Hukum Bisnis tentang Waralaba
(Frencieshe)
(Dian Adi Perdana)
I.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kata waralaba/franchise,
transaksi bisnis yang bertaraf franchise kini mulai marak
karena selain biaya murah dan bahan sudah disediakan juga tidak terlalu memakan
tempat yang begitu luas.
Pada dasarnya Franchise adalah sebuah perjanjian mengenai
metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam
jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk
melakukan usaha pendistribusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam
wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan
cara yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisor memberikan
bantuan (assistance) terhadap franchisee, sebagai imbalannya franchisee membayar
sejumlah uang berupa initial fee dan royalty. Kalau dalam hukum Islam, waralaba
dengan model ini hampir serupa dengan model syirkah mudharabah (bagi hasil).
II.
Rumusan Masalah
1. Pengertian waralaba
atau franchise ?
2. Jenis-jenis waralaba
atau franchise ?
3. Keuntungan dan
kerugian waralaba atau franchise ?
4. Akad atau perjanjian
waralaba atau franchise ?
5. Waralaba menurut
undang-undang ?
6. Waralaba atau franchise menurut
perspektif hukum islam ?
III.
Pembahasan
1. Pengertian Waralaba atau Franchise
Menurut asosiasi franchise Indonesia yang dimaksud dengan
waralaba/franchiseadalah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa
kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merk (franchisor) memberikan hak
kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merk, nama,
sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka
waktu tertentu meliputi area tertentu.[1]
Munir Fuady mendefinisikan waralaba atau franchise sebagai
suatu cara melakukan kerjasama dibidang bisnis antara dua atau lebih
perusahaan, dimana satu pihak akan bertindak sebagai franchisor dan
pihak yang lain sebagai franchisee, yang didalamnya diatur
bahwa pihakfranchisor sebagai pemilik suatu merk terkenal, dan
memberikan kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis
atas suatu produk barang atau jasa berdasarkan dan sesuai dengan rencana
komersial yang telah dipersiapkan, diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari
waktu ke waktu, baik atas dasar hubungan eksklusif ataupun non eksklusif, dan
sebaliknya suatu imbalan tertentu akan dibayar kepada franchisor.
Sementara menurut P. H. Collin dalam law dictionary mendefinisikan
waralaba sebagai hak menggunakan nama atau menjual produk (barang) atau jasa
dimana hak itu diberikan atau dijual.[2]
Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa yang dimaksud
dengan franchisordan franchisee. Franchisor atau
pemberi waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada
pihak lain untuk memanfaatkan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan ciri khas usaha yang dimiliki. Sedangkan franchisee atau
penerima waralaba adalah pihak yang membeli franchise atau
system tersebut dari franchisor sehingga memiliki hak untuk
menjalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembangkan oleh franchisor.[3]
2. Jenis-jenis Waralaba atau Franchise.
Waralaba dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
a.
Waralaba merek dagang dan produk
Waralaba merek dagang dan produk adalah pemberi waralaba memberikan hak
kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi
waralaba disertai dengan izin untuk menggunakan merek dagangnya. Atas pemberian
izin pengunaan merek dagang tersebut pemberi waralaba mendapatkan suatu bentuk
bayaran royalty di muka, dan selajutnya dia juga mendapat keuntungan dari
penjualan produknya. Misalnya: SPBU menggunakan nama/merek dagang PERTAMINA.
b.
Waralaba format bisnis
Waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang
kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada penerima waralaba
untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang pemberi
waralaba dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh
elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih
menjadi terampil dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang
terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
3. Keuntungan dan Kerugian Waralaba atau Franchise.
a)
Keuntungan bagi pemberi waralaba (franchisor).
a.
Franchisor akan
mempunyai lebih banyak waktu untuk memikirkan kebijakan untuk mengembangkan bisnis
yang diwaralabakan tersebut.
b.
Organisasi franchisor mempunyai kemampuan untuk memperluas
jaringan secara lebih cepat pada tingkat nasional dan tentunyapun internasional
dengan menggunakan modal yang resikonya seminimal mungkin.
c.
Franchisor akan
lebih mudah untuk melakukan eksploitasi wilayah yang belum masuk dalam lingkungan
organisasinya.
d.
Franchisor cenderung untuk tidak memiliki asset
outlet dagang sendiri. Tanggung jawab bagi aset tersebut diserahkan pada franchisee yang
memilikinya.
e.
Seorang franchisor yang melibatkan bisnisnya pada kegiatan
manufaktur/pedagang besar bisa mendapatkan distribusi yang lebih luas
dan kepastian bahwa ia mempunyai outlet untuk prooduknya.[4]
b)
Keuntungan bagi penerima waralaba (franchisee).
a.
Kurangnya pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus yang dimilikifranchisee,
ditanggulangi dengan program pelatihan dari franchisor.
b.
Franchisee mendapatkan
insentif dengan memiliki bisnis sendiri yang memiliki keuntungan tambahan dari
bantuan terus-menerus franchisor, karenafranchisee adalah
pengusaha independen yang beroperasi di dalam kerangka perjanjian franchise.
c.
Di dalam banyak kasus, bisnis franchisee mendapat
keuntungan dari operasi di bawah nama yang telah mapan dalam pandangan dan
fikiran masyarakat.
d.
Franchisee biasanya
akan membutuhkan modal yang lebih kecil dibandingkaan bila ia mendirikan bisnis
secara mandiri, karena franchisor melaluhi operasi
percobaannya telah menghapuskan biaya-biaya yang tidak perlu.
e.
Franchisee akan
menerima bantuan berikut ini: seleksi tempat, mempersiapakan perbaikan gedung
atau ruangan, mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang
difranchisekan, pelatihan staff dan pegawai, pembelian peralatan,
seleksi dan pembelian suku cadang serta membantu membuka bisnis dan
menjalankannya dengan lancar.
f.
Franchisee mendapat
keuntungan dari aktifitas iklan dan promosi franchisorpada tingkat
nasional.
g.
Franchisee mendapatkan
keuntungan dari daya beli yang besar dan kemampuan negosiasi yang
dilakukan franchisor atas nama seluruh franchiseedi
jejaringnya.
h.
Franchisee mendapatkan
pengetahuan yang khusus dan berskill tinggi serta pengalaman dari organisasi
dan manajemen kantor pusat franchisor, walaupun dia tetap mandiri
dalam bisnisnya sendiri.
i.
Risiko bisnis franchisee berkurang sangat besar.
j.
Franchisee mendapatkan
jasa-jasa dari para staf lapangan franchisor yang berada di
sana untuk membantunya mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dari waktu
ke waktu dalam pengelolaan bisnis.
k.
Franchisee mendapat
keuntungan dari penggunaan paten, merek dagang, hak cipta, rahasia dagang serta
proses, formula, dan resep rahasia milikfranchisor.
c)
Kerugian bagi pemberi waralaba (franchisor).
a.
Beberapa franchisee cenderung menganggap dirinya independent.
b.
Franchisor harus
memiliki keyakinan untuk menjamin bahwa standar kualitas barang dan jasa dijaga
melalui rantai waralaba.
c.
Ada franchisee yang tidak tertarik pada peluang-peluang
yang mereka dapatkan dari bisnis tersebut.
d.
Franchisor khawatir
bahwa semua hasil kerja dan usaha yang ia berikan dalam pelatihan kepada franchisee hanya
akan menghasilkan pesaing dimasa mendatang.
e.
Adanya kemungkinan terjadinya kesulitan untuk mendapatkan kerja sama darifranchisee.
f.
Kemungkinan terdapat kesulitan-kesulitan dalam rekrutmen orang-orang yang
cocok sebagai franchisee untuk bisnis tertentu.
d)
Kerugian bagi penerima waralaba (franchisee).
a.
Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara franchisor dengan franchiseepasti
melibatkan penekanan kontrol, karena kontrol tersebut akan mengatur kualitas
jasa dan produk yang akan diberikan kepada masyarakat melaluhifranchisee.
b.
Franchisee harus
membayar kepada franchisor untuk jasa-jasa yang didapatkannya
dan untuk penggunaan system, yaitu dengan uang franchise(franchise fee)
pendahuluan dan uang franchise terus menerus.
c.
Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor.
d.
Kontrak franchise akan berisi beberapa pembatasan terhadap
bisnis yang difranchisekan.
4. Akad atau Perjanjian Waralaba atau Franchise.
Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya
saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan
pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode
pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi
waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh
penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat
eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan
untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu
lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba
yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba.[6]
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaya tersebut di
atas, maka dalam pembuatan perjanjian atau kontrak harus dibuat secara terang
dan sejelas-jelasnya, hal ini disebabkan saling memberi kepercayaan dan
mempunyai harapan keuntungan bagi kedua pihak akan diperoleh secara cepat.
Karena itu kontrak waralaba merupakan suatu dokumen yang di dalamnya berisi
suatu transaksi yang dijabarkan secara terperinci.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak dibuat secara
terperinci, yang terdiri dari:
a.
Perencanaan dan identifikasi kepentingaan franchisor sebagai
pemilik, hal ini tentunya akan menyangkut hal-hal seperti merek dagang, hak
cipta dan system bisnis franchisor.
b.
Sifat serta luasnya hak-hak yang diberikan kepada franchisee,
hal ini menyangkut wilayah operasi dan pemberian hak-hak secaraa formal untuk
menggunakan merek dagang, nama dagang dan seterusnya.
c.
Jangka waktu perjanjian. Prinsip dasar dalam mengatur hal ini bahwa
hubunganfranchise harus dapat bertahan pada jangka waktu yang lama,
atau setidak-tidaknya selama waktu lima tahun dengan klausula kontrak franchise dapat
diperpanjang.
d.
Sifat dan luasnya jasa-jasa yang diberikan, baik pada masa-masa awal maupun
selanjutnya. Ini akan menyangkut jasa-jasa pendahuluan yang memungkinkanfranchisee untuk
memulai, ditraining, dan dilengkapi dengan peralatan untuk melakukan bisnis.
Pada masa selanjutnya, franchisor akan memberikan jasa-jasa
secara terperinci hendaknya diatur dalam kontrak dan ia juga diperkenankan
untuk memperkenalkan dan mengembangkan ide-ide baru.
e.
Kewajiban-kewajiban awal dan selanjutnya dari franchisee. Ini
akan mengatur kewajiban untuk menerima beban keuangan dalam mendirikan bisnis
sesuai dengan persyaratan franchisor serta melaksanakan sesuai
dengan system operasi, akunting dan administrasi lainnya untuk memastikan bahwa
informasi yang penting tersedia untuk kedua belah pihak. Sistem-sistem ini akan
dikemukakan dalam petunjuk operasional yang akan disampaikan kepada franchisee selama
pelatihan dan akan terus tersedia sebagai pedoman/referensi setelah ia membuka
bisnisnya.
f.
Kontrol operasional terhadap franchisee. Kontrol-kontrol
tersebut untuk memastikan bahwa standar operasional dikontrol secara layak,
karena kegagalan untuk mempertahankan standar pada satu unit franchisee akan
mengganggu keseluruhan jaringan franchise.
g.
Penjualan bisnis. Salah satu kunci sukses dari franchise adalah
motivasi yang ditanamkannya kepada franchisee, disertai sifat
kewirausahaan franchisee. Seorang franchisor hendaknya
sangat selektif ketika mempertimbangkan lamaran dari franchisee,
terutama terhadap orang-orang yang akan bergabung dengan jejaring dengan
membeli bisnis dari franchise yang mapan.
h.
Kematian franchisee. Untuk memberikan ketenangan bagi franchisee,
harus dibuat ketentuan bahwa franchisor akan memberikan
bantuan untuk memungkinkan bisnis dipertahankan sebagai suatu asset yang perlu
direalisir, atau jika tidak bisa diambil alih oleh ahli warisnya apabila ahli
waris tersebut memenuhi syarat sebagaifranchisee.
i.
Arbitrase. Dalam kontrak sebaiknya ditentukan mengenai penyelesaian
sengketa yang mungkin timbul dengan melaluhi arbitrase, dengan harapan
penyelesaiannya akan lebih cepat, murah dan tidak terbuka sengketanya kepada
umum.
j.
Berakhirnya kontrak dan akibat-akibatnya. Dalam kontrak harus selalu ada
kektentuan yang mengatur mengenai berakhirnya perjanjian. Perlu ditambahkan
dalam kontrak, franchisee mempunyai kewajiban selama jangka
waktu tertentu untuk tidak bersaing dengan franchisor atau franchisee lainnya,
juga tidak diperkenankan menggunakan sistem atau metode franchisor.[7]
5. Waralaba menurut
undang-undang
Di Indonesia,
sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer
kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada
tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus,
yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga
memiliki hak untuk memproduksi produknya.[8] Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang
harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagifranchisor maupun franchisee.
Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang
jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS danJepang. Tonggak
kepastian hukum akan
format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16
Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah
dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya
ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis
waralaba adalah sebagai berikut[9]:
·
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997
Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha
Waralaba.
·
Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008
tentang Penyelenggaraan Waralaba
·
Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
·
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
·
Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang
waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan
format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini
terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis
waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang
rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para
pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee)
diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang
diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan.
Dengan mempergunakan sistem piramida atau
sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi.
Ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi
Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI
(Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia
antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG
Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba di Indonesia yang
secara berkala mengadakan roadshow diberbagai daerah dan jangkauannya nasional
antara lain International Franchise and Business Concept Expo
(Dyandra),Franchise License Expo Indonesia ( Panorama convex), Info Franchise
Expo ( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).
6. Waralaba atau Franchise Perspektif Hukum
Islam.
Untuk menciptakan sistem bisnis waralaba yang islami, diperlukan sistem
nilai syariah sebagai filter moral bisnis yang bertujuan untuk menghindari
berbagai penyimpangan bisnis (moral hazard), yaitu Maysir (spekulasi), Asusila,
Gharar (penipuan), Haram, Riba, Ikhtikar (penimbunan/monopoli), Dharar
(berbahaya).
Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan waralaba (franchise)
dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari
bentuk kerjasama (syirkah). Hal ini disebabkan karena dengan adanya
perjanjian franchise, maka secara otomatis antara franchisor dan franchisee terbentuk
hubungan kerja sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama
tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam
waralaba diterapkan prinsip keterbukaan dan kehati-hatian, hal ini sesuai
dengan prinsip transaksi dalam Islam yaitu gharar (ketidakjelasan).
Sedangkan syirkah itu sendiri dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
a)
Syirkah ibahah, yaitu persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan
menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
b)
Syirkah amlak (milik), yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih untuk
memiliki suatu benda.
c)
Syirkah akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul
dengan adanya perjanjian. . Syirkah akad dibagi menjadi empat (4), yaitu :
a.
Syirkah amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam
modal/harta.
b.
Syirkah a’mal, yaitu perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih
untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan
ketentuan upah dibagi menjadi dua.
c.
Syirkah wujuh, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal
harta dari pihak luar.
d.
Syirkah mudharabah, yaitu kemitraan (persekutuan) antara tenaga dan harta,
seorang (supplier) memberikan hartanya kepada pihak lain (pengelola) yang
digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh
akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Bisnis waralaba ini pun mempunyai manfaat yang cukup berperan dalam
meningkatkan pengembangan usaha kecil. Dari segi kemashlahatan usaha waralaba
ini juga bernilai positif sehingga dapat dibenarkan menurut hukum Islam.
Terdapat beberapa indikasi di atas yang menyatakan bahwa secara garis besar
sistem transaksi franchise ini diperbolehkan oleh hukum Islam.
Karena waralaba termasuk bentuk perjanjian kerjasama (syirkah) yang
sisinya memberikan hak dan wewenang khusus kepada pihak penerima. Waralaba
merupakan suatu perjanjian timbal balik, karena pemberi waralaba (franchisor)
maupun penerima waralaba (franchisee) keduanya berkewajiabn untuk
memenuhi prestasi tertentu. Setelah pemaparan yang panjang lebar mengenai franchise di
atas, terdapat persamaan dan perbedaan franchise menurut hukum
Islam dan hukum positif.
Persamaannya adalah Pertama, franchise adalah
kerjasama (syirkah) yang saling menguntungkan, berarti franchise memang
dapat dikatakan kategori dari syirkah dalam hukum Islam. Kedua, terdapat prestasi bagi
penerima waralaba, hal ini sama dengan syirkah mudharabah muqayyadah. Ketiga, terdapat barang, jasa dan
tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah. Keempat, terdapat 2 orang atau lebih yang bertransaksi,
sepakat, hal tertentu, ditulis (dicatat) dan oleh sebab tertentu sesuai dengan
syarat akad, khususnya syirkah mudharabah.
Adapun perbedaannya terletak pada, Pertama, dalah syirkah mudharabah, modal harus berupa uang,
tidak boleh barang. Sedangkan dalamfranchise modal dapat dibantu
oleh franchisor baik uang, barang atau tenaga
professional. Kedua,
dalam franchise terdapat kerja sama dalam bidang hak kekayaan
intelektual (HAKI), yaitu merek dagang. Dan dalam hukum Islam hal tersebut
termasuk syirkah amlak (hak milik).
Ketiga, tidak bolehnya kerja sama dalam hal berjualan barang haram, sedangkan
dalam hukum positif tidak terdapat pembatasan terhadap hal tersebut, misal
transaksi jual-beli barang najis dan memabukkan, seperti babi dan miras.[10]
IV.
Kesimpulan
Waralaba/franchise adalah
suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana
pemilik merk (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan
untuk melaksanakan bisnis dengan merk, nama, sistem, prosedur dan cara-cara
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area
tertentu.
Jenis-jenis waralaba
dapat dibedakan menjadi dua bentuk:
a.
Waralaba merek dagang dan produk.
b. Waralaba format
bisnis.
Keuntungan dan
kerugian selalu ada dalam bisnis apapun termasuk waralaba, bukan hanya yang
ditanggung oleh franchisor tetapi juga franchisee. Semuanya
selalu berkesinambungan satu sama lain.
Akad atau perjanjian
waralaba antara lain:
a)
Perencanaan dan identifikasi
kepentingan franchisor sebagai pemilik.
b)
Sifat serta luasnya hak-hak yang
diberikan kepada franchisee.
c)
Jangka waktu perjanjian.
d)
Sifat dan luasnya jasa-jasa yang
diberikan.
e)
Kewajiban-kewajiban awal dan
selanjutnya dari franchisee.
f)
Kontrol operasional
terhadap franchisee.
g)
Penjualan bisnis.
h)
Kematian franchisee.
i)
Arbitrase.
j)
Berakhirnya kontrak.
Waralaba atau franchise menurut
perspektif hukum islam disamakan dengan syirkah mudharabah atau bagi hasil.
V.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya paparkan, saya menyadari masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran saya harapkan demi
perbaikan makalah berikutnya. Semoga pembahasan dalam makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amiiiiiin….
DAFTAR
PUSTAKA
Budi Utomo, Setiawan. Fiqih Aktual.
Jakarta: Gema Insani, 2003.
Sumarsono, Sonny. Manajemen Bisnis Waralaba. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Wijaya, Gunawan. Seri Hukum Bisnis. Jakarta: PT Grafindo Persada,
2001.
“ Waralaba” http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com, Kamis 29 Mei 2014, 20:50.
[5] Ibid,
28-31.
[6] Ibid, 20.
[7]“ Waralaba” http://waralaba.wordpress.com, Kamis 29 Mei
2014, 10:24.
[8]“ Arti Waralaba” http://www.smfranchise.com/franchise/artiwaralaba.html, Jum’at 30 Mei 2014, 15:40.
[10]“ Waralaba” http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com,
Kamis 29 Mei 2014, 20:50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar