GADAI
( RAHN )
Makalah
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih Ekonomi Islam
Pengampu: Asep Dadang Abdullah ,M.Ag
Disusun Oleh :
Dian Adi Perdana (111311014)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
GADAI
(RAHN)
I.
Pendahuluan
Syari’at
Islam memerintahkan umatnya supaya tolong menolong; yang kaya harus menolong
yang miskin dan yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong
menolong ini masi berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam bentuk
pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan.
Oleh sebab itu ia boleh minta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya
sehingga apabila debitur tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan bisa
dijual oleh kreditur. Konsep yang seperti ini dalam fiqih islam dikenal dengan
istilah Gadai atau Rahn.[1]
Gadai
yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum Pegadaian, dengan
motonya “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah” sebagai satu-satunya perusahaan
yang mengusahakannya. Dulu, pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan
berhubungan dengan masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang
malu untuk datang kepegadaian. Sekarang kondisinya sudah lain, pegadaian tumbuh
menjadi sarana untuk mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani
sampai pengusaha berdasi.
Gadai
secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan
berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio,
tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah,
mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang
lainnya yang dianggap bernilai. Untuk lebih jelasnya mari kita
lanjutkan dengan pembahasan berikut ini.
II.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Pengertian Gadai (Rahn) ?
2. Bagaimana Hukum, Syarat dan Rukun Gadai
(Rahn) ?
3. Bagaimana Tugas pokok, Tujuan dan Fungsi
dari Gadai (Rahn ) ?
4. Bagaimana Skema Gadai (Rahn) ?
5. Bagaimana perbedaan antara Rahn syari’ah
dengan Rahn konvensional ?
III.
Pembahasan
1. Pengertian Gadai (Rahn)
Fiqih
Islam mengenal perjanjian Gadai yang disebut Al-Rahn yaitu perjanjian
menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Gadai atau ar-rahn dalam bahasa
arab (arti lughot) berarti al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal), sebagian
ulama lughotmemberi arti ar-rahn dengan al-habs (tertahan).[2]
Dalam
arti luas Gadai (Rahn) merupakan perjanjian penyerahan barang yang digunakan
sebagai agunan untuk mendapatkan fasilitas pembiyaan. Beberapa ulama
mendefinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya digunakan sebagai
jaminan utang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar kepada pemberi utang baik
seluruhnya atau sebagian apabila pihak yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Pasal
1150, gadai adalah hak yang
diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergaak. Barang
bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang
mempunyai utang atau oleh seorang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang berpiutnag
untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang
apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh
tempo.
Perusahaan Umum Pegadaian adalah
satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk
melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana ke masyarakat atas dasar
hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150
di atas .
Tugas Pokoknya adalah memberi
pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak
dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan
kebutuhan dana mendesak dari masyarakat. Hal ini didasari pada fakta yang
terjadi di lapangan bahwa terdapat lembaga keuangan yang seperti lintah darat
dan pengijon yang dengan melambungkan tingkat suku bunga setinggi-tingginya.[3]
2. Hukum, Syarat dan Rukun Gadai (Rahn)
Para ulama’ sepakat
bahwa Rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab Rahn hanya
jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai. Rahn diperbolehkan
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Rosulullah SAW, rahn atau jaminan itu dapat
dijual atau dihargai apabila dalam waktu yang diperjanjikan oleh kedua belah
pihak, tidak dapat dilunasi. Hak pemberi pinjaman
akan muncul pada saat debitur tudak mampu melunasi kewajibannya. Akad rahn
diperbolehkan karena banyak kemashlahatannya (faedah atau manfaat) yang
terkandung dalam rangka hubungan antar sesama manusia. [4]
Adapun untuk landasan hukum syari’atnya sudah tercantum
dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut;
Artinya : jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.[5]
Selain dalil dari
Al-Qur’an diatas ada juga hadits yang diriwayatkan oleh shohih bukhori dan imam
Muslim yang berbunyi ;
عَÙ†ْ
عَائِسَØ©َ رَ.ع. اَÙ†َّ رَسُولُ الله ص.Ù… اِØ´ْتَرَÙ‰ Ù…ِÙ†ْ ÙŠَÙ‡ُودِÙŠُّ Ø·َعَامًا
ÙˆَرَÙ‡َÙ†َÙ‡ُ دَرْعًا Ù…ِÙ†ْ ØَدِÙŠْدٍ (رواه البخارى ومسلم )
Artinya : Dari Siti
Aisyah R.A bahwa Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju
besinya. (H.R Bukhori Muslim) [6]
Transaksi Rahn
antara nasabah dengan bank syari’ah / lembaga keuangan syari’ah akan syah jika
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan sesuai syari’at islam. Diantara
rukun dan syarat Rahn antara lain sebagai berikut :
a. Rahin ( Nasabah )
Nasabah harus cakap
bertindak hukum, baligh dan berakal
b. Murtahin ( Bank Syari’ah / Lembaga
Keuangan Syari’ah )
Bank atau Lembaga
Keuangan Syari’ah yang menawarkan produk Rahn sesuai dengan prinsip syari’ah.
c. Mahrun Bih (Pembiayaan)
Pembiayaan
yang diberikan oleh Murtahin harus jelas dan spesifik wajib dikembalikan
oleh rahin. Dalam hal ini Rahin tidak mampu mengembalikan pembiayaan yang telah
diterima dalam kurun waktu yang telah diperjanjikan maka barang jaminan dapat
dijual sebagai sumber pembayaran.
d. Marhun (Barang Jaminan)
Marhun atau Al-Marhun
merupakan barang yang digunakan sebagai agunan harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a) Agunan harus dapat dijual dan nilainya
seimbang dengan pembiayaan
b) Agunan harus bernilai dan bermanfaat
menurut ketentuan syari’ah
c) Agunan harus jelas dan dapat ditentukan
secara spesifik
d) Agunan itu harus milik sendiri dan tidak
terkait dengan pihak lain
e) Agunan merupakan harta yang utuh dan
tidak bertebaran di beberapa tempat
f) Agunan harus dapat diserahterimakan baik
fisik maupun manfaatnya.[7]
3. Tugas pokok, Tujuan dan Fungsi dari
Gadai (Rahn )
·
Tugas Pokok
Tugas pokok
Pegadaian yaitu menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dan usaha-usaha lain yang
berhubungan dengan tujuanpegadaian atas dasar materi.
·
Tujuan Pokok
Sifat usaha
pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagikemanfaatan umum sekaligus
memupuk keuntungan berdasarkan prinsippengelolah. Oleh karena itu, pegadaian
pada dasarnya mempunyai tujuan-tujuan pokok sebagai berikut :
1.Turut
melaksanakan program pemerintah di bedang ekonomi dan pembangunan nasional pada
umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum dagai.
2.Mencegah
praktek pegadaian gelap dan pinjaman tidak wajar
·
Fungsi pokok pegadaian adalah sebagai
berikut :
1.
Mengelola penyaluran uang pinjaman atas
dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman, dan hemat.
2.
Menciptakan dan mengembangkan
usah-usaha lain yang menguntungkan bagi pegadaian maupunn masyarakat.
3.
Mengelola keuangan, perlengkapan,
kepegawaian. Pendidikan dan pelatihan.
4.
Mengelola organisasi, tata kerja dan
tata laksana pegadaian.
5.
Melakukan penelitian dan pengembangan
serta mengawasi pengelolaan pegadaian.
1) Nasabah menyerahkan jaminan (Mahrun)
kepada Bank Syari’ah (Murtahin). Jaminan ini berupa barang bergerak.
2) Akad pembiyaan dilaksanakan antara
nasabah (Rahin) dan Bank Syari’ah (Murtahin).
3) Setelah kontrak pembiayaan
ditandatangani, dan agunan telah diterima oleh bank Syari’ah, maka bank
syari’ah mencairkan pembiayaannya.
4) Rahin melakukan pembayaran kembali
ditambah dengan fee yang telah disepakati. Fee ini berasal dari
sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan agunan[8]
5. Perbedaan antara Gadai Syari’ah dengan
Gadai Konvensional
Pegadaian
syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya
pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan
jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat
sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang
bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak
relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman,
nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja
dengan waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari
beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan
pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya
sangat berbeda dengan pegadaian konvensionsal.[9]
Pegadaian
syariah atau dikenal dengan rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan
metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil).
Karena nasabah dalam mempergunakan marhum bih (UP) mempunyai tujuan yang
berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal
kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh
karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income.
Landasan operasionalisasi gadai syari’ah disesuaikan dengan Fatwa Dewan No.
25/DSN-MUI/III/2002.
Adapun perbedaan yang cukup mendasar
dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian
konvensional, yaitu:[10]
1.
Di Pegadaian
konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai
sewa modal (bunga), dihitung dari nilai pinjaman.
2.
Pegadaian
konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan
jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional,
keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan
penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia.
Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan
barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
IV.
Kesimpulan
Pegadaian
merupakan sebuah BUMN di Indonesia yang usaha intinya adalah bidang jasa penyaluran
kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai. Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu
barang yang bergerak.
Gadai
(Rahn) merupakan perjanjian penyerahan barang yang digunakan sebagai agunan
untuk mendapatkan fasilitas pembiyaan. Beberapa ulama mendefinisikan rahn
sebagai harta yang oleh pemiliknya digunakan sebagai jaminan utang yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar kepada pemberi utang baik seluruhnya atau sebagian
apabila pihak yang berhutang tidak mampu melunasinya
Rahn
dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab Rahn hanya jaminan saja jika
kedua belah pihak tidak saling mempercayai. Rahn diperbolehkan
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Rosulullah SAW
Rukun
dan syarat Rahn antara lain sebagai berikut :
a. Rahin ( Nasabah )
b. Murtahin ( Bank Syari’ah / Lembaga Keuangan
Syari’ah )
c. Mahrun Bih (Pembiayaan)
d. Marhun (Barang Jaminan)
Tujuan-tujuan pokok sebagai berikut :
a. Turut
melaksanakan program pemerintah di bedang ekonomi dan pembangunan nasional pada
umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum dagai.
b. Mencegah
praktek pegadaian gelap dan pinjaman tidak wajar
V.
Penutup
Demikianlah
makalah ini kami susun kami menyadari, dalam penyusunan maupun makalah ini
masih banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun minimnya buku referensi.
Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Chuzaimah, dkk. Probematika Hukum
Islam Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995)
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Http :
file///C:/Users/ASUS/Documents/FEI/teori-dan-pelaksanaan-gadai-dalam.html
diunduh 20 April 2014 pukul 14:28
Ismail,
Perbankan Syari’ah, Jakarta : Prenada Media Group, 2011
Muttaqien, Dadan. Aspek
Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Safiria Insania Perss, 2009
Sabiq,Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Juz III, Beirut : Dar
Al fikr, t.,t
Syafi’I, Rahmat. Fiqih MU’amalah, Bandung : Pustaka
Setia, 2001
[1]Chuzaimah, dkk. Probematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1995), hal 78
[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, JUz III, (Beirut : Dar Al
fikr, t.,t), hal.187
[3]file:///C:/Users/ASUS/Documents/FEI/teori-dan-pelaksanaan-gadai-dalam.html
diunduh 20 April 2014 pukul 14:28
[4]Ismail, Perbankan Syari’ah, ( Jakarta : Prenada Media Group,
2011), hal 209-210
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta :
Parca, 1982 ), hal 50
[6]Rahmat Syafi’i. Fiqih MU’amalah, ( Bandung : Pustaka Setia,
2001), hal 160- 161.
[7]Op. cit. Perbankan Syariah. Hal 210
[8]Ismail, Perbankan Syari’ah, ( Jakarta : Prenada Media Group,
2011), hal 209-210
[9]Dadan Muttaqien, Aspek
Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Safiria Insania Perss,
2009), hlm.111-113
[10] Dadan
Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Safiria
Insania Perss, 2009), hlm.116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar