ISTISHAB
Makalah
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu :
Disusun
oleh :
Ahmad
Amaruddin Rois (111311041)
Linda
Risca M (111311040)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
A.DEFINISI
ISTISHHAB.
Istishhab menurut
bahasa Arab ialah : pengakuan adanya
perhubungan. Sedangkan menurut para ahli
ilmu ushul fiqh, adalah : Menetapkan
hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaannya sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan
atas perubahan keadaan tersebut. atau ia adalah menetapkan hukum yang telah tetap pada
masa yang lalu dan masili tetap pada keadaannya
itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Apabila seorang
mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan
ia tidak menemukan nash di dalam Al-Qur'an atau sunnah, dan tidak pula
menemukan dalil syar'i yang membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan
kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah :
ان الاصل فى الا شيا ء الا با حة
Artinya
"Sesungguhnya asal mula dalam
segala sesuatu adalah dibolehkan”.
Dan hal ini
merupakan keadaan di mana Allah menciptakan sesuatu yang ada di bumi, seluruhnya.
Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan perubahannya, maka
sesuatu itu tetap pada kebolehannya yang asli.
Apabila seorang
mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat, tumbuh-tumbuhan,
atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal perbuatan dan ia
ticlak menernukan dalil syar'i atas hukumnya, maka ia menetapkan hukum dengan
kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan (ibadah) adalah asalnya, padahal
tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya.
Sesungguhnya
asal mula segala sesuatu itu boleh, karena Allah SWT. telah berfirman dalam
kitab-Nya yang mulia:
هو ااذى خلق لكم ما فى الارض جميعا
Artinya
"Dia-lah Allah yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu... “
(Q.S. 2 lAl-Baqarah : 29).
Dalam sejumlah
ayat, Allah menjelaskan bahwasanya Dia telah menaklukkan apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Sesuatu yang ada di bumi tidaklah di
ciptakan untuk manusia dan di taklukkan bagi mereka kecuali apabila sesuatu itu
di perbolehkan untuk mereka. Karena kalau sekiranya ia dilarang atas mereka,
maka ia tidakalah di peruntukkan kepada mereka.
B.
KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Istishhab
merupakan akhir dalil syar’I yanmg menjadi tempat kembali seorang mujtahid
untuk mengetahui hukum suatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena inilah,
maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata : “ Sesungguhnya istshhab merupakan
akhir tempat beredarnya fatwa.Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan
hukum yang telah tetap baginya , sepanjang tidak ada dalil yang merubahanya.”
Ini adalah metode untuk beristidlal yang telah menjadi fitrah manusia dan
mereka jalani dalam berbagai tindakan dan hukum mereka. Barang siapa yang
mengetahui seseorang yang hidup, maka ia menetapkan kehidupan dan mendasarkan
nernagai tindakanya atas kehidupanya ini, sehingga ada dalil yang menunjukan
terhadap kematianya.Barang siapa yang mengetahui si Fulanah adakah istri si
fulan, maka ia menyaksilan perkawinanya,sehingga ada dalail yang menunjukan berakhirnya perkawinan itu.demikian lah
setiap orang yang mengetahui adanya sesuatu hal, maka ia menetapkan
keberadaanya sehingga ada dalil yang menunjukan ketiadaanya, dan barang siapa
yang mengetahui ketiadaan sesuatu, maka ia menetapkan ketiadaanya, sehingga ada
dalil yang menunjukan keberadaanya.
Perdilan telah
berjlan atas jalan ini . suatu pemilikan yang tetap bagi seseorang melaui salah
satu sebab pemilikan, maka pemilikan itu di akui ada dalil yang menetapkan sesuatu yang
menfghilangkan kepemilkan itu. Kehalalan
yang tetap bagi suami-istri berdasarkan akad perkawinan diakui ada, sehingga
sesuatu yang menghilangkan kehalalanya itu di peroleh kektetapan.Tanggungan
yang dilangsungkan dengan hutang atau ketetapan lainya dianggap bebas sehingga
diperolah ketetapan sesuatu yang membebaninya lagi. Asal sesuatu adalah
ketetapan sesuatu yang telah ada menurut kadaan semula, sampai tedapat sesuatu
yang telah merubahnya.
Berdasarkan istishhab inilah, pasal
1 dari lembaran pengaturan Mahkamah Syar’iyyah (Mesir sebelum dibubarkan)
menjelaskan, dan teksnya adalah sebagai berikut “Penyaksian hutang dianggap
cukup, meskipun tidak dijelaskan masih tetapnya hutang itu pada tanggungan si
pemunjam. Denmikian pula persaksian langsung”. Pasal 181 teksnya sebagai
berikut : “Penyaksian wasiat atau pewasiatan adalah cukup, sekalipun tidak
dijelaskan ketetapan orang yang berwasiat sampai waktu wafatnya”.
Berdasarkan istishhab ini, beberapa
prinsip syara’ dibangun, yaitu sebagai berikut
الا صل بقا ء ما كا ن على ما كان حتى يثبت ما يغير ه
Artinya :
“Asal sesuatu it adalah ketetapan
sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula, sehingga terdapat ketetapan
sesuatu yang merubahnya”.
الاصل فى الاشيا ء الاباحة
Artinya :
“Asal segala sesuatu adalah
kebolehan”.
ما ثبت با ليقين لا يزول با لشك
Artinya :
“Sesuatu yang tetap sebab keyakinan tidak hilang sebab
keraguan-keraguan”.
الا فى الا نسا ن الا برا ء ة
Artinya :
“Asal pada manusia adalah
kebhasaan”.
Sebenarnya
pengakuan terhadap istishhab itu sendiri sebagai dalil atashukum adalah penetapan
secara majazi. Karena sesungguhnya dalil yang menjadi kektetapan hukum yang
terdahulu. Istishhab tidak lain adalah dalil yang menjadi ketetapan pengerttian
dalil tersebut kepada hukumnya.Ulama’ Hanafiyyah menetapkan bahwa Istishhab adalah hujjah untuk
mempertahankan , bukan untuk membuktikan.Maksut mereka dengan pernyataan
tersibut ialah : bahwasanya Istishhab
merupakan hujjah atas ketetapanya sesuatu pada keadaan semula , dan menolak
sesuatu yang menentangnya, sehinggag ada dalil yang ementapkan sesuatu yang menantangnya itu. Ia bukanlah suatu
hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Hal ini di jelaskan oleh
sesuatu yang telah mereka tetapkan berkenaan dengan orang yang mafqud,
yaitu orang yang hilang , yang tidak diketahui tampatnya, tidak pul diketahui
hidup maupun matinya . Orang yang hilang ini dihukumi sebagai orang yang masih
hidup sebagai orang yang masih hidup berdasarkan kelangsungan keadaan yang
telah diketahui, sehingga ada dalil yang menunjukan kematiannya. Istishhab yang
mnunjikan kehidupanya ini merupakan
hujjah untuk menolak dakwaan kematiannya, pewarisan terhadap hartanya dan
pembatalan perjanjian sewa-menyewanya,
serta pentakan istrinya. Akan tetapi ia
buanlah hujjah untuk menetapkan hak warisanya dari lainya, karena kehidupanya
yang tetap berdasarkan Istishhab ad;lah kehidupan yang bersifat anggapan, bukan
hakikinya.
C. MACAM-MACAM ISTISHAB
Muhammad Abu Zahrah
menyebutkan empat macam istishab seperti berikut :
1)
Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyah
yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang
mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di
bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan, bahwa hukum
dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia
selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh
dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 Surat Al-Baqarah :
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ § …………………….
“Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ….
(QS.
Al-Baqarah/2 : 29)”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan
untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh
dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini, jika
ada larangan, berarti pada makanan atau dalam perbuatan itu terdapat bahaya
bagi kehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut, suatu makanan, atau
suatu tindakan tetap dianggap halal atau boleh dilakukan seperti hukum aslinya,
selama tidak ada dalil yang melarang.
2)
Istishab Al-Baraah Al-Ashliyah
yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya
setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah
statusnya itu. Seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri
seseorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya
bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat
kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi, seseorang dengan prinsip istishab, akan
selalu dianggap berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang
mengubah statusnya itu.
3)
Istishab Al-Hukm
yaitu istishab yang didasarkan atas (tetapnya status hukum yang
sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang
memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya
itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah
status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain. Seseorang
yang sudah jelas berutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berutang sampai
ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang
membebaskannya dari utang itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah
terhadap seorang wanita, maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya
sampai terbukti telah diceraikannya.
4)
Istishab Al-Wasf
yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat
yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya,
sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai
ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih, tetap
dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.
D. PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TENTANG
ISTISHAB
Para
ulama Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga
macam istishab yang disebut pertama diatas adalah sah dijadikan landasan hukum.
Mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu istishab al-wasft. Dalam
hal ini ada dua pendapat :
1)
Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah
Berpendapat bahwa istishab al-wasft dapat dijadikan landasan secara
penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya
yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak tahu tempatnya, tetap
dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah wafat. Oleh karena masih dianggap
hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi orang hidup, seperti bahwa harta
dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang
wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya
langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
2)
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
Berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk
mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu, meskipun ia masih dianggap masih
hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan hartanya
juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun
jika ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus dan kadar pembagiannya harus
disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup.
Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan
dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang disimpan
tersebut dibagi diantara ahli waris yang ada. Alas an mereka karena keadannya
masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan,
bukan hidup secara fakta.
E.
ANALISIS
Jika
hukum Istishab ini kita lihat
sekilas tanpa kita pahami,maka akanada
banyak perbedaan dikalangan muslim satu dengan lainnya dalammengambil sikap
untuk menentukan suatu hukum.Bukankah ini akanmenimbulkan perpecahan
dalam islam?Perbedaan pendapat untuk
menentukan hukum dalam Fiqih itu halyang
biasa,karena dasarnya Akal bukan wahyu, tidak mengikat untuk seluruh
umat islam dan sifatnya “Dhonni”.Perpecahan terjadi bukan karena perbedaan pendapat tetapi karena manusianya
yang belum paham tentangfiqih.
F.
KESIMPULAN
Setelah
membaca dan memahami penjelasan diatas dapat kami ambillkesimpulan bahwa istishab
dapat digunakan sebagai dasar hukum setelahAl
qur’an,As-sunnah,Ijma’ dan Qiyas.Karena “Pangkal sesuatu itu adalah boleh”
Selama
belum ada dalil yang merubah ketetapan hukum tersebut,makasesuatu itu tetap
dihukumi boleh.Dengan catatan selama tidak bertentangandengan Al-qur’an dan
As-sunnah.
G.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun , kami sadar makalah ini jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran pembaca guna
perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, Ilmu Fiqh Jakarta :Prenada Media,cet-5
2005
Efendi
Satria,Ushul Fiqh,
Jumantoro,
Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,2005
Syafi’I
Rahmat,Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : CV
Pustaka Setia, cet-1 199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar