Dakwah, Teori, Definisi, dan Macamnya (Teori-Teori
dan Dakwah)
[6] Ibid., hal. 7.
A. Definisi Teori dan Macam-macamnya
Teori adalah serangkaian hipotesa atau proposisi yang saling
berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. Definisi ini
sebetulnya sudah cukup menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan teori,
akan tetapi tidak berarti bahwa definisi tersebut di atas adalah satu-satunya
definisi tentang teori. Beberapa definisi lain tentang teori sebagaimana yang
terdapat dalam penjelasan berikut ini;
“Theories
are sets of statement, understandable to other, which make predictions about
empirical events.”[1]
“It
will be convenient for our purposes to define a theory simply as a set of
statement or sentences.”[2]
“Basically,
a theory consists of one or more functional statements of proportions that
treat the relationship of variable so as to account fo a phenomenon or set fo
fenomena.”[3]
“The
term theory is normally applied to the higher order integration of hypotheses
into systematic networks that attempt to describe and predict broader
ranges of events by allowing one hypothesis to quality another or to specify
the conditions under which another will appropriate.”[4]
Dari berbagai definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa
teori di satu pihak adalah ringkasan fakta-fakta dan pihak lain merupakan
perkiraan tentang implikasi (akibat) dari fakta-fakta tersebut dan kemungkinan
hubungan antara fakta-fakta tersebut.
B. Macam-Macam Teori
Bermacam-macam teori dapat digolongkan menurut bentuk atau
menurut isinya. Menurut bentuknya, ada dua macam teori, yaitu:
- Teori
konstruktif (menurut istilah Einstein, 1934, dan Marx, 1951) atau teori
merangkaikan (Kaplan, 1964), yaitu teori yang mencoba membangun
kaitan-kaitan (sintesa) antara berbagai fenomena sederhana.
- Teori
principle (Einstein, 1934) atau teori reduktif (Marx, 1951) atau teori
berjenjang/Hierarchical (Kaplan, 1964) adalah teori yang mencoba
menganalisa suatu fenomena ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil.
Menurut
isinya, juga ada dua macam teori (Kaplan, 1964) yaitu:
- Teori
Molar, yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan, misalnya teori
tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok.
- Teori
molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam tubuh suatu
organisme, misalnya teori konsistensi kognitif.[5]
Selain penggolongan teori ke dalam beberapa tipe menurut
bentuk dan isinya, kita perlu pula mengetahui teori mana yang baik dan teori
mana yang tidak baik. Baik tidaknya suatu teori tidak ditentukan oleh bentuk
atau isinya, melainkan ditentukan oleh beberapa norma di bawah ini:
- Norma
Korespondensi (norm of corespondence) yaitu seberapa jauh teori ini
cocok dengan fakta-fakta yang ada. Semakin cocok teori dengan fakta,
semakin baik.
- Norma
Koherensi (norm of coherence) yang meliputi dua ukuran:
a.
Seberapa
jauh teori itu cocok dengan teori-teori sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa
suatu teori tidak boleh bertentangan dengan satu atau dua teori sebelumnya,
akan tetapi walaupun ia bertentangan dengan teori-teori tertentu, suatu teori
yang baik masih cocok dengan sejumlah teori lainnya.
b. Kesederhanaan (simplicity),
yaitu teori tersebut sederhana, dalam arti tidak rumit, tidak berbelit-belit,
mudah dimengerti. Kesederhanaan ini meliputi dua hal;
1) Kesederhanaan deskriptif, yaitu
kesederhanaan dalam uraian tentang teori itu sendiri.
2) Kesederhaan induktif: yaitu
kesederhanaan dalam prosedur penarikan kesimpulan (induksi) dari data-data yang
ada.
- Norma
Pragmatik, yaitu seberapa jauh suatu teori mempunyai kegunaan praktis.
Makin besar kegunaan praktisnya, makin baik teori yang bersangkutan.[6]
C. Pengembangan Teori Dakwah
Dalam mengembangkan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak
mungkin tanpa dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori
dakwah. Tanpa teori dakwah maka apa yang disebut dengan ilmu dakwah tidak lebih
dari sekadar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisa atas
fakta dakwah atau sebaliknya, ilmu dakwah hanya merupakan kumpulan pengetahuan
atas fakta dakwah yang tidak akan bisa dijelaskan hubungan kausalitasnya
antar fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi
masalah yang kompleks.
Secara akademik, dengan adanya teori dakwah maka dapat
dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu analisa dan klasifikasi
fakta dakwah, memahami hubungan antarvariabel dakwah, menaksir kondisi dan
masalah dakwah baru seiring dengan perubahan sosial di masa depan serta
menghubungkan pengetahuan dakwah masa lalu, masa kini dan masa yang akan
datang.
D. Teori Medan Dakwah
Teori ini dapat dikatakan sebagai teori yang menjelask
situasi teologis, kultural, dan struktural mad’u (masyarakat) pada saat
permulaan pelaksanaan dakwah Islam.
Dakwah Islam, sebagaimana diketahui, adalah sebuah ihtiar
muslim dalam mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, jama’ah dan
masyarakat dalam semua aspek kehidupan sampai terwujud khairul ummah. Khairul
ummah adalah tata sosial yang sebagian besar anggotanya bertauhid (beriman),
senantiasa menegakkan yang ma’ruf (tata sosial yang adil), dan secara
berjama’ah senantiasa berusaha mencegah yang munkar.
Di dalam khairul ummah, penyampaian yang ma’ruf (penegakkan
keadilan) dan pencegahan yang munkar kezhaliman merupakan suatu kewajiban bukan
hak. Artinya, penegakkan keadilan merupakan imperatif moral-fitri yang
terdalam, bagian integral fungsi sosial Islam dan, sekaligus, merupakan
refrelksi tauhid, yang jika tidak ditunaikan berarti penyimpangan dari
kebenaran, berarti suatu bangsa.
E. Teori Proses dan Tahapan Dakwah
Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya
yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin).
Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian
amanah dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki
kegiatan dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini
dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas
ummatan khairan.
- Model
Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)
Pada
tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar
sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw
dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal
fardhi (QS. 26: 214-215) dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i
(QS. 15: 94). Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian
mad’u, kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam
ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya
sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.
- Tahap
Penataan Dakwah (Tandzim)
Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan
eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensip
dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah
(sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah Nabi memahami karakteristik
sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima dari Mua’ab Ibn Umair
maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta Bai’atul Aqabah. Dari
strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan
militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah,
dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak
memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya
pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya
yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini
berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan
“muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara
komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.
- Tahap
Pelepasan dan Kemandirian.
Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw)
telah siap menjadi masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap
pelepasan dan perpisahan secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw
ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang
telah siap meneruskan Risalahnya.
F. Problematika yang dihadapi dalam
pembentukan Teori Dakwah
Secara historis sudah hampir satu abad dakwah sebagai
kegiatan mengajak umat manusia masuk ke jalan Allah dan mewujudkan Islam dalam
kenyataan masyarakat telah menjadi kajian dalam dunia akademik pada
fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir. Perguruan Tinggi Islam di
perlbagai belahan dunia Islam pun telah mengikuti tradisi akademik al-Azhar
tersebut dengan membuka Jurusan Dakwah di Fakultas Ushuluddin atau Fakultas
Dakwah yang berdiri sendiri. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia
membuka Jurusan Dakwah pada fakultas Ushuluddin, dan pada 1971 Fakultas Dakwah
pun berdiri sendiri di IAIN. Para alumni Jurusan Dakwah dan Fakultas Dakwah
sudah berjumlah ribuan, mereka mengabdi dalam perlbagai lapangan kegiatan
dakwah, termasuk di dunia akademik sebagai staff pengajar.
Namun demikian, usia status akademik yang telah begitu tua
dan para alumninya diakui oleh pemerintah dan masyarakat, ternyata masih
menyimpan sebuah pertanyaan yang mendasar yang belum terjawab secara serius dan
komprehensip. Pertanyaan itu menyangkut status keilmuan dakwah, apakah dakwah
itu ilmu atau hanya sekedar pengetahuan. Jika dakwah itu ilmu, termasuk ilmu
dalam kerangka paradigma yang mana; sebaliknya jika dakwah hanya pengetahuan,
apakah termasuk pengetahuan yang telah memiliki sistematikanya atau hanya
pengetahuan biasa yang tidak terstruktur dengan jelas.
Dalam memandang masalah di atas, para pakar studi keislaman
memiliki kategori jawaban yang beragam. Pertama, kelompok pakar yang
menyatakan bahwa dakwah sudah menjadi ilmu. Dalam kelompok ini terdapat tiga
golongan: (1) pakar Dakwah yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu yang
mewujudkan Islam dalam kenyataan hidup bermasyarakat di semua segi kehidupan
yang sedang mencari jatidiri, mengembangkan metodologi serta diawali dengan
kajian epistemologi dakwah. (2). Pakar komunikasi yang menyatakan bahwa dakwah
adalah ilmu lintas disiplin yang lebih dekat pada ilmu komunikasi dalam paradigma
logis. Golongan ini menyarankan jika dakwah adalah “ilmu” dalam pengertian ilmu
pengetahuan, harus mengembangkan pendekatan empiris. (3) pakar Sosiologi yang
menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu dalam kategori “ngelmu” yaitu suatu
perangkat kepercayaan yang memberikan pedoman kepada manusia bagaimana cara
mengatur hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan makhluk
lainnya. Kedua, kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah bukan ilmu
tetapi hanya pengetahuan. Kelompok ini belum memberikan penolakan secara ilmiah
mengenai status keilmuan dakwah. Mereka baru berbicara dalam forum-forum
terbatas dengan hujjah yang tidak sistematis, apalagi dalam bentuk tulisan
ilmiah. Barangkali lebih tepat jika penilaian mereka disebut masih bersifat
spekulatif.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa kalangan akademik yang
secara khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar dan penelitian mengenai
dakwah Islam, misalnya Fakultas Dakwah, masih langka dalam pengkajian dakwah
sebagai ilmu. Kelangkaan ini tercatat empat faktor penyebab; (1) ghirah
(semangat) keilmuan belum melembaga sebagai tradisi ilmiah di kalangan staff
pengajar (dosen), (2). Kelangkaan literatur yang mengkaji dakwah sebagai ilmu
yakni sebagai kajian epistemologis, (3) tiadanya dana penelitian ilmiah yang
secara khusus untuk tujuan pengembangan dakwah sebagai ilmu, dan (4) para
sarjana dakwah baik yang didalam maupun di luar kampus terbenam dalam rutinitas
kegiatan yang menyebabkan kehilangan semangat untuk berpikir reflektif dan
ilmiah mengenai dakwah. Hal ini berarti kesadaran teoritik dan metodologis para
sarjana dakwah di manapun masih sangat kurang. Oleh itu, perlu ditumbuhkan
kesadaran dan semangat meneliti dalam civitas akademika dakwah- terutama para
dosen, peneliti, dan mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia dakwah.
[1] Mandler, G, dan Kessen, W, The Language of psychology,
(New York: Wiley, 1959), hal. 142. Lihat juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori
Psikologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. III, 1995), hal. 5.
[2]Simon, H. A, dan Newell, A, “Models:
Teir uses and limitations,” dalam L.D. White (Editor), The State of the
Social Sciences, (Chicago: University of Chicago Press, 1956), hal. 67. Lihat
juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid., hal. 5.
[3]Hollander, E. P, Principles and
Methods of Social Psychology, (New York: Oxford University Press, 1967), hal.
55 Lihat juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid., hal. 5.
[4]Mc David, J. W., dan Harari, H, Social
Psychology: Individuals, Groups Sociaties, (New York: Harper dan Row,
1968), hal. 21. Lihat juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid., hal. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar