Citra adalah
kesan kuat yang melekat pada banyak orang tentang seseorang, sekelompok orang
atau tentang suatu institusi. Seseorang yang secara konsisten dan dalam waktu
yang lama berperilaku baik atau berprestasi menonjol maka akan terbangun kesan
pada masyarakatnya bahwa orang tersebut adalah sosok yang baik dan hebat.
Sebaliknya jika seseorang dalam kurun waktu yang lama menampilkan perilaku yang
tidak konsisten, maka akan tertanam kesan buruk orang tersebut di dalam hati
masyarakatnya. Dalam perspektif ini maka citra dapat dibangun. Orang yang ingin
memiliki citra baik di dalam keluarganya atau di lingkungannya, maka ia harus
bisa menunjukan sebagai orang baik secara konsisten.
Citra atau kesan terbangun melalui proses komunikasi interpersonal
dimana orang banyak mempersepsi kepada kita atau sebaliknya. Citra dipersoalkan
biasanya hanya pada seseorang yang secara sosial menonjol kedudukannya. Meski
demikian tidak semua perbuatan dipersepsi secara tidak benar, karena persepsi
dipengaruhi oleh banyak faktor.
Setiap Da’i – idealnya - merasa sebagai pejuang yang bekerja untuk
menyelamatkan masyarakat dari bencana dan mengantarnya pada kebahagiaan hakiki.
Sebagai
pejuang, maka seorang da’i tak mengenal lelah, tak mengharapkan penghargaan,
dan juga upah. Kebahagiaan seorang da’i adalah apabila ia berhasil membimbing
masyarakat kepada jalan yang benar, yang diridlai Allah. Bagi seorang da’i,
ridla Allah lah yang dicari, oleh karena itu tantangan, hambatan dan bahkan
caci-maki dari masyarakat yang belum bisa menerima dakwahnya diterima dengan
ikhlas, sabar dan dijadikan cambuk perjuangan.
Demikianlah, betapa mulia tugas seorang da’i, ia bersusah payah demi
kebahagiaan orang lain, tetapi pertanyaannya ialah, apakah da’i juga mulia
dalam pandangan masyarakat?
Dalam kehidupan keseharian, dapat dijumpai kenyataan bahwa tidak semua orang baik dipersepsi orang baik, tidak semua tugas mulia dipersepsi sebagai kemuliaan. Memberi nasehat dipersepsi sebagai sok tahu atau mencampuri urusan orang lain, mengingatkan dipersepsi sebagai penghinaan, dan sebagainya dan sebagainya. Dengan demikian kerja keras seorang da’i belum tentu dipersepsi sebagai kebaikan oleh masyarakat mad’u, padahal persepsi mad’u terhadap da’i mempengaruhi efektifitas dakwahnya
Dalam kehidupan keseharian, dapat dijumpai kenyataan bahwa tidak semua orang baik dipersepsi orang baik, tidak semua tugas mulia dipersepsi sebagai kemuliaan. Memberi nasehat dipersepsi sebagai sok tahu atau mencampuri urusan orang lain, mengingatkan dipersepsi sebagai penghinaan, dan sebagainya dan sebagainya. Dengan demikian kerja keras seorang da’i belum tentu dipersepsi sebagai kebaikan oleh masyarakat mad’u, padahal persepsi mad’u terhadap da’i mempengaruhi efektifitas dakwahnya
Konsep diri ada yang positif dan ada
yang negatif. Jika seorang da’i memiliki konsep diri yang positif, maka
ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
1. Ia memiliki
keyakinan bahwa ia mampu mengatasi masalah yang akan dihadapi. Apapun kesulitan
yang ia bayangkan, ia merasa yakin akan dapat menemukan jalan keluarnya.
2.
Dalam pergaulan dengan orang banyak, ia merasa setara dengan orang
lain, ia tidak merasa rendah diri, tidak kecil hati, tidak merasa sebagai orang
kampung yang ketinggalan zaman (meskipun ia berasal dari kampung), tetapi
merasa sama. Jika orang lain bisa mengapa saya tidak bisa?
3.
Jika suatu saat ia dipuji orang, ia tidak
tersipu-sipu malu, karena ia merasa pujian itu wajar saja, sekadar
mengungkapkan keberhasilan atau kelebihan yang ia miliki. Baginya pujian
tidak membuatnya merasa tinggi dari apa yang ada pada dirinya, atau merasa
kagum terhadap dirinya (‘ujub). ia menerima pujian itu dengan terbuka
karena pujian itu sudah pada tempatnya.
4. Ia
menyadari bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang – tidak mungkin
disetujui atau memuaskan seluruh masyarakat. Ia menyadari bahwa ia dapat melakukan
suatu hal yang berguna dan menyenangkan orang lain, tetapi ia juga sadar bahwa
tidak semua orang dapat menerima secara positip terhadap apa yang ia lakukan.
Di antara sejumlah masyarakat mad’u, atau bahkan di antara atasannya,
pasti ada orang yang tidak meyukainya, tidak menyetujuinya atau tidak paham
terhadap dimensi kebaikan yang ia lakukan. Oleh karena itu jika suatu saat ia
disalahkan, dikritik atau dicaci maki orang, ia sama sekali tidak terkejut.
Baginya pujian dan penolakan adalah wajar, ia dapat menerimanya secara wajar.
Pujian tidak membuatnya besar kepala dan cacian tidak membuatnya tersinggung.
Ia bisa tertawa terbahak-bahak karena dipuji dan ketika dicaci.
5. Mampu
memperbaiki diri. Karena sikap yang terbuka terhadap pujian dan cacian, maka ia
mampu menerima kritikan dan saran-saran dari orang lain sebagai masukan untuk
memperbaiki diri.
Sedangkan da’i yang mempunyai konsef diri negatip, ciri-cirinya
adalah sebagai berikut:
1.
Peka terhadap kritik. Jika dikritik orang ia tidak tahan. Ia
mempersepsi kritikan orang itu sebagai upaya untuk menjatuhkan dirinya. Oleh
karena itu da’i yang konsep dirinya tidak dapat menjalankan dialog terbuka, ia
tidak dapat menangkap pikiran-pikiran yang bagus dari para pengkritiknya,
karena telinganya terlanjur “merah” dan oleh karena itu ia bersikukuh untuk
mempertahankan logika berpikirnya yang keliru.
2.
Ia bersifat hiperkritis, kelewat kritis terhadap orang lain,
sehingga ia cenderung merendahkan dan meremehkan orang lain. Ia begitu berat
mengakui kelebihan yang dimiliki orang lain, apalagi orang yang menjadi
saingannya. Baginya yang benar adalah dirinya dan orang lain pasti salah.
Kebenaran orang lain itu diakuinya hanya jika berhubungan dengan pujian kepada
dirinya sendiri.
3.
Ia merasa tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak
diperhatikan, merasa tidak dianggap sebagai “orang” dan ditinggal. Oleh karena
itu ia mudah mempersepsi orang lain sebagai lawan, sebagai saingan atau musuh
yang mengancam keberadaan dirinya. Orang yang memiliki sifat ini biasanya susah
untuk dapat bergaul secara akrab dan hangat, karena ia sendiri merasa tidak
diakrabi. Jika suatu saat rivalnya itu datang dengan keakraban, maka ia
mencurigai keakraban lawannya itu sebagai pura-pura. Ia susah sekali mengakui
kesalahan dirinya. Dalam pandangannya, sistem sosial, sitem organisasi dan
norma-norma msayarakat hanya memojokan dirinya daja.
4.
Ia pesimis untuk bersaing dengan orang lain secara terbuka. Ia
enggan untuk berkompetisi dengan orang lain. Karena ia merasa bahwa sistem
persaingan itu merugikan dirinya. Ia sudah memastikan bahwa jika ia ikut
kompetisi pasti akan dikalahkan oleh sistem yang tidak adil terhadap dirinya.
Seorang da’i sudah sepantasnya memiliki konsep diri yang positif,
karena dari konsef diri positiflah akan lahir pola konsep diri positif. Da’i
diharap tidak keliru mempersepsi orang, dan mampu berekspresi diri yang
menimbulkan kesan positip. Sebagai orang yang harus mengetuk hati nurani dalam
dakwahnya, seorang da’i harus memiliki citra “terbuka” di hadapan mad’unya,
dan hanya orang yang memiliki konsep diri positiflah yang sanggup membuka diri.
Orang yang terbuka (atau berani membuka diri)
adalah orang yang tahu betul hal-hal apa yang telah diketahui orang lain
tentang dirinya, sehingga tak perlu menutup-nutupi dengan topeng (kata-kata
atau perilaku tertentu). Ia juga tahu betul hal-hal apa pada dirinya yang tidak perlu
diketahui oleh orang lain, yang oleh karena itu tidak merasa perlu untuk
memberitahukannya.
Konsep diri orang juga dapat diketahui dari pilihan kata-kata yang digunakan, pilihan selera dan pilihan perilaku yang bersangkutan. Secara sederhana kita dapat mempersepsi siapa pembaca kompas dan siapa pembaca pos kota, siapa pemakai bikini dan siapa pemakai jilbab, siapa yang selalu mengenakan topi haji dan siapa yang selalu berdasi. Orang yang memandang dirinya “siapa”, maka ia merasa pantas memakai pakaian anu, tidak melakukan ini dan tidak layak bergaul dengan si Anu. Pilihan-pilihan itu merupakan proses penyusunan lambang-lambang, sebagai terjemahan dari apa yang ada dalam pikirannya.
Konsep diri orang juga dapat diketahui dari pilihan kata-kata yang digunakan, pilihan selera dan pilihan perilaku yang bersangkutan. Secara sederhana kita dapat mempersepsi siapa pembaca kompas dan siapa pembaca pos kota, siapa pemakai bikini dan siapa pemakai jilbab, siapa yang selalu mengenakan topi haji dan siapa yang selalu berdasi. Orang yang memandang dirinya “siapa”, maka ia merasa pantas memakai pakaian anu, tidak melakukan ini dan tidak layak bergaul dengan si Anu. Pilihan-pilihan itu merupakan proses penyusunan lambang-lambang, sebagai terjemahan dari apa yang ada dalam pikirannya.
Seorang mubalighah yang sudah biasa dipanggil
ustadzah, merasa harus selalu memakai jilbab ketika ke luar rumah atau bertemu
dengan orang lain, sedangkan mahasiswa Fakultas Dakwah yang merasa belum
menjadi da’i atau mubalighah menganggap: Tak apalah sekali-sekali “ bergaya”
dengan pakaian trendi di jalanan, asal tidak ketahuan orang-orang tertentu. Yang penting
jangan keterlaluan, katanya.
Pak Yusmin, seorang dosen muda merasa tidak
pantas dan tidak bisa makan sewarung dengan mahasiswanya, tetapi Pak Zubaidi,
seorang dosen senior dan disegani mahasiswanya, biasa-biasa saja makan di
warung bersama mahasiswanya, terkadang mentraktir, tapi lebih sering ditraktir.
Itu semua menggambarkan terjemahan dari apa yang ada dalam pikirannya, sesuai dengan konsef dirinya.
Itu semua menggambarkan terjemahan dari apa yang ada dalam pikirannya, sesuai dengan konsef dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar