Kelemahan
Gerakan Dakwah Masa Kini
DR. Hisyam At-thalib dalam bukunya "Dalil Attadrib Al-Qiyadi"
(The International Institute of Islamic Thought 1995) mengungkapkan 21
kelemahan gerakan dakwah masa ini. Kelemahan-kelemahan tersebut harus diungkap
agar para aktivis dakwah dan qiyadahnya menyadarinya dengan hati yang ikhlas
dan pikiran yang lapang. 21 kelemahan tersebut adalah hal-hal yang sangat
prinsip dan menjadi faktor-faktor kemunduran gerakan Dahwah kalau tidak bisa
dikatakan sebagai faktor-faktor kehancurannya.
Melihat dan mengungkap 21 kelemahan
tersebut adalah melalui kacamata internal gerakan dakwah itu sendiri dan bukan
dari sisi para pengamat dari luar, namun dari pelaku dari dalam gerakan itu
sendiri. Diiharapkan, para aktivis gerakan dakwah dan para qiyadahnya menyadari
hal-hal tersebut dan pada waktu yang sama siap mengoreksi diri untuk menatap
masa depan yang lebih baik dan cerah lagi.
Bagi yang tidak siap melihat
kelemahan dalam diri, siapapun dia dan apapun nama gerkannya, bersiap-siaplah
menuju kemunduran dan kejumudan. Hanya orang-orang yang berani mengakui
kelemahan diri dan kemudian mau merubahnya yang memiliki peluang berkembang dan
meraih kesuksesan di masa yang akan datang. Apalagi, masyarakat hari ini sudah
mulai cerdas untuk menilai mana yang akan bermanfaat bagi mereka dan mana yang
mudharat.
Kelemahan pertama (1) :
Kegagalan Menerapkan Sistem Syura
Gerakan Dakwah belum mampu
menerapkan sistem syura secara utuh dan sempurna. Situasi dan kondisi yang
mendominasi berbagai gerakan dakwah adalah sistem "assam'u wat
tho'ah" (dengar dan taat). Memang sebagian qiyadah dakwah selalu
menyerukan sistem syura. Namun, disayangkan hanya sebatas teori belaka. Pada
tataran prakteknya masih jauh panggang dari api. Debat apakah syura itu
mengikat atau tidak, khususnya bagi qiyadah juga masih belum tuntas.
Kita butuh kepada sebuah sistem
syura yang mengikat, namun terorganisir dengan baik berdasarkan kaedah-kaedah
dan dasar-dasar ilmiyah yang mapan. Sebab itu, perlu keterlibatan sebanyak
mungkin orang-orang yang credible dan qualified sebagai anggota
majelis syura agar kebijakan dan keputusan yang diambil menjadi lebih dekat
kepada kebenaran, demikian juga halnya dengan implementasi kebjikan dan keputusan
itu.
Sistem syura yang diamanahkan
Al-Qur'an itu perlu dipahami secara pasti, bukan dengan konsep yang
remang-remang. Kita harus befikir dan bekerja keras untuk memahaminya dengan
baik dan maksimal sehingga sampai kepada kesimpulan yang pasti dan yakin,
apalagi kita sekarang hidup di zaman yang serba pasti.
Kelemahan
ke 2 : Lemahnya Team Work
Tidak diragukan bahwa harokah dakwah
telah berhasil melahirkan individu-individu yang istimewa. Namun persoalan
berikut yang muncul ialah saat mereka itu diminta beramal dalam satu tim kerja
(team work) untuk melakukan suatu program bersama. Berbagai gerakan dakwah
masih saja sampai saat ini dipimpin oleh segelintir orang (itu-itu saja) yang
seharusnya sudah diagantikan team work secara jama'i (yakni kepemimpinan
kolektif atau kepemimpinan yang silih berganti). Tanpa menyadari bahwa hasil
amal jama'i itu pasti lebih afdhal dari pada amal fardi (kerja individu).
Implikasinya ialah muncul lingkungan yang tidak kondusif/terbelakang. Faktor
penyebab utamanya ialah kepemimpinan tunggal dalam semua aspek kehidupan
harokah.
Bapak/murabbi/naqib telah menjadi pemimpin mutlak di keluarga (usrah). Kondisi itu juga sama dengan apa yang dialami oleh sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pemerintahan, militer dan partai-partai (di negeri Muslim). Sistem seperti ini telah bercokol terhadap semua lembaga/entitas kita, padahal sistem tersebutlah yang menjadi penyebab keterbelakangan kita.
Bapak/murabbi/naqib telah menjadi pemimpin mutlak di keluarga (usrah). Kondisi itu juga sama dengan apa yang dialami oleh sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pemerintahan, militer dan partai-partai (di negeri Muslim). Sistem seperti ini telah bercokol terhadap semua lembaga/entitas kita, padahal sistem tersebutlah yang menjadi penyebab keterbelakangan kita.
Kalau saja kita mencermati dunia
internasional, kita akan menemukan Eropa dengan spirit jiddiyyah
(kesungguhan) dalam beramal terus menerus, adalah yang pertama mengangkat
syi'ar (semboyan) kebebasan dalam pengertian modern dan telah mendirikan
negara-negara nasionalis. Akan tetapi, Amerika telah melampaui kemajuan Eropa
melalui penerapan sistem "asimilasi" yang menyatukan berbagai jenis
kebangsaan dan ditata dalam sebuah spirit kesungguhan dan untuk beramal secara
serius dan sungguh-sungguh. Sedangkan Jepang telah pula melampaui kemajuan
Eropa dan Amerika melaui spirit team work dan loyalitas pada tradisi dan
nilai-nilai agama mereka.
Anda harus membayangkan amal Islami
itu harus dijalankan bagaikan "foot ball team". Kendati
semua pemain terbaik dunia dikumpulkan dalam satu tim sepak bola, namun di
antara mereka tidak ada spirit "total foot ball team", pasti tim
tersebut kalah menghadapi tim lain yang mungkin di bawah mereka kepandaiannya,
namun konsisten dengan spirit foot ball teamnya.
Kelemahan
ke 3 : Kegagalan Tarbiyah Kaum Ibu dan Anak-Anak
Kegagalan yang jelas terjadi pada
kaum ibu dan anak-anak. Saat kita berhasil mentarbiyah sebahagaian kaum
bapak/lelaki, kita gagal di sektor lain (kaum ibu dan anak-anak). Kita belum
mampu membentuk pergerakan kaum ibu yang efektif. Kaum ibu di kalangan kita
masih belum mampu -kecuali segelintir saja- memenej diri mereka sendiri atau
memberi pengaruh kepada wanita-wanita muslimah lainnya. Mayoritas kaum ibu di
kalangan kita belum mampu berkomunikasi dengan baik dengam berbagai kalangan
wanita lainnya atau berdialog dalam berbagai problematika masyarakat.
Sedangkan di sisi lain, kita melihat
kelompok-kelompok nasionalis dan kiri mengeksploitasi kaum wanita semaksimal
mungkin untuk mencapai target-target politik mereka. Kita belum mampu
memaksimalkan potensi kaum wanita Muslimah yang begitu dahsyat, (khususnya dalam
mencetak generasi berkualitas tinggi).
Begitulah mereka -kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas- belum efektif dan mampu bersaham banyak dalam gerakan kita.. Padahal kita mengklaim dan bercita-cita bahwa kaum ibu kita mampu mentarbiyah anak-anak kita menjadi para pemimpin dan tokoh masa depan, sedangkan kita belum memberikan perhatian yang penuh dalam melibatkan dan mempersiapkan mereka (sebagi sumber pemimpin masa depan). Masalah ini masih menjadi pemandangan yang paradoks dalam gerakan Islam. Kita sulit memenangkan pertarungan jika 50 % dan mungkin lebih (jumlah kaum ibu) masih terabaikan dan terkucilkan dalam the real battle...
Dalam konteks yang sama, kita belum mencurahkan tenaga kita untuk mepersiapkan anak-anak kita dan mengembangkan potensi diri mereka (agar lebih baik dari kita). Prosentase materi pendidikan Islam khusus anak-anak, misalnya, belum lebih dari 5 % dari yang seharusnya... Kita memprediksi mereka mampu membaca dan memahami buku-buku untuk kaum dewasa.
Begitulah mereka -kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas- belum efektif dan mampu bersaham banyak dalam gerakan kita.. Padahal kita mengklaim dan bercita-cita bahwa kaum ibu kita mampu mentarbiyah anak-anak kita menjadi para pemimpin dan tokoh masa depan, sedangkan kita belum memberikan perhatian yang penuh dalam melibatkan dan mempersiapkan mereka (sebagi sumber pemimpin masa depan). Masalah ini masih menjadi pemandangan yang paradoks dalam gerakan Islam. Kita sulit memenangkan pertarungan jika 50 % dan mungkin lebih (jumlah kaum ibu) masih terabaikan dan terkucilkan dalam the real battle...
Dalam konteks yang sama, kita belum mencurahkan tenaga kita untuk mepersiapkan anak-anak kita dan mengembangkan potensi diri mereka (agar lebih baik dari kita). Prosentase materi pendidikan Islam khusus anak-anak, misalnya, belum lebih dari 5 % dari yang seharusnya... Kita memprediksi mereka mampu membaca dan memahami buku-buku untuk kaum dewasa.
Sesungguhnya pendidikan anak sejak
balita sampai dewasa harus dirancang khusus dengan apik (tentu dengan
mendirikan sekolah-sekolah percontohan dan alternatif). Gerakan dakwah masih
banyak kehilangan dalam sektor ini karena mengabaikannya (dan tidak
menjadikannya sebagai agenda utama).
(bersambung, insya Alloh)
Kelemahan
ke 4 : Munculnya Pemimpin ala 'Syekh'
Seringkali gerakan dakwah melahirkan
pemimpin ala/model 'Syekh'. Seakan dia adalah pahlawan malaikat yang
legendaris; memiliki kemampuan membuka tabir (ghaib), kekuatan superman, mengetahui
segala sesuatu dan menguasai segala sesuatu dan ... (ini dia) memimpin
jamaah/organisasi seumur hidup ...
Nasib dan masa depan gerakan dakwah
sangat terikat dengan model pemimpin seumur hidup seperti ini ... Sebab itu,
tidak mungkin menyingkirkannya dari kursi kepemimpinan ... Semua aktivitas dan
tindak tanduknya sangat menentukan warna dan arah organisasi, apapun bentuknya
... Jika keluar negeri, ia tetap mengendalikan organisasinya dari jauh ...
Dalam pertemuan-pertemuan, pemimpin
model seperti ini selalu mendominasi jalannya acara. Ia bicara kapan dia mau
... di mana ia mau dan sebanyak apa yang dia mau ... serta judul apa yang dia
inginkan ... Padahal dia sama sekali tidak mempersiapkan diri sebelumnya ...
Tidak pula menyusun pikiran-pikiran atau catatan-catatannya. Dia memiliki hak
untuk menguasai pembicaraan dan semua hadirin harus menampakkan penghormatan
padanya dan mendahulukannya dalam segala sesuatu, tanpa peduli atas tuntutan
posisi kepemimpinannya yang memerlukan keahlian-keahlian, kemampuan-kemampuan
dan spesialisasi.
Problem/hambatan utama yang dihadapi
para pemimpin level kedua ialah siapa gerangan yang akan mampu menggantikan
'Syekh' itu? Setiap mereka sudah ditempel dijidatnya sebuah keyakinan bahwa
mereka tidak ada apa-apanya di hadapan sang 'Syekh' itu ... Tawadhu' atau
'ketundukan' seperti ini sudah menjadi syarat pembentukan/rekrutmen haraki ...
Mayoritas mereka tidak pernah berlatih atas kebebasan berpendapat dan
kepemimpinan melalui praktek syura jama'i. Penghormatan yang agung terhadap
'Syekh' tidak memungkinkan mereka untuk menantangnya dan berbeda pendapat
dengannya, bahkan hanya sekedar mempertanyakannya ... apalagi membangun
pemikiran/pendapat yang berbeda dengannya ...
Terkadang hubungan yang dibangun
tercerminkan dalam ungkapan sufi "murid di hadap guru (Syekh)-ya harus
seperti mayyit (orang mati) di hadapan orang yang memandikannya".
Demikianlah dalam banyak hal keputusan yang sangat diperlukan dari sang 'Syekh'
bisa saja berubah menjadi sebuah doa'. Amat sangat disayangkan kondisi seperti
ini berulang dan terus menerus terjadi (di banyak kawasan, tanpa terkecuali di
Indonesia), dan bahkan sampai ke tingkat sebahagian mereka menuduh sebagian
yang lain dengan perkataan: "Sesuai, nifaq (atau pura-pura) atau berpisah".
Kita berlindung pada Allah dari ungkapan demikian. Namum, kita juga menemukan
sebagian sifat-sifat itu paling tidak ada pada sebagian besar para pemimpin
gerakan dakwah.
Kita sekarang harus mempelajari
dengan sungguh-sungguh dan objektif paraktek dan pengalaman dunia internasional
moderen di mana untuk masa terbaik (kepemimpinan) yakni antara 4 sampai 6 tahun
saja dan mungkin diperpanjang hanya untuk satu kali masa jabatan ... Sebuah
kondisi yang memungkinkan untuk memimpin itu paling lama hanya 12 tahun. Ketika
masa kepemimpinan selesai, maka mantan para pemimpin itu bisa bersaham positif
dan efektif melalui komite khusus/spesialis atau sebagai penasehat bagi
pemimpin yang baru disebabkan kehormatannya atau keahliannya atau
pengalamannya.
Kelemahan
ke 5 : Kehilangan Peran Kelembagaan
Gerakan Islam menyandarkan
gerakannya pada kekuatan individu, di mana tugas/peran gerakan diwakilkan
kepada mereka. Hal seperti ini mengharuskan ketergantungan fungsi dan tugas
lembaga kepada para individu tersebut. Akhirnya terjadi ketidak-stabilan dan
banyaknya perubahan tugas / peran dan kekurangan yang luar biasa dalam memenuhi
berbagai peran yang diperlukan oleh lembaga.
Beramal/bergerak didasari lembaga
amat jarang kita lihat. Ada beberap lembaga, tapi sangat terbatas, yang dibentuk
berdasarkan strategi, program kerja dengan spirit team work, serta organisasi
yang sehat. Sebab itu, gerakan dakwah belum mampu mengejewantahkan/mewujudkan
tujuan-tujuannya melalu lembaga-lembaga (yang sesuai).
Bahkan sebagian lembaga yang ada
(termasuk partai politik) malah menjadi sia-sia bagi gerakan dakwah yang
seharusnya membantu kemajuan gerakan dakwah, dan (bahkan ada yang menyimpang
dan menjadi blunder) bagi gerakan dakwah itu sendiri. Masyarakt menjadi
kehilangan harapan terhadap perbaikan kehidupan mereka.
Semua itu, tak lain, peran individu
terlalu menonjol dan dominan. Tidak lagi diperankan adanya lembaga. Karena
saking kuat pengaruh dan peranan individu. Karena itu, berkurangnya peranan
lembaga ini, mendorong terjadi penyimpangan yang sangat fatal.
Kendati beberapa individu gerakan
dakwah itu berhasil dalam meuwujudkan proyek-proyek dakwah pribadi mereka,
namun mereka gagal menyukseskan berbagai aktivitas yang bersifat jama’i.
Sebagaimana gerakan dakwah juga belum mampu sampai saat ini melahirkan solusi
yang mendesak terhadap “fiqh muassasat” dengan bahasa dan konsepsi moderen yang
dipahami.
Aktivitas dakwah akan selalu
terbatas kepada “slogan” sampai lahir di seluruh negeri kita (Islam)
lembaga-lembaga dakwah Islam yang bersifat massif yang sukses dengan prosentase
10 lembaga besar di setiap negeri Islam, sebelum kita berhak mengkalim untuk
masuk ke dalam percaturan menegakkan lembaga-lembaga yang lebih besar lagi
(dalam bentuk negara) dengan sukses.
Kelemahan
ke 6 : Mencampuradukkan Antara Ghoyah dan Wasilah
Tidak sedikit dari kalangan gerakan
dakwah (bahkan para qiyadahnya) mencampuradukkan antara ghoyah/tujuan dengan
wasilah/sarana. Sering sekali kita menyaksikan bahwa kemaslahatan jama'ah
menjadi standar kerja dan kesuksesan.
Padahal kita tahu bahwa jamaah itu
pada hakikatnya hanya sarana untuk berkhidmat/melayani tujuan perbaikan kondisi
masyarakat.
Pencampuradukkan itu telah menyita
jamaah untuk sibuk memikirkan dan bekerja untuk kepentingannya melebihi
kepentingan masyarakat. Padahal jamaah itu pada awalnya didirikan bertujuan
untk memperbaiki dan melayani masyarakat.
Sebuah survey telah membuktikan
bahwa mobilisasi waktu, harta dan tenaga anggota jamaah tercurah untuk
kepentingan internal sekitar 70 % dan hanya 30 % yang diberikan untuk kemaslahatan
masyarakat banyak.
Sedangkan urutan yang benar adalah
kebalikannya. (Dalam banyak kasus, potensi masyarakat atau luar jamaahlah yang
disedot sebanyak mungkin untk kepentingan elite jama'ah.
Sesungguhnya jama'ah sekarang sudah
menjadi partai yang muqaddas (disucikan). Orientasinya persis seperti partai
umumnya yang didirikan sejak awal untuk kepentingan diri dan anggotanya.
(Munculnya pemikiran “aljamaah
hiyal hizb, wal hizb huwal jamaah”, membuat jamaah semakin hancur).
Inilah faktor yang menyebabkan jamaah itu tidak berbeda dengan club olah raga
atau organisasi profesi di mana ruang lingkup pelayanannya terbatas pada
anggotanya saja.
(Dalam banyak kasus, jamaah lebih
buruk lagi di mana anggota/grassroots-nya saja tidak terurus sedangkan elitenya
hidup berfoya-foya penuh kemewahan dengan sumber harta yang tidak jelas, dengan
alasan menyesuaikan diri dengan kondisi pergaulan. Walaupun ada pelayanan
masyarakat dilakukan itupun dengan tujuan mendapatkan pujian atau dukungan
suara pemilu).
Sebagaimana yang kita ketahui pada
umumnya gambaran sebuah partai itu ialah organisasi yang terdiri dari para
anggotanya yang sibuk dengan kepentingan anggotanya saja, tanpa melirik peran
utama yang seharusnya dimainkan dalam masyarakan secara keseluruhan.
Sebab itu, mayoritas masyarakat
tidak mau peduli atau empati terhadap kezaliman yang menimpa jama'ah/tokohnya.
Fenomena ini diiringi pula oleh kehilangan eksistensi kelompok Islam yang mampu
menduduki posisi (dalam masyarakat) sebagaimana kelompok sekuler sebagai hasil
dari tidak terjalinnya kerjasama antara gerakan dakwah atau jama'ah yang ada.
Sesungguhnya strukturisasi gerakan
dakwah terkadang juga menjadi penghambat untuk merealisasikan tujuan-tujuan
pokoknya.
Harus ditekankan —tanpa ragu-ragu—
keharusan gerakan dakwah mencarikan solusi berbagai persoalan umat secara umum
dan menciptakan solusi tersebut merupakan tantangan langsung yang dihadapi
gerakan dakwah (masa kini).
Demikian pula, gerakan dakwah
berkewajiban untuk memobilisasi seluruh potensi dan kekuatannya untuk
memberikan solusi berbagai persoalan (masyarakat) tersebut, agar umat Islam
yakin bahwa gerakan dakwah itu adalah benteng yang aman yang memungkinkan
mereka besandar/berlindung dan concern betul terhadap semua urusan mereka.
Kelemahan
ke 7 : Fanatik Kesukuan dan Nasionalisme
Secara teori, gerakan dakwah
meyakini wihdatul ummah (kesatuan umat) dan dakwah internasional.
Akan tetapai dalam prakteknya kita belum menemukan implementasi yang memadai
terhadap maknanya. Prilaku kita masih diwarnai kecenderungan dan karakter
kesukuan dan nasionalisme (kewarganegaraan masing-masing).
Fenomena tersebut nampak dengan
jelas saat berbagai pertemuan di mana setiap kita masih tergantung kepada teman
se kabilah atau senegaranya. Sedikit sekali interaksi sosial kita dengan mereka
yang di luar ikatan kedaerahan dan kenegaraan… Adapun dalam level qiyadah
(kepemimpinan) memang sudah ada pertemuan-pertemuan rutin berskala
internasional dengan para pemimpin lainnya. Namun, perlu diakui, masih sering
tersandung oleh keinginan-keinginan yang didasari lingkup dan tantangan
bersifat kewiliyahan dan lokal.
Kendati pertemuan-pertemuan tersebut
dianggap merupakan masalah yang asasi untuk saling bertukar informasi,
pengalaman, menyusun strategi bersama dan koordinasi kerja serta keyakinan kita
bahwa musuh-musuh kita bekerja melawan kita dengan kesatuang langkah, namun
harus diakui bahwa kita belum berhasil menghadapi mereka melalui kesantuan
langkah pula.
Kita telah tertipu oleh pemeo yang
berbunyi : “Penduduk Mekkah lebih tahu tentang jalan-jalannya”. Kondisi
sekarang sudah berubah. Kita lupa bahwa orang asing (bukan penduduk asli) yang
spesialis dan mengamati serta mempelajari kondisi negeri kita bisa saja ia
lebih tahu tentang negeri kita dari apa yang kita ketahui. Sebagaimana juga
halnya sangat memungkinkan sebagaian pakar tertentu yang bukan penduduk asli
mampu memberikan advis, pengalaman mereka yang akan bermanfaat untuk berbagai
aktivitas lokal kita.
Sarana komunikasi internasional
sekarang telah menjadikan bumi ini semakin hari semakin kecil dan semakin
dekat. Pengertian “small village” benar-benar menjadi kenyataan. Itulah
pemahaman internasionalisasi yang digalakkan Islam sejak kemunculannya.
Namun disayangkan, berbagai gerakan
dakwah masih saja pandangan terhadap berbagai urusan/masalahnya terbelenggu
oleh cara pandang lokal dan nasional setiap negeri sehingga setiap wilayah atau
negeri masih terisolasi dari wilayah atau negeri Islam lainnya.
Kelemahan
ke 8 : Tidak Memiliki Perencanaan
Kebanyakan harokah/gerakan dakwah
dari hari ke hari berjuang sebatas mempertahankan eksistensi diri. Sedikit
sekali mendapatkan kesempatan untuk menyusun perencanaan tahunan, lima tahunan
dan sepuluh tahunan.
Berbagai aktivitasnya hanya dimenej
melalui tantangan terhadap berbagai krisis yang sedang terjadi. (Celakanya
lagi) sering kali terjadi aktivitas rutinitas itu berubah menjadi spontanitas
(yang kehilangan ruh/spirit, sehinga terlihat dengan nyata sebagai gerakan yang
reaktif)…
Tidak memiliki perencanaan kerja
yang dirancang sebelum beraktivitas telah menyebabkan ketidak jelasan dalam
merumuskan target, distribusi/penempatan SDM yang buruk (bukan berdasarkan the
right man on the right place, bahkan dalam banyak kasus didasari like
and dislike) telah menyebabkan kekacauan dalam menentukan skala prioritas
dan kehilangan menentukan arah yang jelas.
Kita masih belum mampu menjelaskan
posisi berdiri kita sekarang di mana dan berapa jarak antara kita dengan
target-target yang akan dicapai. Kita juga belum mampu bersandar pada
uslub/metode yang sistematis dalam mengevaluasi berbagai aktivitas kita.
Akibatnya, kita berjalan dalam
keadaan kondisi yang tidak menyadari tingkat produktivitas kita atau
beban-beban yang ditimbulkannya, tanpa peduli terhadap perencanaan yang sehat
dan kuat dan keharusan berpindah dari quadrant “bekerja apa yang
mungkin” kepada quadrant “bekerja sesuai yang harus dikerjakan”.
Kelemahan
Ke 9 : Alternatif Islami
Pada dekade limapuluhan, berbagai
gerakan dakwah sibuk membuktikan (kepada masyarakat) kecocokan Islam (dengan
kehidupan). Setelah itu mengarah kepada meyakinkan (masyarakat) akan keunggulan
Islam terhadap berbagai ideologi lainnya. Namun pergerakannya masih seputar
penjelasan global dan belum sampai kepada kematangan aktivitas dan keluar dari
tataran teori. Sebagai contoh sederhana, gerakan dakwah belum mampu melahirkan
alternatif dalam bidang penyusunan silabus pendidikan tingkat universitas
berdasarkan pandangan Islam, padahal kebutuhan kita sangat mendesak dalam semua
bidang, khususnya dalam studi bidang sosial.
Untuk mewujudkan alternatif tersebut
bukanlah pekerjaan sosial (charity) yang boleh dikerjakan pada waktu-waktu
luang/sisa oleh sebagian pribadi yang hanya memiliki semangat. Akan tetapi
menjadi kewajiban bagi sebagian ulama yang spesialis dengan full time.
Gerakan dakwah sudah saatnya melahirkan beberapa institusi pendidikan/akademis
yang berkualitas tinggi untuk melakukan berbagai ijtihad dalam berbagai
lapangan.
Pekerjaan tersebut juga tidak
mungkin didelegasikan kepada beberapa ulama yang menonjol saja. Harus menjadi
konsentrasi/upaya jama’i (team). Pekerjaan spesialisasi, dengan biaya yang
memadai dan meletihkan serta memerlukan waktu. Sebuah pekerjaan yang terus
menerus di mana tidak cukup dengan bersandar kepada para simpatisan yang respek
secara spontan.
Inilah syarat untuk memulai sebuah
kebangkitan peradaban raksasa umat ini. Tanpa hal tersebut, maka keunggulan
sistem Islam hanya sebatas kepuasan emosional… Kita membutuhkan percontohan
Islami (dalam dunia nyata) yang hidup dan memberikan cahaya yang akan menarik
Barat dan di Timur ke arah peradaban Islam.
Kegairahan para insinyur, dokter dan
ilmuan di bidang ilmu pengetahuan alam (eksakta) lainnya untuk berharokah
melebihi ulama ilmu sosial menafsirkan hal tersebut, karena pengetahuan yang
bersifat global yang menarik cukup membuat mereka (ilmuan dalam bidang eksakta)
puas dan diterima dengan logika dan ketinggian, keluasan dan akhlak Islam.
Sementara para Ilmuan sosial yang spesialis itu memerlukan detail untuk sampai
kepada kepuasan.
Sebab itu, pola penyampaian Islam
secara global (apalagi tidak ada contoh prakteknya), tidak cukup untuk menarik
mereka ke pangkuan Islam. Ini bukanlah kondisi normal atau sehat. Kita tidak
akan mampu melakukan take off peradaban manusia ini kembali sehingga
kita melihat mayoritas pemimpin gerakan dakwah itu dari kalangan para ilmuan
sosial yang sangat spesialis…
Kelemahan
Ke 10 : Krisis Intelektualitas dan Berfikir
Semua pemikir dan para ahli sepakat
adanya kaitan yang kuat antara metode/cara berfikir dengan pola prilaku dan metode/cara
menyelesaikan masalah.
Berfikir/intelektulitas yang sehat
dan benar adalah landasan utama dalam setiap kebangkitan peradaban. Ini adalah
kosa kata pokok yang harus dihidupkan oleh gerakan dakwah.
Kalau kita mencermati realitas masa
kini, kita akan menemukan bahwa gerakan dakwah belum mendapat taufik – secara
umum – dalam merealisasikan keselarasan dan kesatuan pemikiran di antara
anggotanya.
Melihat gerakan dakwah lebih banyak
berpegang kepada hal-hal yang bersifat umum/general, maka muncul berbagai
perbedaan pemikiran di internal gerakan dakwah dalam hal-hal yang memerlukan
rincian.
Sebagaimana gerakan dakwah juga
habis kebanyakan potensinya untuk beramal dan lebih concern kepada kerja
ketimbang meningkatkan kualitas berfikir dan intelektualitas anggotanya
(seperti yang kita rasakan hampir 30 tahun tergabung dalam gerakan dakwah.
Ironisnya, setiap ada usulan yang
mengarah kepada peningkatan kualitas berifikir dan intelektualitas internal,
selalu kandas dan tidak banyak mendapat dukungan. Akhirnya yang terjadi ialah
tradisi taqlid tumbuh dengan subur sehingga gerakan dakwah setiap hari berhasil
melahirkan dan mencetak muqallidun/ kaum taqlid).
Bersamaan dengan absennya sikap
resmi jamaah gerakan dakwah terhadap persoalan-persoalan utama yang menyangkut
masyarakat banyak, (seperti sistem pemerintahan yang zalim, sistem ekonomi
ribawi kapitalis yang lalim, persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan
kebodohan.
Selain itu, adanya dominasi asing
terhadap negeri-negeri Islam, kejahatan negara-negara maju, khususnya Amerika
Serikat terhadap negara-negara lain dan sebagainya), menyebabkan
terbentuk/lahirnya pemikiran-pemikiran para pengikut gerakan dakwah yang saling
bertentangan yang sekaligus berperan menambah problem pemikiran yang saling
menjauh.
Akan lebih runyam lagi masalahnya
jika sikap dan pendapat sebagian partai dan kelompok sekuler dan ideology yang
memusuhi Islam menyelusup pula ke dalam benak sebagian anggota/qiyadah gerakan
dakwah untuk memenuhi kekosongan pemikiran tersebut (seperti yang terjadi di
Indonesia dan beberapa negara lainnya).
Sesungguhnya kita meyakini betul
bahwa krisis pemikiran/intelektualitas itu pada dasarnya adalah menyangkut cara
turun/menterjemahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah ke dalam realitas kehidupan.
Yang demikian itu akan dapat selesai
dengan cara penelitian dan ijtihad yang orisinil dalam lapangan ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan/humaniora lainnya.
Untuk itu, Independensi gerakan
dakwah merupakan hal mutlak diperlukan dan tidak boleh ada kekuatan manapun,
termasuk pemerintahan setempat yang dapat mempengaruhi cara/metode berfikirnya.
Jika gerakan dakwah tersebut
benar-benar ingin melakukan perubahan dari jahiliyah kepada Islam. Jika tidak,
gerakan dakwah hanya tidak lebih dari sekedar ornament jahiliyah itu sendiri.
Kelemahan
Ke 11 : Hilangnya Dialog
Saya melihat gerakan dakwah itu
gagal membangun dialog dalam tiga level. Internal (terhadap
anggota ditanamkan sam’an wa tho’atan/dengar dan taati, tidak ada peluang untuk
dialog, apalagi debat terbuka), dengan sesama jamaah Islam lain
dan dengan kelompok-kelompok yang bukan Islam apakah yang
berlandaskan agama ataupun sekularisme. Akibat dari kegagalan tersebut lahir
pemahaman-pemahaman borjuis (sektarian) di kalangan anggotanya.
Sedangkan efek negatifnya sangat
jelas, yaitu teori-teori keislaman senantiasa jauh dari lapangan eksperimental
dan realitas kehidupan nyata (seperti ukhuwah, wala’ [loyalitas], baro’
[disloyalitas] dan sebagainya). Akibat lain dari hilangnya dialog tersebut
ialah kejumudunan berfikir dan ketidakmampuan memperkaya pemikiran yang
diperlukan untuk mematangkan gerakan dakwah itu sendiri.
Salah paham di antara jamaah/gerakan
dakwahpun tak terhindarkan yang mengakibatkan hilangnya tsiqah
(kepercayaan) dan pada waktu yang sama muncul permusuhan, padahal mereka hidup
dalam satu masyarakat.
Di samping itu, gerakan dakwah juga
gagal membangun dialog dengan para penguasa setempat yang masih mengaku Islam,
kendati terkadang sangat memusuhi dan tidak toleran terhadap Islam. Akhirnya,
yang diperlihatkan gerakan dakwah selama ini hanya dua bentuk interaksi saja :
perlawanan berdarah-darah seperti yang banyak terjadi di negeri-negeri Arab
atau menjilat dan menjual gerakan dakwah itu kepada penguasa, seperti yang
terjadi di Indonesia dan sebagainya.
Saatnya dirumuskan bentuk lain yang
memungkinkan terjadinya dialog antara gerakan dakwah dengan penguasa/pemerintah
yang masih belum menerima Islam sebagai The Way of Life. Potensi itu
sangat besar jika saja gerakan dakwah maupun penguasa/pemerintah sama-sama
ingin selamat dunia dan akhirat.
Poin lain yang harus dinyatakan dan
diperlihatkan serta dibuktikan gerakan dakwah ialah bahwa mereka sama sekali
tidak menginginkan kekuasaan apalagi haus kekuasaan. Yang mereka inginkan hanya
keselamatan mereka, umat mereka dan negeri mereka di dunia mauapun di akhirat
kelak.
Kelemahan
Ke 12 : Mengabaikan Media Massa
Sungguh gerakan dakwah telah
mengabaikan media komunikasi dengan dunia yang ada di sekitarnya (sehingga
terbagun sebuah komunitas yang ekslusif). Sejak awal, gerakan dakwah tidak
menggalakkan anggotanya untuk menutupi kelemahan ini sehingga menyebabkan
pengaruh gerakan tersebut dalam masyarakat jauh dari apa yang seharusnya.
Dengan demikian, gerakan dakwah
membiarkan competitor/pesaingnya (gerakan-gerakan sekularisme, liberalisme dan
sebagainya) menguasai media massa sehingga dengan mudah melukiskan gambaran
yang rusak dan buruk tentang gerakan dakwah itu. Gerakan dakwah tidak diberi
peluang dan kesempatan secara adil untuk membela diri dengan efektif.
Sesungguhnya gerakan dakwah harus
mencetak kader-kadernya dengan jumlah yang cukup dalam dunia media massa
sehingga mereka menjadi insan media profesional. Di negara-negara yang gerakan
dakwah terlibat pemilihan umum sangat diingatkan untuk hal tersebut, apalagi
gerakan politiknya belum sampai ke tingkat yang diharapkan. (Malah sebaliknya,
jutaan dolar dihabiskan untuk biaya pemilu yang tidak memberikan pendidikan
politik yang baik (islami), melainkan belajar politik Micaville).
Adapun dunia penerbitan internal
kebanyakannya belum menarik dan bahkan tak jarang pula yang menyebabkan
masyarakat lari. Tidak ada yang sabar menelaah produk-produknya kecuali
anggota-angota yang punya semangat luar biasa. Adapun pembaca yang bukan kader
gerakan dakwah, mereka menjauh dan tidak mau membaca terbitan-terbitannya.
Terbatasnya penyebaran terbitan gerakan dakwah tersebut mengisayaratkan hakikat
yang sesungguhnya.
(Sangat disayangkan, baik media
cetak, maupun elektronik yang berbau Islam, lahir bukan dari tangan-tangan
kreatif kader gerakan dakwah, termasuk juga lembaga Islam lainnya seperti
ekonomi syari’ah, asuransi syari’ah dan sebagainya. Melainkan lahir dari
kalangan Muslim yang tidak terlibat gerakan dakwah. Kader-kader gerakan dakwah
baru sampai sebatas tataran teori kendati sudah terlibat gerakan dakwah puluhan
tahun dan bahkan umur gerakan dakwah sudah hampir 80 tahun).
Gerakan dakwah juga melupakan
pengarahan terhadap sebagian tamatan SLTA nya untuk menekuni berbagai lapangan
yang banyak dibutuhkan seperti ilmu sosial, media, informasi dan komunikasi,
public services, kepolisian dan hukum. Kehilangan strategi dan perencanaan
terhadap berbagai lapangan ini telah melahirkan akibat yang fatal terhadap
gerakan dakwah. Gerakan dakwahpun telah membayarnya dengan harga yang mahal.
Kelemahan
Ke 13 : Memiliki Sikap Standar Ganda
Standar umum yang berlaku dalam
gerakan dakwah – sampai saat ini masih berlaku – ialah bahwa anggota
dihisab/dinilai di hadapan qiyadah/pepimpin. Kondisi ini mengharuskan mereka
TAAT MUTLAK dalam keadaan suka maupun terpaksa.
Namun, kebutuhan untuk
menilai/mengevaluasi para pemimpin gerakan dakwah masih hal yang tabu untuk
didiskusikan dan dibahas. Demikian pula halnya terhadap organisasi dan
prakteknya, kendati sudah sangat dibutuhkan.
Pada umumnya para pemimpin itu saat
memaparkan laporan kerja mereka dan kerja organisasi melakukannya secara umum
dan dengan bahasa yng umum pula seperti, “segala sesatu berjalan dengan baik”,
“dakwah mengalami kemajuan”, “sesungguhnya masa depan Islam cerah”, “kemenangan
sudah dekat”, “mereka melihatnya jauh, namun kami melihatnya dekat”, “kalian
(para anggota) harus memperkuat keimanan dan memberikan pengorbanan yang lebih
banyak lagi”, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan umum lainnya.
(Nah, pertanyaan berikutya adalah :
Jika dalam berharokah ada pemimpin yang mau membuat dan memberikan laporan dan
pertanggung jawaban terhadap kinerjanya dan kondisi organisasinya secara umum
masih dianggap belum cukup dan masih dianggap pemimpin tersebut bermasalah.
Maka bagaimana dengan pemimpin yang
sudah memimpin puluhan tahun dan bahkan menginginkannya sampai mati. Namun
tidak pernah membuat laporan pertanggung jawaban kinerjanya dan organisasi?
Inilah tragedy dan ironi gerakan dakwah masa kini yang paling mengerikan.)
Gerakan dakwah kehilangan
dasar-dasar ilmiyah yang dijadikan sandaran untuk mengevalusasi dan menilai
para anggotanya… Belum ada statistik atau fakta-fakta yang berdasarkan
angka-angka.
Tidak ada pula analisa objektif baik
kuantitatif maupun kualitatif, khususnya terkait penjelasan tentang keanggotaan,
masalah keuangan, laporan/ survey untuk mengetahui opini umum (yang berkembang
dalam internal organisasi), taqwim jama’i (evaluasi jamaah), maupun kualitas
kerja organisasi.
Yang terjadi adalah, seringkali
sebagian pemimpin itu menolak untuk menjawab suatu pertanyaan dengan alasan
keharusan sirriyah (rahasia tanzhim) dan tidak bisa dibuka secara umum (atau
dengan bahasa lainnya, ini atau itu adalah urusan qiyadah, cukuplah dia saja
yang tahu).
Sesungguhnya gerakan dakwah itu
mustahil berada dalam situasi dan kondisi yang sehat bila qiyadah
(pemimpin)-nya tidak tunduk pada “evaluasi objektif secara rutin”. Sebab itu,
orang-orang yang menantang untuk mejadi pemimpin atau ingin terus menjadi
pemimpin perlu dihadapkan kepada tantangan-tantangan yang riil dan harus selalu
dituntut untuk meningkatkan kualitas kinerja mereka.
Hal yang sangat krusial lainnya
ialah, bawa pertanggung jawaban dan evaluasi keuangan jamaah/gerakan dakwah itu
memiliki dimensi akhlak dalam internal gerakan dan dimensi hukum dalam sebuah
negara.
Sebab itu, gerakan dakwah harus
mengeluarkan laporan dan penjelasan-penjelasan keuangan dan siap dievaluasi dan
diaudit yang didasari oleh landasan yang benar dan sehat.
(Sungguh merupakan musibah besar
dalam gerakan dakwah bila sistem dan kebijakan keuangan yang diterapkan adalah
sistem sentralistik dengan berbagai alasan dan dalil syar’i yang dikemukakan.
Sesungguhnya yang terjadi adalah
qiyadahnya tidak pernah siap memberikan laporan keuangan kepada anggota
jamaahnya, karena takut diketahui penyimpangan mereka….. Inilah di antara efek
negatif double standard /standar ganda yang mereka terapkan). (bersambung)
Kelemahan
Ke 14 : Menyusun Skala Prioritas Kerja
Kelemahan lain gerakan dakwah ialah
dalam menyusun skala prioritas kerja. Jika kita bertanya pada diri kita :
Apakah kita mengerjakan tugas dengan cara yang terbaik, ataukah kita memilih
tugas paling urgent untuk dilaksanakan?
Pertanyaan pertama menggambarkan
kapabalitas dalam bekerja. Sedangkan pertanyaan kedua adalah mencerminkan
pemilihan prioritas kerja yang benar sejak dari awal. Antara keduanya terdapat
perbedaan yang besar. Namun, keduanya sama pentingnya.
Boleh jadi seseorang melakukan
pekerjaanya dengan sangat profesional, namun apa yang dikerjakannya itu secondary
matter (hal yang kedua, tidak yang utama).
Sesungguhnya untuk menyusun skala
prioritas kerja adalah hal yang harus didahulukan/dirancang sejak awal, karena
tugas dan pekerjaan dakwah itu jauh lebih banyak dari ketersediaan SDM yang
kapabel melakukannya. Maka menentukan skala prioritas kerja adalah hal yang
amat urgent. Dengan demikian, mobilisasi potensi SDM dan pendanaan akan terarah
kepada masalah-masalah yang tepat.
Sesungguhnya kebutuhan terhadap
kemampuan menyusun skala prioritas kerja semakin amat terasa bersamaan dengan
perjalanan waktu yang semakin cepat dan berbagai peristiwa yang semakin
bermunculan. Sebab itu, tidak cukup bila insan dakwah hanya melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang wajib dan penting. Akan tetapi, terlebih dahulu harus
menunaikan yang lebih penting (first think first). (Dan masalah ini hanya akan
terlaksana, jika memiliki kemampuan perencanaan yang baik dan matang)
Kelemahan
Ke 15 : Jumud Tanzhimi (Kebekuan Organisasi)
Kalau diperhatikan, struktur
organisasi gerakan dakwah masih dalam kondisinya yang dulu, kendati
harokah/gerakan dakwah sudah mengalami pertumbuhan, berada pada sitauasi dan
kondisi yang berbeda, masyarakat yang sudah berubah dan tentu memerlukan
evaluasi susunan skala prioritas.
Maka, seharusnyalah setiap bentuk
struktur organisasi itu mencerminkan uslub (metode) gerakan yang sebenarnya
dalam beraktivitas, agar mampu merealisasikan target-target yang karenanya
gerakan dakwah itu didirikan. Bentuk struktur organisasi dakwah juga
sepantasnya disesuaikan berdasarkan kebutuhan agar mampu menjawab perkembangan
yang dihadapi.
Sesungguhnya struktur manajemen
orgaisasi yang keberadaanya sebagai wasilah (sarana) untuk mencapai target
tidak pantas di-taqdis (dianggap suci). Menolak perubahannya adalah
sebuah kekeliruan. Sebagai kaedah umum, setiap lima tahun harus diadakah
evaluasi terhadap struktur organisasi dan manajemen gerakan dakwah.
Kelemahan
Ke 16 : Antara Sirriyyah dan Jahriyyah
Betapa banyak waktu yang terbuang
untuk mendiskusikan apakah amal/aktivitas gerakan dakwah itu harus sirriyyah
(tertutup) atau jahriyyah (terbuka). Nyaris sikap terkait sirriyyah dan jahriyyah
itu dimasukkan ke dalam rukun iman. Setiap kelompok membuka lembaran sirah
Rasul SAW untuk mencari dukungan atau argumentasi yang mendukung pendapatnya.
Padahal, ini murni masalah organisasi. Kedua uslub (metode) itu (sirriyyah dan
jahriyyah) merupakan dasar/pokok (dakwah) Islam.
Untuk menentukan metode mana yang
digunakan, maka situasi, kondisi dan realitas yang akan menentukannya
berdasarkan kemaslahatan gerakan dakwah yang bersifat jangka panjang. Mungkin
saja dalam situasi dan kondisi tertentu tidak memungkinkan melakukan pilihan,
karena situasi dan kondisi suatu negara yang memaksakan pilihan amal gerakan
dakwah.
Yang menjadi catatan penting ialah
bahwa amal harokah dakwah (dalam kondisi bagaimanapun) harus terbuka terhadap
manusia saat terbukanya peluang beramal secara terbuka. Pada saat itu, beramal sirriyyah
bukanlah yang paling afdhal dan yang suci karena kondisinya sudah
membolehkan beramal secara terbuka.
Kaedah yang sehat ialah bahwa beramal secara
terbuka itu adalah yang utama/dasar dan tidak boleh melakukan amal sirriyyah
kecauali jika beramal terbuka sudah tidak memungkinkan. Pada saat itu,
menerapkan kaedah 'darurat' diukur berdasarkan kadar/tingkat kedaruratannya. Saat
itulah berlaku kaedah ushul "Kemudaratan itu membolehkan yang
dilarang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar