasca perkosaan, dia selalu ketakutan
dan berteriak-teriak meminta agar kepada ayahnya, “Pa bunuh Oom itu”, apalagi
jika melihat orang yang memperkosanya lewat di depan rumahnya. Oleh karena
tidak tahu harus berbuat apa, orang tua Ina mendatangi sebuah LSM yang
melakukan pendampingan kepada korban kekerasan untuk meminta pendapat hukum dan
pendampingan bagi korban kekerasan. LSM tersebut dan orang tua Ina mendatangi
dokter tetangga, yang memeriksa kondisi Ina, untuk meminta menjadi saksi di
kepolisian maupun di persidangan. Tetapi dokter tersebut menolak bahkan
bersumpah bahwa dia tidak pernah memeriksa Ina. Akhirnya, dengan berbagai upaya
LSM tersebut, kasus perkosaan Ina dapat dibawa ke pengadilan, tetapi karena
bukti formal yang ada kurang kuat dan dokter yang memeriksa pertama kali tidak
mau bersaksi, maka pelaku tetap dibiarkan bebas. Sedangkan Ina masih harus
mengalami trauma pasca perkosaan berkepanjangan.
Anak yang masih kecil itu menderita
berkepanjangan. Bahkan yang lebih menyakitkan, orang tua Ina dianggap membuat
malu tetangga sendiri. Si pelaku dengan bebasnya berjalan ke sana ke mari
seolah-oleh tidak bersalah sama sekali. Untuk mengamankan anaknya, orang tua
pindah rumah. Namun, LSM yang dimintai tolong terus berusaha keras untuk
meminta kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memberikan sanksi kepada
sang dokter yang tidak mau bersaksi. Sang dokter pun diberi sanksi
administratif, tetapi bagaimana dengan nasib korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar