I.
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, gerakan dakwah
Islam berporos pada amar ma’ruf nahi munkar. Ma’ruf mempunyai pengertian
segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan munkar adalah
segala perbuatan yang menjauhkan diri pada-Nya. Pada dataran amar ma’ruf, siapapun
bisa melakukannya, karena kalau hanya sekedar “menyuruh” kepada kebaikan itu
mudah dan tidak ada resiko bagi si “penyuruh” . lain halnya dengan nahi
munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang melakukannya
karena “mencegah kemunkaran” itu melakukannya dengan tindakan konkret, nyata
dan dilakukan atas dasar kesadaran tinggi dalam rangka menegakkan kebenaran.
Inilah sesungguhnya cikal bakal
perintah dakwah yang diwajubkan oleh Allah SWT, pada setiap pribadi seorang
muslim yang mengaku beriman. Sesungguhnya dakwah yang diajarkan oleh para Nabi
dan rasul-Nya menurut ketentuan al-Qur’an, dakwah Islam hendaknya disampaikan
dengan cara-cara yang baik dan bahasa yang dapat dipahami pula. Bahkan tidak
kalah pentingnya lagi ialah, seorang muslim dalam berdakwah dilarang untuk
memaki seorang kafir yang dikhawatirkan nantinya akan menyebabkan ia memaki
Allah SWT.
Demikianlah batasan-batasan dalam
berdakwah (dataran empiric) yang telah termaktub dalam al-Qur’an secara rinci,
tegas dan sempurna sebagai acuan bagi seorang muslim untuk menyampaikan
kebenaran dari Allah SWT., dengan meletakkan al-Qur’an sebagai sumber utama
landasan epistemologis dan aksiologisnya.
Berangkat dari pemaparan tersebut di
atas, dalam mengembangkan dakwah Islam selanjutnya, perlu kiranya dirumuskan
secara tegas mengenai epistemologis dakwah secara keilmuan. Rumusan di sini
menayangkut hal-hal yang berkenaan dengan hakikat, landasan, batas-batas
keilmuannya termasuk di dalamnya pengetahuan ilmiah dan persoalan ilmiah yang
dapat diuji, di samping patokan kesahihannya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Definisi Teori dan Macam-macamnya
B. Macam-Macam Teori
C. Definisi Citra
III.
PEMBAHASAN
Salah satu langkah yang penting
dilakukan dalam ikhtiar dalam mengembangkan ilmu dakwah adalah menelusuri
terlebih dahulu landasan ilmiah yang mungkin dapat dibangun. Ini dilakukan
terutama untuk menentukan kerangka pemikiran yang jelas dalam merumuskan
teori-teori baru berkaitan dengan ilmu dakwah. Selain itu pentingnya
penelusuran itu juga karena telah banyak teori yang mendahului lahir, sekaligus
telah relatif mapan dalam konteks pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Pemilihan ilmu sosial sebagai
landasan pijakan pengembangan ilmu dakwah, didasarkan pada satu asumsi bahwa
teori-teori dakwah yang hendak dibangun merupakan produk generalisasi dari
fenomena sosial. Ilmu dakwah dengan sendirinya merupakan bagian dari ilmu-ilmu
sosial, yang dirumuskan serta dikembangkan dengan mengikuti norma ilmiah dari
ilmu-ilmu sosial. Misalnya teori-teori itu dirumuskan melalui pendekatan
rasional, empiris dan sistematis.
Untuk membangun teori-teori dakwah,
kita dapat melakukannya melalui kegiatan ilmiah yang dapat memberikan konsep
dan generalisasi baru yang diangkat dari penemuan-penemuan ilmiah, atau
fakta-fakta sosial yang berkembang. Jika kegiatan ini terus dilanjutkan, maka
pada tahap-tahap tertentu akan ditemukan titik-titik pertemuan antara
teori-teori sosial yang telah dulu lahir dengan kenyataan-kenyataan empiris
baru yang ditemukan pada dataran kegiatan dakwah.
Pertemuan antara dua sisi inilah
yang akan melahirkan suatu rumusan dalam perspektif tertentu. Bila kenyataan
empiris itu bertemu dengan teori-teori psikologi misalnya maka ia disebut
dengan “perspektif psikologi” begitu juga dengan yang lainnya.
A. Definisi Teori
Teori adalah serangkaian hipotesa atau proposisi yang saling
berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. Definisi ini
sebetulnya sudah cukup menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan teori,
akan tetapi tidak berarti bahwa definisi tersebut di atas adalah satu-satunya
definisi tentang teori.
B. Macam-Macam Teori
Bermacam-macam teori dapat digolongkan menurut bentuk atau
menurut isinya. Menurut bentuknya, ada dua macam teori, yaitu:
- Teori
konstruktif (menurut istilah Einstein, 1934, dan Marx, 1951) atau teori
merangkaikan (Kaplan, 1964), yaitu teori yang mencoba membangun
kaitan-kaitan (sintesa) antara berbagai fenomena sederhana.
- Teori
principle (Einstein, 1934) atau teori reduktif (Marx, 1951) atau teori
berjenjang/Hierarchical (Kaplan, 1964) adalah teori yang mencoba
menganalisa suatu fenomena ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil.
Menurut
isinya, juga ada dua macam teori (Kaplan, 1964) yaitu:
- Teori
Molar, yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan, misalnya teori
tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok.
- Teori
molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam tubuh suatu
organisme, misalnya teori konsistensi kognitif.
Selain penggolongan teori ke dalam beberapa tipe menurut
bentuk dan isinya, kita perlu pula mengetahui teori mana yang baik dan teori
mana yang tidak baik. Baik tidaknya suatu teori tidak ditentukan oleh bentuk
atau isinya, melainkan ditentukan oleh beberapa norma di bawah ini:
- Norma
Korespondensi (norm of corespondence) yaitu seberapa jauh teori ini
cocok dengan fakta-fakta yang ada. Semakin cocok teori dengan fakta,
semakin baik.
- Norma
Koherensi (norm of coherence) yang meliputi dua ukuran:
a.
Seberapa
jauh teori itu cocok dengan teori-teori sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa
suatu teori tidak boleh bertentangan dengan satu atau dua teori sebelumnya,
akan tetapi walaupun ia bertentangan dengan teori-teori tertentu, suatu teori
yang baik masih cocok dengan sejumlah teori lainnya.
b. Kesederhanaan (simplicity),
yaitu teori tersebut sederhana, dalam arti tidak rumit, tidak berbelit-belit,
mudah dimengerti. Kesederhanaan ini meliputi dua hal;
1) Kesederhanaan deskriptif, yaitu
kesederhanaan dalam uraian tentang teori itu sendiri.
2) Kesederhaan induktif: yaitu
kesederhanaan dalam prosedur penarikan kesimpulan (induksi) dari data-data yang
ada.
- Norma
Pragmatik, yaitu seberapa jauh suatu teori mempunyai kegunaan praktis.
Makin besar kegunaan praktisnya, makin baik teori yang bersangkutan.
C. Definisi
Citra
Citra
adalah kesan kuat yang melekat pada banyak orang tentang seseorang, sekelompok
orang atau tentang suatu institusi. Seseorang yang secara konsisten dan dalam
waktu yang lama berperilaku baik atau berprestasi menonjol maka akan terbangun
kesan pada masyarakatnya bahwa orang tersebut adalah sosok yang baik dan hebat.
Sebaliknya jika seseorang dalam kurun waktu yang lama menampilkan perilaku yang
tidak konsisten, maka akan tertanam kesan buruk orang tersebut di dalam hati
masyarakatnya. Dalam perspektif ini maka citra dapat dibangun. Orang yang ingin
memiliki citra baik di dalam keluarganya atau di lingkungannya, maka ia harus
bisa menunjukan sebagai orang baik secara konsisten.
D. Citra Seorang Da’i
Citra
atau kesan terbangun melalui proses komunikasi interpersonal dimana orang
banyak mempersepsi kepada kita atau sebaliknya. Citra dipersoalkan biasanya
hanya pada seseorang yang secara sosial menonjol kedudukannya. Meski demikian
tidak semua perbuatan dipersepsi secara tidak benar, karena persepsi
dipengaruhi oleh banyak faktor.
Setiap Da’i – idealnya - merasa sebagai
pejuang yang bekerja untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana dan
mengantarnya pada kebahagiaan hakiki. Sebagai pejuang, maka seorang da’i tak
mengenal lelah, tak mengharapkan penghargaan, dan juga upah. Kebahagiaan
seorang da’i adalah apabila ia berhasil membimbing masyarakat kepada jalan yang
benar, yang diridlai Allah. Bagi seorang da’i, ridla Allah lah yang dicari,
oleh karena itu tantangan, hambatan dan bahkan caci-maki dari masyarakat yang
belum bisa menerima dakwahnya diterima dengan ikhlas, sabar dan dijadikan
cambuk perjuangan.
Demikianlah, betapa mulia tugas seorang da’i, ia bersusah
payah demi kebahagiaan orang lain, tetapi pertanyaannya ialah, apakah da’i juga
mulia dalam pandangan masyarakat?.
Dalam kehidupan keseharian, dapat dijumpai kenyataan
bahwa tidak semua orang baik dipersepsi orang baik, tidak semua tugas mulia
dipersepsi sebagai kemuliaan. Memberi
nasehat dipersepsi sebagai sok tahu atau mencampuri urusan orang lain,
mengingatkan dipersepsi sebagai penghinaan, dan sebagainya dan sebagainya.
Dengan demikian kerja keras seorang da’i belum tentu dipersepsi sebagai
kebaikan oleh masyarakat mad’u, padahal persepsi mad’u terhadap
da’i mempengaruhi efektifitas dakwahnya
Konsep
diri ada yang positif dan ada yang negatif. Jika seorang da’i memiliki konsep
diri yang positif, maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
1.
Ia
memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengatasi masalah yang akan dihadapi. Apapun
kesulitan yang ia bayangkan, ia merasa yakin akan dapat menemukan jalan
keluarnya.
2. Dalam pergaulan dengan orang banyak, ia
merasa setara dengan orang lain, ia tidak merasa rendah diri, tidak kecil hati,
tidak merasa sebagai orang kampung yang ketinggalan zaman (meskipun ia berasal
dari kampung), tetapi merasa sama. Jika orang lain bisa mengapa saya tidak
bisa?
3. Jika suatu saat ia
dipuji orang, ia tidak tersipu-sipu malu, karena ia merasa pujian itu wajar
saja, sekadar mengungkapkan keberhasilan atau kelebihan yang ia miliki. Baginya
pujian tidak membuatnya merasa tinggi dari apa yang ada pada dirinya, atau merasa
kagum terhadap dirinya (‘ujub). ia menerima pujian itu dengan terbuka
karena pujian itu sudah pada tempatnya.
4.
Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki
kecenderungan yang – tidak mungkin disetujui atau memuaskan seluruh masyarakat.
Ia menyadari bahwa ia dapat melakukan suatu hal yang berguna dan menyenangkan
orang lain, tetapi ia juga sadar bahwa tidak semua orang dapat menerima secara
positip terhadap apa yang ia lakukan
5. Mampu memperbaiki diri.
Karena sikap yang terbuka terhadap pujian dan cacian, maka ia mampu menerima
kritikan dan saran-saran dari orang lain sebagai masukan untuk memperbaiki
diri.
Sedangkan da’i yang mempunyai
konsef diri negatip, ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1. Peka terhadap kritik.
Jika dikritik orang ia tidak tahan. Ia mempersepsi kritikan orang itu sebagai
upaya untuk menjatuhkan dirinya. Oleh karena itu da’i yang konsep dirinya tidak
dapat menjalankan dialog terbuka, ia tidak dapat menangkap pikiran-pikiran yang
bagus dari para pengkritiknya, karena telinganya terlanjur “merah” dan oleh
karena itu ia bersikukuh untuk mempertahankan logika berpikirnya yang keliru.
2. Ia bersifat
hiperkritis, kelewat kritis terhadap orang lain, sehingga ia cenderung
merendahkan dan meremehkan orang lain. kepada dirinya sendiri.
3. Ia merasa tidak
disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, merasa tidak dianggap
sebagai “orang” dan ditinggal. Oleh karena itu ia mudah mempersepsi orang lain
sebagai lawan, sebagai saingan atau musuh yang mengancam keberadaan dirinya.
4.
Ia pesimis untuk bersaing dengan orang
lain secara terbuka. Ia enggan untuk berkompetisi dengan orang lain. Karena ia
merasa bahwa sistem persaingan itu merugikan dirinya. Ia sudah memastikan bahwa
jika ia ikut kompetisi pasti akan dikalahkan oleh sistem yang tidak adil
terhadap dirinya.
Seorang
da’i sudah sepantasnya memiliki konsep diri yang positif, karena dari konsef
diri positiflah akan lahir pola konsep diri positif. Da’i diharap tidak keliru
mempersepsi orang, dan mampu berekspresi diri yang menimbulkan kesan positip.
Sebagai orang yang harus mengetuk hati nurani dalam dakwahnya, seorang da’i
harus memiliki citra “terbuka” di hadapan mad’unya, dan hanya orang yang
memiliki konsep diri positiflah yang sanggup membuka diri. Orang yang terbuka
(atau berani membuka diri) adalah orang yang tahu betul hal-hal apa yang telah
diketahui orang lain tentang dirinya, sehingga tak perlu menutup-nutupi dengan
topeng (kata-kata atau perilaku tertentu). Ia juga tahu betul hal-hal apa pada
dirinya yang tidak perlu diketahui oleh orang lain, yang oleh karena itu tidak
merasa perlu untuk memberitahukannya.
10 Realitas Dakwah Masa Kini
1.Lemahnya
Team Work
2.Mengabaikan
Media Massa
3 Munculnya
Pemimpin ala 'Syekh'
4.Kehilangan
Peran Kelembagaan
5.Mencampuradukkan
Antara Ghoyah dan Wasilah
6.Fanatik
Kesukuan dan Nasionalisme
7.Tidak
Memiliki Perencanaan
8.Krisis
Intelektualitas dan Berfikir
9.Hilangnya
Dialog
10.Kegagalan
Tarbiyah Kaum Ibu dan Anak-Anak
IV.
KESIMPULAN
Citra adalah kesan kuat yang melekat pada banyak
orang tentang seseorang, sekelompok orang atau tentang suatu institusi.
Seseorang yang secara konsisten dan dalam waktu yang lama berperilaku baik atau
berprestasi menonjol maka akan terbangun kesan pada masyarakatnya bahwa orang
tersebut adalah sosok yang baik dan hebat. Sebaliknya jika seseorang dalam
kurun waktu yang
Teori adalah serangkaian hipotesa atau proposisi yang saling
berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. Definisi ini
sebetulnya sudah cukup menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan teori,
akan tetapi tidak berarti bahwa definisi tersebut di atas adalah satu-satunya
definisi tentang teori.
Citra
atau kesan terbangun melalui proses komunikasi interpersonal dimana orang
banyak mempersepsi kepada kita atau sebaliknya. Citra dipersoalkan biasanya
hanya pada seseorang yang secara sosial menonjol kedudukannya. Meski demikian
tidak semua perbuatan dipersepsi secara tidak benar, karena persepsi
dipengaruhi oleh banyak faktor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar