Jumat, 20 April 2018

ISTISHAB



ISTISHAB

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu :

 
                                        Disusun oleh :
             Ahmad Amaruddin Rois               (111311041)
             Linda Risca M                              (111311040)

FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011



A.DEFINISI ISTISHHAB.

Istishhab menurut bahasa Arab ialah : pengakuan  adanya perhubungan. Sedangkan  menurut para ahli ilmu ushul fiqh,  adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan  keadaannya sebelumnya, sehingga ada dalil  yang  menunjukkan atas perubahan  keadaan tersebut. atau  ia adalah menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masili  tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.

Apabila seorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash di dalam Al-Qur'an atau sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar'i yang membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah :

ان الاصل فى الا شيا ء الا با حة
Artinya
"Sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”.

Dan hal ini merupakan keadaan di mana Allah menciptakan sesuatu yang ada di bumi, seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehannya yang asli.

Apabila seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat, tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal perbuatan dan ia ticlak menernukan dalil syar'i atas hukumnya, maka ia menetapkan hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan (ibadah) adalah asalnya, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya.



Sesungguhnya asal mula segala sesuatu itu boleh, karena Allah SWT. telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
هو ااذى خلق لكم ما فى الارض جميعا
Artinya
"Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu... “
(Q.S. 2 lAl-Baqarah : 29).

Dalam sejumlah ayat, Allah menjelaskan bahwasanya Dia telah menaklukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Sesuatu yang ada di bumi tidaklah di ciptakan untuk manusia dan di taklukkan bagi mereka kecuali apabila sesuatu itu di perbolehkan untuk mereka. Karena kalau sekiranya ia dilarang atas mereka, maka ia tidakalah di peruntukkan kepada mereka.

B. KEHUJJAHAN  ISTISHHAB

Istishhab merupakan akhir dalil syar’I yanmg menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum suatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena inilah, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata : “ Sesungguhnya istshhab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa.Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya , sepanjang tidak ada dalil yang merubahanya.” Ini adalah metode untuk beristidlal yang telah menjadi fitrah manusia dan mereka jalani dalam berbagai tindakan dan hukum mereka. Barang siapa yang mengetahui seseorang yang hidup, maka ia menetapkan kehidupan dan mendasarkan nernagai tindakanya atas kehidupanya ini, sehingga ada dalil yang menunjukan terhadap kematianya.Barang siapa yang mengetahui si Fulanah adakah istri si fulan, maka ia menyaksilan perkawinanya,sehingga ada dalail yang menunjukan  berakhirnya perkawinan itu.demikian lah setiap orang yang mengetahui adanya sesuatu hal, maka ia menetapkan keberadaanya sehingga ada dalil yang menunjukan ketiadaanya, dan barang siapa yang mengetahui ketiadaan sesuatu, maka ia menetapkan ketiadaanya, sehingga ada dalil yang menunjukan keberadaanya.
Perdilan telah berjlan atas jalan ini . suatu pemilikan yang tetap bagi seseorang melaui salah satu sebab pemilikan, maka pemilikan itu di akui  ada dalil yang menetapkan sesuatu yang menfghilangkan kepemilkan  itu. Kehalalan yang tetap bagi suami-istri berdasarkan akad perkawinan diakui ada, sehingga sesuatu yang menghilangkan kehalalanya itu di peroleh kektetapan.Tanggungan yang dilangsungkan dengan hutang atau ketetapan lainya dianggap bebas sehingga diperolah ketetapan sesuatu yang membebaninya lagi. Asal sesuatu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut kadaan semula, sampai tedapat sesuatu yang telah merubahnya.   
Berdasarkan istishhab inilah, pasal 1 dari lembaran pengaturan Mahkamah Syar’iyyah (Mesir sebelum dibubarkan) menjelaskan, dan teksnya adalah sebagai berikut “Penyaksian hutang dianggap cukup, meskipun tidak dijelaskan masih tetapnya hutang itu pada tanggungan si pemunjam. Denmikian pula persaksian langsung”. Pasal 181 teksnya sebagai berikut : “Penyaksian wasiat atau pewasiatan adalah cukup, sekalipun tidak dijelaskan ketetapan orang yang berwasiat sampai waktu wafatnya”.

Berdasarkan istishhab ini, beberapa prinsip syara’ dibangun, yaitu sebagai berikut
الا صل بقا ء ما كا ن على ما كان حتى يثبت ما يغير ه
Artinya :
“Asal sesuatu it adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula, sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang merubahnya”.
الاصل فى الاشيا ء الاباحة
Artinya :
“Asal segala sesuatu adalah kebolehan”.
ما ثبت با ليقين لا يزول با لشك
Artinya :
“Sesuatu  yang tetap sebab keyakinan tidak hilang sebab keraguan-keraguan”.

الا فى الا نسا ن الا برا ء ة
Artinya :
“Asal pada manusia adalah kebhasaan”.

Sebenarnya pengakuan terhadap istishhab itu sendiri sebagai dalil atashukum adalah penetapan secara majazi. Karena sesungguhnya dalil yang menjadi kektetapan hukum yang terdahulu. Istishhab tidak lain adalah dalil yang menjadi ketetapan pengerttian dalil tersebut kepada hukumnya.Ulama’ Hanafiyyah menetapkan  bahwa Istishhab adalah hujjah untuk mempertahankan , bukan untuk membuktikan.Maksut mereka dengan pernyataan tersibut  ialah : bahwasanya Istishhab merupakan hujjah atas ketetapanya sesuatu pada keadaan semula , dan menolak sesuatu yang menentangnya, sehinggag ada dalil yang ementapkan sesuatu  yang menantangnya itu. Ia bukanlah suatu hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Hal ini di jelaskan oleh sesuatu yang telah mereka tetapkan berkenaan dengan orang  yang mafqud, yaitu orang yang hilang , yang tidak diketahui tampatnya, tidak pul diketahui hidup maupun matinya . Orang yang hilang ini dihukumi sebagai orang yang masih hidup sebagai orang yang masih hidup berdasarkan kelangsungan keadaan yang telah diketahui, sehingga ada dalil yang menunjukan kematiannya. Istishhab yang mnunjikan kehidupanya  ini merupakan hujjah untuk menolak dakwaan kematiannya, pewarisan terhadap hartanya dan pembatalan perjanjian  sewa-menyewanya, serta pentakan istrinya. Akan  tetapi ia buanlah  hujjah untuk menetapkan  hak warisanya dari lainya, karena kehidupanya yang tetap berdasarkan Istishhab ad;lah kehidupan yang bersifat anggapan, bukan hakikinya. 


C. MACAM-MACAM ISTISHAB

Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab seperti berikut :
1)      Istishab Al-Ibahah Al-Ashliyah
yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 Surat Al-Baqarah :
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §  …………………….
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ….
(QS. Al-Baqarah/2 : 29)”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini, jika ada larangan, berarti pada makanan atau dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagi kehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut, suatu makanan, atau suatu tindakan tetap dianggap halal atau boleh dilakukan seperti hukum aslinya, selama tidak ada dalil yang melarang.

2)      Istishab Al-Baraah Al-Ashliyah
yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu. Seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi, seseorang dengan prinsip istishab, akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3)      Istishab Al-Hukm
yaitu istishab yang didasarkan atas (tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berutang kepada si fulan, akan selalu dianggap berutang sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang wanita, maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya sampai terbukti telah diceraikannya.

4)      Istishab Al-Wasf
yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.

D. PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TENTANG ISTISHAB

Para ulama Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam istishab yang disebut pertama diatas adalah sah dijadikan landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu istishab al-wasft. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1)      Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah
Berpendapat bahwa istishab al-wasft dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak tahu tempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah wafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hal bagi orang hidup, seperti bahwa harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang wafat, maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.

2)      Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
Berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu, meskipun ia masih dianggap masih hidup, yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup, namun jika ada ahli warisnya yang wafat, maka khusus dan kadar pembagiannya harus disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi diantara ahli waris yang ada. Alas an mereka karena keadannya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
  
E. ANALISIS

Jika hukum Istishab ini kita lihat sekilas tanpa kita pahami,maka akanada banyak perbedaan dikalangan muslim satu dengan lainnya dalammengambil sikap untuk menentukan suatu hukum.Bukankah ini akanmenimbulkan perpecahan dalam islam?Perbedaan pendapat untuk menentukan hukum dalam Fiqih itu halyang biasa,karena dasarnya Akal bukan wahyu, tidak mengikat untuk seluruh umat islam dan sifatnya “Dhonni”.Perpecahan terjadi bukan karena perbedaan pendapat tetapi karena manusianya yang belum paham tentangfiqih.

F. KESIMPULAN

Setelah membaca dan memahami penjelasan diatas dapat kami ambillkesimpulan bahwa istishab dapat digunakan sebagai dasar hukum setelahAl qur’an,As-sunnah,Ijma’ dan Qiyas.Karena “Pangkal sesuatu itu adalah boleh”
Selama belum ada dalil yang merubah ketetapan hukum tersebut,makasesuatu itu tetap dihukumi boleh.Dengan catatan selama tidak bertentangandengan Al-qur’an dan As-sunnah.
  
G.    PENUTUP
            Demikian makalah yang kami susun , kami sadar makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran pembaca guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin


DAFTAR PUSTAKA


Djazuli, Ilmu Fiqh Jakarta :Prenada Media,cet-5 2005
Efendi Satria,Ushul Fiqh,
 Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,2005
Syafi’I Rahmat,Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : CV Pustaka Setia, cet-1 199




Tidak ada komentar:

Posting Komentar