Selasa, 16 Desember 2014

Nikah Beda Agama dan Nikah Mut’ah



Nikah Beda Agama dan Nikah Mut’ah
(Dian Adi Perdana Ridwan)

I.       PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia banyak sekali kita menemukan masalah ini, terlebih masalah pernikahan yang memiliki banyak bagian seperti memilih pasangan hidup hingga masalah talaq dan perceraian. Pernikahan pada dasarnya adalah ikatan lahir batin yang mengikat antara dua insan yaitu wanita dan pria sebagai pasangan suami istri dengan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Bahkan sangat diharapkan sekali bahwa pernikahan akan berjalan abadi hingga akhir hayat untuk membina keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun dalam kenyataannya, suatu pernikahan ada masalah yang berakhir pada putusnya pernikahan tersebut yang sering kita sebut perceraian. Dan pernikahan yang terjadi dimanapun berbagai macam keadaannya, seperti pernikahan poligami, poliandri, pernikahan beda agama, pernikahan sama jenis, pernikahan mut’ah atau yang sering disebut nikah kontrak. Maka dalam hal ini pemakalah akan membahas nikah beda agama dan nikah mut’ah dari sisi hukum islam maupun hukum negara terkhusus yang terdapat di Indonesia.


II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Hukum Nikah Beda Agama dalam perspektif Islam dan hukum Negara?
B.     Apa Hukum Nikah Mut’ah dalam perspektif Islam dan hukum Negara?
C.     Bagaimana Perspektif Hak Asasi Manusia tentang Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia?
D.    Bagaimana Pandangan Masyarakat tentang nikah mut’ah?

III. PEMBAHASAN
A.    Hukum Nikah Beda Agama dalam perspektif Islam dan hukum Negara
Hukum Nikah dengan Wanita atau laki-laki nonmuslim banyak sekali pendapat yang berbeda-beda, adapun beberapa ayat yang menjadi landasan para ulama perihal terlarangnya perbedaan beda agama
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqarah : 221).
Dalam surat ini menjelaskan larangan seorang muslim untuk menikah dengan non muslim, sebelum mereka masuk Islam. Permasalahan ini diasumsikan oleh para Ulama bahwa akan menimbulkan banyak permasalahan yang akan menimbulkan fundamentalis menyangkut keselamatan keimanan terutama pada orang muslim.[1]Di samping itu pernikahan beda agama rentan sekali dengan masalah intern yang akan mengancam keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan nilai-nilai sakral dalam pernikahan.
Adapun ayat yang menjelaskan bahwa Wanita Muslim tidak boleh menikah dengan Laki-laki musyrik maupun Ahlu Kitab.[2]
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.(Q.S.Al-Mumtahanah : 10).
Sedangkan Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 5, membolehkan seorang pria muslim menikah dengan wanita Ahlu Kitab (Sekalipun dalam Surat Al-Bayyinah ayat 1, Ahlu Kitab[3] itu termasuk Orang Kafir)[4]. Akan tetapi tidak boleh sebaliknya seperti yang dituliskan di atas.
dan (dihalalkan kamu berkahwin) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang yang diberikan Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka mas kahwinnya, sedang kamu (dengan cara yang demikian), bernikah bukan berzina dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan. (Q.S. Al-Maidah : 5)[5]
Rasulullah SAW pun bersabda seperti apa yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an, yaitu:
Kita boleh menikah dengan perempuan-perempuan Ahlu Kitab, Tetapi mereka tiodak boleh kawin dengan perempuan-perempuan kita. (HR Ibnu Jarir)[6]
Maka dari ayat dan Hadits di atas kita dapat menyimpulkan bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria musyrik maupun Ahlu Kitab, akan tetapi pria muslim boleh menikah dengan wanita Ahlu Kitab dan tidak boleh dengan wanita musyrik.
Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:
1.      Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama Samawi.
2.      Wanita kitabiyah yang muhshanah.[7]
3.      Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin.
Adapun beberapa pendapat tentang Pernikahan beda agama yang dikemukakan oleh 4 Madzhab pada Ilmu Fiqih, yaitu:
1)   Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2)   Madzhab Maliki
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3)   Madzhab Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
·      Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
·      Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

4)   Mazhab Hambali
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.[8]
Pernikahan perbedaan agama pun sedikit banyak dibahas dan ditulis dalam undang-undang Negara Republik Indonesia pada Pasal 2 RUU Perkawinan Tahun 1973 yang secara tegas merumuskan perkawinan adalah sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan, dilangsungkan menurut undang-undang dan ketentuan hukum perkawinan para pihak yang melakukannya asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Dan adapula adanya kesekularisasian di bidang keabsahan perkawinan yang dilanjutkan dengan ketentuan  Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan Tahun 1973, bahwa “Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan”.[9]
Perkawinan beda agama telah banyak dibahas sebelumnya bahwa baik menurut Hukum Islam maupun Hukum Negara sebagai Kompilasi pernikahan beda agama tidak diperbolehkan walaupun tidak secara tegas karena pernikahan ini lebih banyak menimbulkan kemudharatannya ketimbang kemaslahatannya, bahkan pernikahan agama ini sering menjadi media kaum kafir dan mesyrik sebagai pemurtadan bagi kaum muslim dengan dalih Hak Asasi Manusia untuk memeluk agama yang diinginkan orang yang terkait. Sedangfkan pemurtadan yang dilakukan muslim merupakan salah satu jarimah hudud[10], yang hukumannya ditentukan secara pasti oleh Rasullullah SAW.
Perbuatan murtad yang bisa menjadi salah satu alasan terputusnya pernikahan (perceraian) sesuai RUU-HM-PA-BPerkwn Tahun 2007[11], rumusan ini sudah Islami . Jika ketentuan tentang Perkawinan beda agama itu dibandingkan dengan perkawinan tidak dicatat, sebagaimana Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 143 RUU-HM-PA-BPerkwn Tahun 2007, bahwa perkawinan beda agama lebih dilindungi dari pada perkawinan tidak dicatat. Karena itulah perkawinan beda agama marak sekali di Indonesia dan adapula lembaga yang menyediakan perkawinan beda agama di Jakarta seperti Yayasan Paramadina, The Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).[12] Penyelenggaraan perkawinan beda agama oleh suatu lembaga juga tidak dilarang ataupun diancam hukuman administrasi dan sebagainya, sehingga perkawinan beda agama semakin meluas di Indonesia.
B.     Hukum Nikah Mut’ah dalam perspektif Islam dan hukum Negara
Nikah Mut’ah ialah Nikah dengan seorang wanita untuk jangka waktu tertentu, lalu diceraikan. Dalam beberapa Kitab ada keterangan bahwa lamanya itu sampai 45 hari, tidak wajib memberi nafkah, tidak menerima warisan, dan tidak pula ada masa iddah dan lain layaknya pernikahan yang formal dan sah.[13] Sebagaimana yang telah tertulis dalam hadits Rasulullah SAW tentang sifat-sifat tersebut, yang artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: kami biasa pergi perang bersama Nabi SAW, padahal tidak ada yang (ikut) bersama kami. Lalu kami bertanya (kepada Nabi SAW): Bukankah baik kita berkebiri? Tetapi Nabi melarang kami dari yang demikian, kemudian ia beri kelonggaran kepada kami, supaya kawin kepada seorang wanita dengan (upahan) dari kain sutera untuk sati masa”. (HR. Bukhori Muslim).
Dan adapula hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yaitu yang artinya:
“Dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibni ‘Abbas, ia berkata: Adalah kawin mut’ah pada awwal Islam, ialah seorang laki-laki masuk ke satu negeri, yang tidak adanya baginya di sana kenalan. Lali ia kawin dengan seorang wanita sekedar masa yang ia rasa, bahwa ia akan tinggal di sana; maka wanita itu pelihara barang-barangnya, dan mengurus keperluannya”.(HR. Tirmidzi)

Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada empat :
1.    Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2.    Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3.    Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4.    Kedudukan anak dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah biasa.
5.    Dalam nikah mut’ah masa iddah dihitung dua kali suci/haid.
6.    Bila tidak disyaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi.
7.    Tidak dikenal dengan nafkah iddah.
8.    Jangka waktu tertentu.[14]
Adapun beberapa pendapat Ulama terutapa Ahli Fiqih empat Madzhab, yaitu:
a)    Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanafi dalam pendapat barunya (Qaul Jadid), bahwa Mut’ah wajib kepada setiap wanita yang dicerai sebelum bercampur dan sebelum kepastian mahar.
b)   Menurut Madzhab Hambali, bahwa Nikah Mut’ah itu wajib.
c)    Menurut Madzab Maliki dan Syafi’i (Qaul Qadim), bahwa Nikah Mut’ah itu tidak wajib akan tetapi sunnah.
Semua pendapat empat madzhab di atas berlandaskan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 236
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu,jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur kepada merekadan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemamppuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian yang menurutnya patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Q.S. Al-Baqarah : 236).[15]
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan nikah mut’ah sangat bertentangan sekali dan tidak sah untuk dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah ini bertentangan dengan aturan perundang-undangan tentang perkawinan Islam di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan keluarga dari nikah mut’ah setelah perkawinan itu berakhir, karena nikah mut’ah itu bertentangan dan tidak sah untuk dilakukan.[16]
Nikah mut’ah menurut Hukum Islam ada dua golongan yang berbeda pendapat tentang masih boleh atau tidaknya nikah mut’ah dilakukan, karena dua golongan ini sepakat bahwa nikah mut’ah pada awal era Islam diperbolehkan. Kedua golongan itu adalah golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah dan golongan Syi’ah. Golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa nikah mut’ah sudah tidak boleh dilakukan dan haram hukumnya karena Nash yang memperbolehkan perkawinan tersebut sudah dihapus. Menurut golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah kedudukan  keluarga dari nikah mut’ah setelah perkawinan itu berakhir tidak ada, karena golongan ini mengharamkan nikah mut’ah tersebut.
Sedangkan golongan Syi’ah  berpendapat bahwa nikah mut’ah masih boleh dan halal untuk dilakukan karena belum ada Nash yang menghapus kebolehan nikah mut’ah tersebut. Kedudukan keluarga dari nikah mut’ah yang mengatur hanya dari golongan Syi’ah, karena hanya golongan Syi’ahlah yang masih membolehkan dan menghalalkan perkawinan tersebut. Kedudukan keluarga dari nikah mut’ah yang mengatur hanya dari golongan Syi’ah, karena hanya golongan Syi’ahlah yang masih membolehkan dan menghalalkan perkawinan tersebut. Menurut golongan Syi’ah kedudukan keluarga dari nikah mut’ah setelah perkawinan itu berakhir adalah tentang suami sebagai penyewa dan istri sebagai wania yang disewa, anak hasil dari nikah mut’ah sama seperti anak dari perkawinan daim, waris dan nafkah sesuai dengan perjanjian yang disepakti, tapi jika dalam perjanjian nikah mut’ah waris dan nafkah antara suami istri tidak dicantumkan maka waris dan nafkah itu tidak ada dalam nikah mut’ah.




C.     Perspektif Hak Asasi Manusia tentang Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Dan hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan beda agama adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena Indonesia bukan negara agama, maka yang menjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun hukum nasional, seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan diri pada apa yang dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
Jika melihat persoalan perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa “ Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”. Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi manusia muncul dalam kasus perkawinan beda agama berkaitan dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan sebagai peraturan pelaksana UU Perkawinan. Problem HAM yang muncul adalah:[17]
Pertama, soal sahnya perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) diatas terlihat bahwa sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi, ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni, pertama, meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah? Apakah perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan pertama dianggap tidak sah? Ketiga, kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk penundukan hukum. Disini terlihat adanya penyeludupan hukum dimana salah satu pihak secara pura-pura beralih agama. Keempat, yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri.
Kedua, soal pencatatan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peran pemerintah hanya sebatas melakukan pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah hanya mengatur aspek administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat dalam pasal 2 tersebut berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi persayaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi dari sistematika produk perundang-undangan dimana komponen-komponen yang menjadi bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.
D.  Pandangan Masyarakat tentang Nikah Mut’ah
Di tengah-tengah masyarakat kita sering mendengar tentang kawin kontrak. Sebuah perkawinan yang didasarkan pada kesepakatan untuk mengadakan ikatan lahir batin suami istri, yang mana ikatan perkawinannya disandarkan pada waktu tertentu yang sudah disepakati. Kita juga sering mendengar dan menemui tentang istilah nikah mut’ah. Bagaimana sebenarnya kawin model seperti ini, bagaimana pandangan para ulama terhadap model kawin mut’ah atau kawin sementara ini. Kita cermati pandangan dan pendapat dalam masalah ini.
Menurut sebagaian para ulama kawin mut’ah sering juga disebut dengan sebutan “kawin terputus”.[18] Disamping itu nikah mut’ah terkenal dengan sebutan “kawin sementara”, ada juga yang menyebutnya dengan sebutan “aqad kecil”. Kenapa disebut demikian, karena model perkawinan mut’ah ini amatlah terbatas dengan adanya pembatasan waktu. Samakah nikah mut’ah ini dengan nikah sementara ? Sebagian ulama yang lain memandang bahwa ada perbedaan antara nikah sementara dengan nikah mut’ah. Pada nikah mut’ah tidak dipergunakan didalam ijab qabul lafadz nikah atau lafadz yang sama artinya dengan nikah, akan tetapi dipergunakan lafadz mut’ah atau yang sama pengertiannya dengan nikah mut’ah. Sebaliknya pada nikah sementara, dipergunakan lafadz nikah atau yang sama artinya dengan itu.
Pandangan para ulama tentang nikah mut’ah akhirnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan sekali lagi karena adanya penghapusan hukum dari yang semula diperbolehkan kemudian diharamkan. Disini ada dua pendapat yang muncul menurut pandangan para ulama Islam dalam mensikapi perubahan hukum tentang nikah mut’ah ini, yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah haram secara mutlak dan halal secara mutlak. Apabila ada seorang laki-laki mengawini perempuannya untuk sementara waktu, yang bisasanya mengawini dengan maksud untuk bersenang-senang untuk sementara waktu saja, hal tersebut termasuk katagori nikah mut’ah. Model kawin semacam ini oleh para imam madzhab telah sepakat keharamannya. Menurut mereka, apabila sampai terjadi kawin mut’ah maka hukumnya tetap batal. Artinya dapat difasadkan. Kesepakatan akan batalnya nikah mut’ah, haram secar mutlak disampaikan oleh Jumhur Ulama diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abi Umrah Al Anshari, dan dari ulama Mutaakhirin seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan lain-lain.







IV.   Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama rentan sekali dengan masalah intern yang akan mengancam keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan nilai-nilai sakral dalam pernikahan. bahwa Wanita Muslim tidak boleh menikah dengan Laki-laki musyrik maupun Ahlu Kitab dan seorang pria muslim boleh menikah dengan wanita Ahlu Kitab, Akan tetapi tidak boleh dengan wanita musyrik.
Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:
a.         Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama Samawi.
b.         Wanita kitabiyah yang muhshanah.
c.         Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin.
Nikah Mut’ah ialah Nikah dengan seorang wanita untuk jangka waktu tertentu, lalu diceraikan. rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada empat :
9.    Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
10.     Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
11.     Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
12.     Kedudukan anak dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah biasa.
13.     Dalam nikah mut’ah masa iddah dihitung dua kali suci/haid.
14.     Bila tidak disyaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi.
15.     Tidak dikenal dengan nafkah iddah.
16.     Jangka waktu tertentu.
Adapun beberapa pendapat Ulama terutapa Ahli Fiqih empat Madzhab, yaitu:
ü Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanafi dalam pendapat barunya (Qaul Jadid), bahwa Mut’ah wajib kepada setiap wanita yang dicerai sebelum bercampur dan sebelum kepastian mahar.
ü Menurut Madzhab Hambali, bahwa Nikah Mut’ah itu wajib.
ü Menurut Madzab Maliki dan Syafi’i (Qaul Qadim), bahwa Nikah Mut’ah itu tidak wajib akan tetapi sunnah.




V.      Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat , kami sadar makalah yang kami buat jauh dari kriteria sempurna .Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan demi perbaikan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal ‘alamin............














DAFTAR PUSTAKA
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, 2010, Jakarta : AMZAH.
A. Hassan, Soal Tanya Jawab Tantang Bernagai masalah Agama, 1984, Bandung : CV.Diponegoro.
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, 2010, Jakarta : Sinar Grafika.
Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, 1999, Jakata : Gema Insani.
Hawwas, Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed, Fiqh Munakahat, 2009, Jakarta : AMZAH.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 6, 1997,Bandung : Al-Ma’arif.
Ulfiah, Nasrul Umam Syafi’i dan Ufi, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama?, 2005, Depok : Qultum Media.
 “Beberapa Pandangan Tentang Nikah Mut’ah”, http://sururudin.wordpress.com/2009/03/23/beberapa-pandangan-tentang-nikah-mut%E2%80%99ah/, Sabtu 1 Juni, 16:40.
 “Perkawinan Beda Agama dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/, Sabtu 1 Juni 2013, 16:45.



[1] Nasrul Umam Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama?, (Depok : Qultum Media), 2005, hlm 52.
[2] Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta : AMZAH), 2010, hlm 139.
[3] Ahlu Kitab adalah kaum yang sebelumnya telah percaya pada nabi dan kitab yang diturunkan Allah SWT yaitu kaum Yahudi dan Nasrani.
[4] Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, (Jakata : Gema Insani), 1999, hlm 21.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, (Bandung : Al-Ma’arif), 1997, hlm 137.
[6] Op Cit, hlm 21.
[7] Wanita Ahlu Kitab yang memelihara kehormatan dan membentengi dirinya dari perzinaan.
[8] “Perkawinan Lintas Agama Menurut Empat Madzhab”, http://idrus.blog.com/2010/02/16/perkawinan-lintas-agama-menurut-mazhab-empat/, Sabtu 1 Juni 2013, 15:54.
[9] Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika), 2010, hlm 177.
[10] jarimah adalah segala bentuk larangan syara’ yang diancam dengan hukuman, hudud atau hudada adalah ketentuan tentang hukuman yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang berbuat dosa maupun melanggar hukum. Maka Hukum hudud tidak dapat dimaafkan jika telah dilaporkan kepada qadi (hakim), dan qadi diberikan hak untuk menjatuhkan hukuman setimpal sesuai yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits.
[11] Op Cit, hlm 179.
[12] Beberapa lembaga ada yang masih aktif dan adapun yang sudah berhenti walaupun sekedar memberi konsultasi tentang Nikah beda agama.
[13] A. Hassan, Soal Tanya Jawab Tantang Bernagai masalah Agama, (Bandung : CV.Diponegoro), 1984, hlm 1063.
[14] “Beberapa Pandangan Tentang Nikah Mut’ah”, http://sururudin.wordpress.com/2009/03/23/beberapa-pandangan-tentang-nikah-mut%E2%80%99ah/, Sabtu 1 Juni, 16:40.
[15] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta : AMZAH), 2009, hlm 207-208.
[16]Tinjauan Nikah Mut'ah Menurut Hukum Islam dan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” http://simta.uns.ac.id/cariTA.php?act=daftTA&sub=new&fr=det&idku=496, Sabtu 1 Juni 2013, 15:40.
[17] “Perkawinan Beda Agama dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/, Sabtu 1 Juni 2013, 16:45.
[18] “Beberapa Pandangan Tentang Nikah Mut’ah”, http://sururudin.wordpress.com/2009/03/23/beberapa-pandangan-tentang-nikah-mut%E2%80%99ah/, Sabtu 1 Juni, 16:40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar