KARAKTERISTIK MANAJEMEN
[QS AL-HUJURAT (49): 6]
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Tafsir
Dakwah
Dosen Pengampu : Hj. Yuyun Affandi, Lc. M.A.
Disusun Oleh:
Nayla Shofia (111311007)
Anis Khoirun
Nisa’ (111311011)
Asri
Wahyuningrum (111311012)
Atika
Mudhofaroh (111311 013)
Dian Adi
Perdana (111311014)
Faizatun Alfi Hasanah (111311015)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
KARAKTERISTIK MANAJEMEN
[QS AL-HUJURAT (49): 6]
I.
MUQODIMAH
Secara etimologis,
Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang
khas dari sesuatu. Sedangkan Manajemen berarti mengurus, mengelola dan
menjalankan. Jhonson mengartikan manajemen sebagai suatu proses
mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sumber total yang
saling berkaitan untuk menyelesaikan suatu tujuan.[1]
Karakteristik manajemen merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan manajemen,
sesuatu yang menjadi pembeda antara manajemen dengan hal lainnya, sesuatu yang
menjadi identitas manajemen, serta sesuatu yang menjadikan manajemen itu unik.
Dalam studi manajemen sendiri manajemen merupakan sebuah kegiatan dimana yang
menjadi salah satu ciri khasnya adalah fungsi-fungsi yang ada di dalam
manajemen itu sendiri, dalam Q.S Al-Hujraat ayat 6 jika kita analisis bersama
fungsi manajemen begitu erat kaitannya dengan surat Al-Hujraat Ayat 6 ini,
untuk lebih jelasnya marilah kita ulas bersama mengenai fungsi manajemen yang
berkaitan dengan Al-Hujraat ayat 6.
II.
AYAT DAN TERJEMAH
QS
AL-HUJURAT (49): 6
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada
kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian
tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahun sehingga kalian akan
menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan”. (QS al-Hujurat
[49]:6)[2]
III.
MUFRODAT
-
فَاسِقٌ - Fasiq à Orang-orang
yang keluar dari batas-batas agama
-
تَبَيَّن - Tabayyun à Mencari
kejelasan
-
نَبَأٍ -
Naba’ à Berita,
Menurut Ar-Ragib berita tidak di sebut Naba’ kecuali bila memuat perkara besar yang demikian
diperoleh pengetahuan (ilmu) atau persangkaan
yang kuat.
-
بِجَهَالَةٍ - Bi
Jahalah à Dengan
kebodohan. Maksudnya perbuatan yang terlanjur mereka lakukan dan berangan-angan sekiranya
hal itu tak pernah terjadi.[3]
IV.
ASBABUN NUZUL
Imam Ahmad meriwayatkan dari Harits Bin Dhirar
al-Khuzai’i yang berkata “Suatu ketika saya mendatangi Rasulullah. Beliau lalu
menyeru saya masuk Islam dan saya
menyambutnya. Setelah itu beliau menyeru saya untuk membayar zakat dan saya pun
langsung menyetujuinya. Saya kemudian berkata “Wahai Rasulullah, izinkan saya
kembali ke tengah-tengah kaum saya agar
saya dapat menyeru mereka kepada Islam dengan menunaikan zakat. Bagi mereka
yang memenuhi seruan saya itu maka saya akan mengumpulkan zakat mereka. Setelah
itu hendaknya engkau mengutus seorang utusanmu ke Iban dan disana saya akan
menyerahkan zakat yang terkumpul tersebut.
Akan tetapi sesampainya di Iban ia tidak menemukan utusan
Rasul. Harits lantas menyangka bahwa telah terjadi sesuatu yang membuat (Allah
dan Rasulullah) marah kepadanya. Kemudian Harits mengumpulkan pemuka agama
untuk menghadap Rasulullah. Sementara itu Rasulullah mengutus Walid Bin Uqbah
untuk mengambil zakat dari kaum Harits namun di tengah perjalanan Walid merasa
bimbang karena takut dengan kaum Harits dan memutuskan kembali ke Madinah,
kemudian sesampainya Walid dihadapan Rasulullah, Walid berkata “Kaum Harits
menolak untuk menyerahkan zakatnya, bahkan ia juga bemaksud membunuh saya”
Mendengar hal itu Rasululah lantas mengirim utusan untuk
bertemu Harits. Dan ditengah perjalanan utusan Rasulullah bertemu dengan Harits
dan para pemuka agama. Kemudian utusan tersebut menceritakan kepada Harits
tentang apa yang telah terjadi. Segeralah Harits menemui Rasulullah dan
menceritakan yang sebenarnya. Kemudian turunlah Q.S Al Hujuraat Ayat 6.[4]
V.
KOLERASI AYAT
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan
kepadamu berlapang-lapanglah pada
majlis-majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu. Dan
jika dikatakan kepada kamu ; Berdirilah ! ", maka berdirilah Allah akan
mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang~rang yang diberi
ilmu beberapa derajat ; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha
Mengetahui”. (Al- Mujadalah : 11)
Kolerasi dengan Q.S Al-Hujurat ayat 6 :
1.
Kedua surat
ini di awali dengan يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا dimana
keduanya ditunjukkan sebagai teguran untuk orang mu’min.
2.
Dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 Allah
memerintahkan kita untuk mengerjakan hal-hal yang membuat timbulnya rasa
persahabatan. Misalnya melapangkan tempat untuk orang yang datang ke majelis,
dan berpindah tempat untuk melapangkan tempat
apabila keadaan menghendaki. Apabila yang demikian itu kita laksanakan,
Allah akan meninggikan kedudukan kita di dalam surga dan menjadikan kita diantara
orang-orang yang berbakti.[5]
Sedangkan dalam surat Al-Hujuraat ayat 6 menurut Imam Hanafi bahwa sanya
keterangan (informasi) dari orang fasik dapat kita jadikan sebagai saksi. Kedua
surat ini sama-sama menghimbau kepada kita untuk memberikan kesempatan.
artinya :
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggungjawabannya”. (QS al-Isrâ’ [17]: 36).
Sedangkan surat al-Isra 36 ini sebagai
jawabah atas surat al-Hujuraat ayat 6 bahwa kita tidak boleh mengikuti suatu
informasi yang kita belum tau jelas kebenarannya, perlu adanya kebenaran,
ketelitian dan bukti untuk mempercayai suatu informasi.
VI.
TAFSIR AYAT
Dalam ayat ini dibahas enam masalah :
Pertama, Firman Allah Ta’ala يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian
orang fasik dengan membawa berita”. Menurut
pendapat ayat ini diturunkan tentang Al-Walid bin Aqabah bin Abi Mu’ith. Hal
tersebut berdasarkan pada keterangan yang diriwayatkan oleh Sa’id dari Qatadah,
bahwa nabi Muhammad mengutus Al-Walid untuk memungut zakat dari Bani
Mushthaliq. Ketika kaum Bani Mushthaliq melihat Al-Walid, maka mereka pun
menghadapnya, sehingga dia merasa takut terhadap mereka. Dia kemudian kembali
kepada Nabi SAW dan memberitahukan bahwa mereka telah murtad dari agama islam.
Nabi pun kemudian mengutus Khalid bin Al-Walid dan memerintahkannya untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti
dan tidak tergesa-gesa. Khalid kemudian berangkat (ke tempat mereka), sehingga
dia tiba ditempat mereka pada malam hari. Maka Khalid pun mengutus
mata-matanya. Ketika mereka pulang, mereka memberitahukan kepada Khalid bahwa
kaum Bsni Mushthaliq itu masih memeluk agama islam dan mereka pun mendengar
suara adzan dan shalat mereka.
Keesokan harinya Khalid mendatangi kaum Bani Mushthaliq
dan dia pun melihat secara langsung kebenaran yang dikatakan mata-matanya. Dia kemudian kembali kepada nabi SAW dan memberitahukan hal
itu. Maka turunlah ayat ini. Nabi kemudian bersabda,
اَلتَّٰأَنِي مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Artinya :
“Perlahan-lahan itu dari Allah,
sedangkan tergesa-gesa itu dari syetan”.[6]
Bahwa ayat ini memerintahkan
orang-orang beriman untuk menyelidiki, memeriksa dan tidak terburu-buru
melontarkan tuduhan jika mereka di bawa khabar atau cerita oleh seseorang yang
fasiq. Tindakan meneliti terlebih dahulu suatu berita sangat diperlukan agar
kita tidak menjadi orang bodoh atau jahil sebagaimana ditimbulkan di akhir ayat
ini supaya menjauhi kejahilan ini kerana kelak pada suatu masa kita akan
menyesal dengan perbuatan kita dengan sepenuh sesalan.[7]
Namun, timbul pula persoalan tentang
siapa yang dikatakan atau yang mempunyai ciri-ciri fasiq dalam surat
Al-Hujuraat ayat 6 ini. Fasiq menurut para ulama’ ialah mereka yang melakukan
dosa-dosa besar dan sudah tentu orang kafir tergolongan dari kalangan fasiq
kerena secara nyata mereka menyekutukan Allah SWT. Begitu pula dengan persoalan
penyesalan dalam ayat ini. Apakah begitu besar atau dahsyat penyesalan bagi
yang akan di alami akibat dari menyebarkan berita tidak pasti atau berita
palsu. Tentunya akan begitu besar pengaruh yang ditimbulkan dalam berita palsu
karena persepsi negatif dalam diri akan memakan diri dan menampakkan keburukan
orang sesama muslim di mata muslim yang lain. Dan pada akhirnya nanti akan
timbul perpecahan antara satu sama lain.
Ibnu Zaid. Muqatil, dan Sahl bin
Abdullah berkata, “ Al-Faasiq adalah orang yang sering berdusta”.
Abu Al Hasan Al waraq berkata, “
Al-Faasiq adalah orang yang terang-terangan melakukan perbuatan dosa.”
Ibnu Thahir berkata “ Al Faasiq
adalah orang yang tidak malu kepada Allah.”[8]
Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 6 terdapat kata ( إِنْ ) in / jika yang
biasa digunakan untuk sesuatu yang diragukan atau jarang terjadi. Ini
mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada orang-orang beriman
diragukan atau jarang terjadi. Hal itu disebabkan orang-orang fasik mengetahui
bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti
kebenaran setiap informasi sehingga sang fasik dapat dipermalukan dengan
kebohongannya.
Kata ( فَاسِقٌ ) fasiq terambil
dari kata(فَسَقَ) fasaqa yang biasa
digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang
sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang keluar
dari koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa
kecil.
Kata ( نَبَأٍ) nabain digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda
dengan kata (خبار) khabar yang berarti kabar secara umum, baik
penting maupun tidak. Dari sini, terlihat perlunya memilih informasi apakah itu
penting atau tidak dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya
atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi
dari siapa pun yang tidak penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika
demikian akan banyak energi dari waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang
tidak penting.
Hamzah
dan Al-Kisa’i membaca firman Allah itu dengan : فَثَبِتُوْا – diambil dari kata At-tatsabut. Adapun yang lain, mereka membaca firman
Allah itu dengan : فَتَبَيَّنُوا – diambil dari kata At- Tabyiin.
Firman
Allah, أَنْ تُصِيبُوا”agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah,” yakni agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah. Dengan demikian, lafazh أَنْ berada pada posisi nashab, karena
gugurnya huruf yang menjarkanya
Kata
(بِجَهَالَةٍ) bijahalah dapat berarti tidak
mengetahui dan dapat diartikan serupa dengan makna kejahilan, yakni
perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hal-hal
yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun
kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan
nilai-nilai ajaran Ilahi.
Kata
(تُصْبِحُوا) tushbihu pada mulanya
berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan menjadi. Ayat
diatas mengisyatratkan bagaimana sikap seseorang yang beriman dikala melakukan
satu kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat di atas, dilukiskan sebagai فَتُصْبِحُوا
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ,
yakni segera
dan berpagi-pagi menjadi orang yang penuh penyesalan.[9]
Dalam
Q.S Al-Hujuraat ayat 6 Allah menjelaskan bahwa apabila datang seorang fasik
kepada kaum mukmin, yang mereka terang-terangan meninggalkan syi’ar agama,
membawa sesuatu berita penting, janganlah kamu lantas mempercayainya sebelum
menyelidiki lebih jauh, supaya kamu tidak bertindak salah terhadap suatu kaum.[10]
Kedua:
pada ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa
berita satu orang (khabar waahid) itu dapat diterima, jika dia seorang yang
adil. Sebab ayat ini, Allah hanya memerintahkan untuk memeriksa dengan teliti
terhadap pemberitaab orang yang fasik.
Adapun
ornag yang sufah dipastikan kefasikannya, ucapannya tidak dapat diterima dalam
bidang pemberitaan. Hal ini berdasarkan ijma. Sebab pemberitaan adalah sebuah
amanah, sedangkan kefasikan adalah petunjuk yang dapat membuat amanah itu tidak
disampaikan.
Ketiga:
Ibnu Al Arabi berkata, “ adalah mengherankan jika
Asy-Syafi’i dan orang-orang yang sependapat dengannya, membolehkan kepemimpinan
orang yang fasik. Sementara orang yang tidak amanah terhadap sepeser uang,
bagaimana mungkin dia dapat diberikan kepercayaan untuk melunasi utang yang
banyak?
Hal
ini sebgaiman dikatkan oleh Utsman, ‘ Shalat adalah hal terbaik yang dapat
dilakukan orang-orang. Apabila mereka ( para penguasa) berbuat baik,
maka berbuat baiklah. Tapi jika mereka berbuat buruk, mak hindarilah keburukan
orang-orang.
Keempat: adapun putusan orang yang fasik, jika dia menjadi
seorang wali, maka putusannya yang sesuai dengan kebenaran harus dijalankan,
sedang putusannya yang tidak sesuai dengan kebenaran harus ditolak.
Kelima: pada ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan rusaknya
pendpat orang-orang yang mengatakan bahwa seluruh kaum muslim itu unggul, sampai ditetapkan adanya
cacat. Sebab ( dalam ayat ini ) Allah memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan
secara teliti, sementara pemerikasaan secara teliti itu tidak akan berguna jika
putusan sudah dilakukan.
Keenam: jika hakim memutuskan sesuatu berdasarkan dugaan kuat,
maka hal itu tidak termasuk perbuatan tanpa mengetahui keadaannya, seperti
putusan terhadap dua orang saksi yang adil dan penerimaan terhadap pendapat
orang yang alim dan mujtahid.[11]
Pendapat Muffasirin:
Imam Hanafi mengambil dalil dari ayat
ini untuk menerima khabar seseorang yang tidak diketahui keadaannya. Ayat ini
juga bisa menjadi dalil bahwa di antara sahabat Nabi ada yang tidak adil,
karena Allah memberi sebuah fasiq kepada al-Walid.
Ar-Razi menolak riwayat ini, karena
beliau tidak dapat menerima pemakaian nama fasiq kepada al-Walid, sebab baginya
al-Walid tidak sengaja berdusta apalagi kata fasik sering dipakai dalam
al-Qur’an untuk orang yang tidak beriman.[12]
Hubungan dengan ilmu lain:
(a.) Ilmu Akhlaq,
dalam ilmu akhlak kita sebagai muslim hendaknya berperilaku baik dan sesuai
koridor agama Islam, sedangkan apa yang dilakukan oleh al-Walid merupakan
berbuatan dusta yang hendaknya harus kita hindari.
(b.) Ilmu Manajemen, dalam setiap kegiatan bahkan
penginformasian perlu adanya kejelasan didalamnya untuk itu manajemen sebagai
suatu cara untuk mengkoordinir kegiatan perlu diamalkan dalam semua aktivitas.
VII.
HUKUM
A.
Hukum:
1.
Wajib amanah karena mendustai amanah adalah termasuk golongan orang
munafik.
2.
Haram berdusta karena dusta adalah perbuatan yang dilarang agama dan
termasuk dosa besar.
B.
Hikmah:
1.
Dalam kehidupan social masyarakat dalam penerimaan dan pengamalan berita
haruslah ada kejelasaan mengenai fakta berita tersebut.
2.
Pihak yang menyampaikan berita perlu dinilai kejujurannya dan integritasnya
dalam menyampaikan berita.
3.
Banyaknya orang yang menyampaikan informasi juga bukan jaminan kebenaran
informasi.
4.
Jangan mudah mempercayai
berita-berita yang terlihat meragukan dan belum jelas.
5.
Berita yang terkadang dilebih-lebihkan perlu diteliti dan dipastikan dengan
menggunakan sumber yang sah.
6.
Tujuan dari berita atau khabar bukan
untuk mencari simpati, publisiti atau sengaja digunakan untuk mencari kesalahan
orang lain dengan di karenakan hasad dengki, amarah, tidak puas hati dll.
7.
Manajemen perlu dibiasakan dan
ditanamkan dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam komunikasi.
VIII.
KESIMPULAN
Pentingnya penekanan fungsi-fungsi manajemen sebagai
suatu karakteristik dalam mengatur kegiatan perlu dibiasakan. Dengan adanya
kegiatan yang berlandaskan manajemen maka sebuah kegiatan akan lebih terarah
baik dalam perencanaan sampai dengan pencapaian tujuan. Seperti pada kisah
Harits di atas jika manajemen digunakan terutama dalam controlling komunikasi
atau penginformasian khabar lebih teliti maka kesalah fahaman akan jauh dari
kaum mereka. untuk itulah manajemen penting adanya.
IX.
PENUTUP
Demikian makalah ini saya susun, saya menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan, Untuk kritik dan saran yang membangun saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah
yang saya buat dapat bermanfaat. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Al Qurthubi.
Syaikh Imam, 2009. Tafsir Al Qurthubi.
Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-Maraghi. Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
As-Suyuti. Jalaluddin. 2008. Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzul. Jakarta: Gema Insani.
Choliq. Abdul .2011. Pengantar Manajemen. Semarang:Rafi Sarana Perkasa.
Departemen Agama (SK Menteri Agama
Munawir Sadzali). 1992. Al Qur’an dan Terjemah Edisi Lux, (Semarang:
Asy-Syifa, 1992)
Shiddiqi. Nourouzzaman dan Fuad Hazbi
ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur.Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra.
Shihab. M. Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah
(Pesan, Kesan dan Keserasian Ayat al-Qur’an). Jakarta: Lentera hati.
[1] Abdul Choliq, Pengantar
Manajemen, (Semarang:Rafi Sarana Perkasa, 2011), hal 2
[2] Departemen Agama (SK Menteri Agama Munawir Sadzali), Al Qur’an dan Terjemah Edisi Lux, (Semarang:
Asy-Syifa, 1992), hal 846
[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992), hal 2009
[4] Jalaluddin as-Suyuti, Lubabun
Nuquul fii Asbaabin Nuzul, ( Jakarta: Gema Insani, 2008) hal 524
[5] Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), hal 414
[10]Ibid, Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, hal 3917
[12] Op.Cit, Nourouzzaman Shiddiqi dan Fuad Hazbi ash-Shiddieqy, hal 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar