Sabtu, 22 Juli 2017

GADAI ( RAHN )



GADAI ( RAHN )
Makalah
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih Ekonomi Islam
Pengampu: Asep Dadang Abdullah ,M.Ag

       Disusun Oleh :
Dian Adi Perdana                                 (111311014)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



GADAI (RAHN)
I.                   Pendahuluan
Syari’at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong menolong; yang kaya harus menolong yang miskin dan yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong menolong ini masi berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu ia boleh minta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya sehingga apabila debitur tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan bisa dijual oleh kreditur. Konsep yang seperti ini dalam fiqih islam dikenal dengan istilah Gadai atau Rahn.[1]
Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum Pegadaian, dengan motonya “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah” sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Dulu, pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan berhubungan dengan masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang malu untuk datang kepegadaian. Sekarang kondisinya sudah lain, pegadaian tumbuh menjadi sarana untuk mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani sampai pengusaha berdasi.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai. Untuk lebih jelasnya mari kita lanjutkan dengan pembahasan berikut ini.
II.                Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Gadai (Rahn) ?
2.      Bagaimana Hukum, Syarat dan Rukun Gadai (Rahn) ?
3.      Bagaimana Tugas pokok, Tujuan dan Fungsi dari Gadai (Rahn ) ?
4.      Bagaimana Skema Gadai (Rahn) ?
5.      Bagaimana perbedaan antara Rahn syari’ah dengan Rahn konvensional ?
III.             Pembahasan
1.      Pengertian Gadai (Rahn)
Fiqih Islam mengenal perjanjian Gadai yang disebut Al-Rahn yaitu perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Gadai atau ar-rahn dalam bahasa arab (arti lughot) berarti al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal), sebagian ulama lughotmemberi arti ar-rahn dengan al-habs (tertahan).[2]
Dalam arti luas Gadai (Rahn) merupakan perjanjian penyerahan barang yang digunakan sebagai agunan untuk mendapatkan fasilitas pembiyaan. Beberapa ulama mendefinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya digunakan sebagai jaminan utang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar kepada pemberi utang baik seluruhnya atau sebagian apabila pihak yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150, gadai adalah hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergaak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh seorang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang berpiutnag untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas  dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150 di atas .
Tugas Pokoknya adalah memberi pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat. Hal ini didasari pada fakta yang terjadi di lapangan bahwa terdapat lembaga keuangan yang seperti lintah darat dan pengijon yang dengan melambungkan tingkat suku bunga setinggi-tingginya.[3]

2.      Hukum, Syarat dan Rukun Gadai (Rahn)
Para ulama’ sepakat bahwa Rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab Rahn hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai. Rahn diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Rosulullah SAW, rahn atau jaminan itu dapat dijual atau dihargai apabila dalam waktu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, tidak dapat dilunasi. Hak pemberi pinjaman akan muncul pada saat debitur tudak mampu melunasi kewajibannya. Akad rahn diperbolehkan karena banyak kemashlahatannya (faedah atau manfaat) yang terkandung dalam rangka hubungan antar sesama manusia. [4]
Adapun untuk  landasan hukum syari’atnya sudah tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut;
Artinya :  jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.[5]

Selain dalil dari Al-Qur’an diatas ada juga hadits yang diriwayatkan oleh shohih bukhori dan imam Muslim yang berbunyi ;
عَÙ†ْ عَائِسَØ©َ رَ.ع. اَÙ†َّ رَسُولُ الله ص.Ù… اِØ´ْتَرَÙ‰ Ù…ِÙ†ْ ÙŠَÙ‡ُودِÙŠُّ Ø·َعَامًا ÙˆَرَÙ‡َÙ†َÙ‡ُ دَرْعًا Ù…ِÙ†ْ Ø­َدِÙŠْدٍ (رواه البخارى ومسلم )
Artinya : Dari Siti Aisyah R.A bahwa Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besinya. (H.R Bukhori Muslim) [6]
Transaksi Rahn antara nasabah dengan bank syari’ah / lembaga keuangan syari’ah akan syah jika memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan sesuai syari’at islam. Diantara rukun dan syarat Rahn antara lain sebagai berikut :
a.      Rahin ( Nasabah )
Nasabah harus cakap bertindak hukum, baligh dan berakal
b.      Murtahin ( Bank Syari’ah / Lembaga Keuangan Syari’ah )
Bank atau Lembaga Keuangan Syari’ah yang menawarkan produk Rahn sesuai dengan prinsip syari’ah.
c.      Mahrun Bih (Pembiayaan)
Pembiayaan yang diberikan oleh Murtahin harus jelas dan spesifik wajib dikembalikan oleh rahin. Dalam hal ini Rahin tidak mampu mengembalikan pembiayaan yang telah diterima dalam kurun waktu yang telah diperjanjikan maka barang jaminan dapat dijual sebagai sumber pembayaran.
d.      Marhun (Barang Jaminan)
Marhun atau Al-Marhun merupakan barang yang digunakan sebagai agunan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a)     Agunan harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan pembiayaan
b)     Agunan harus bernilai dan bermanfaat menurut ketentuan syari’ah
c)     Agunan harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik
d)     Agunan itu harus milik sendiri dan tidak terkait dengan pihak lain
e)     Agunan merupakan harta yang utuh dan tidak bertebaran di beberapa tempat
f)      Agunan harus dapat diserahterimakan baik fisik maupun manfaatnya.[7]
3.      Tugas pokok, Tujuan dan Fungsi dari Gadai (Rahn )
·         Tugas Pokok
Tugas pokok Pegadaian yaitu menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dan usaha-usaha lain yang berhubungan dengan tujuanpegadaian atas dasar materi.

·         Tujuan Pokok
Sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagikemanfaatan umum sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsippengelolah. Oleh karena itu, pegadaian pada dasarnya mempunyai tujuan-tujuan pokok sebagai berikut :
1.Turut melaksanakan program pemerintah di bedang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum dagai.
2.Mencegah praktek pegadaian gelap dan pinjaman tidak wajar

·         Fungsi pokok pegadaian adalah sebagai berikut :
1.      Mengelola penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman, dan hemat.
2.      Menciptakan dan mengembangkan usah-usaha lain yang menguntungkan bagi pegadaian maupunn masyarakat.
3.      Mengelola keuangan, perlengkapan, kepegawaian. Pendidikan dan pelatihan.
4.      Mengelola organisasi, tata kerja dan tata laksana pegadaian.
5.      Melakukan penelitian dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan pegadaian.

4.      Skema Gadai (Rahn)

 Keterangan :
1)      Nasabah menyerahkan jaminan (Mahrun) kepada Bank Syari’ah (Murtahin). Jaminan ini berupa barang bergerak.
2)      Akad pembiyaan dilaksanakan antara nasabah (Rahin) dan Bank Syari’ah (Murtahin).
3)      Setelah kontrak pembiayaan ditandatangani, dan agunan telah diterima oleh bank Syari’ah, maka bank syari’ah mencairkan pembiayaannya.
4)      Rahin melakukan pembayaran kembali ditambah dengan fee yang telah disepakati. Fee ini berasal dari sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan agunan[8]
5.      Perbedaan antara Gadai Syari’ah dengan Gadai Konvensional
Pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensionsal.[9]
Pegadaian syariah atau dikenal dengan rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhum bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income. Landasan operasionalisasi gadai syari’ah disesuaikan dengan Fatwa Dewan No. 25/DSN-MUI/III/2002.
Adapun  perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu:[10]
1.    Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal (bunga), dihitung dari nilai pinjaman.
2.    Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
IV.             Kesimpulan
Pegadaian merupakan sebuah BUMN di Indonesia yang usaha intinya adalah bidang  jasa penyaluran kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak.
Gadai (Rahn) merupakan perjanjian penyerahan barang yang digunakan sebagai agunan untuk mendapatkan fasilitas pembiyaan. Beberapa ulama mendefinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya digunakan sebagai jaminan utang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar kepada pemberi utang baik seluruhnya atau sebagian apabila pihak yang berhutang tidak mampu melunasinya
Rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab Rahn hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai. Rahn diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Rosulullah SAW
Rukun dan syarat Rahn antara lain sebagai berikut :
a.      Rahin ( Nasabah )
b.      Murtahin ( Bank Syari’ah / Lembaga Keuangan Syari’ah )
c.      Mahrun Bih (Pembiayaan)
d.      Marhun (Barang Jaminan)
Tujuan-tujuan pokok sebagai berikut :
a.       Turut melaksanakan program pemerintah di bedang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum dagai.
b.      Mencegah praktek pegadaian gelap dan pinjaman tidak wajar
V.                Penutup

Demikianlah makalah ini kami susun kami menyadari, dalam penyusunan maupun makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun minimnya buku referensi. Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA
Chuzaimah, dkk. Probematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Http : file///C:/Users/ASUS/Documents/FEI/teori-dan-pelaksanaan-gadai-dalam.html diunduh 20 April 2014 pukul 14:28
Ismail, Perbankan Syari’ah, Jakarta : Prenada Media Group, 2011
  Muttaqien, Dadan.  Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Safiria Insania Perss, 2009
Sabiq,Sayyid.  Fiqh Al-Sunnah, Juz III, Beirut : Dar Al fikr, t.,t
Syafi’I, Rahmat.  Fiqih MU’amalah, Bandung : Pustaka Setia, 2001


[1]Chuzaimah, dkk. Probematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995), hal 78
[2]Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, JUz III, (Beirut : Dar Al fikr, t.,t), hal.187
[3]file:///C:/Users/ASUS/Documents/FEI/teori-dan-pelaksanaan-gadai-dalam.html diunduh 20 April 2014 pukul 14:28
[4]Ismail, Perbankan Syari’ah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2011), hal 209-210
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Parca, 1982 ), hal 50
[6]Rahmat Syafi’i. Fiqih MU’amalah, ( Bandung : Pustaka Setia, 2001), hal 160- 161.
[7]Op. cit. Perbankan Syariah. Hal 210  
[8]Ismail, Perbankan Syari’ah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2011), hal 209-210
[9]Dadan Muttaqien,  Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Safiria Insania Perss, 2009), hlm.111-113
[10] Dadan Muttaqien,  Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Safiria Insania Perss, 2009), hlm.116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar