Nikah Beda Agama dan Nikah Mut’ah
(Dian Adi Perdana Ridwan)
I.
PENDAHULUAN
Dalam
kehidupan manusia banyak sekali kita menemukan masalah ini, terlebih
masalah pernikahan yang memiliki banyak bagian seperti memilih pasangan hidup
hingga masalah talaq dan perceraian. Pernikahan pada dasarnya adalah ikatan
lahir batin yang mengikat antara dua insan yaitu wanita dan pria sebagai
pasangan suami istri dengan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah.
Bahkan
sangat diharapkan sekali bahwa pernikahan akan berjalan abadi hingga akhir
hayat untuk membina keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun dalam
kenyataannya, suatu pernikahan ada masalah yang berakhir pada putusnya
pernikahan tersebut yang sering kita sebut perceraian. Dan pernikahan yang
terjadi dimanapun berbagai macam keadaannya, seperti pernikahan poligami,
poliandri, pernikahan beda agama, pernikahan sama jenis, pernikahan mut’ah atau
yang sering disebut nikah kontrak. Maka dalam hal ini pemakalah akan membahas nikah
beda agama dan nikah mut’ah dari sisi hukum islam maupun hukum negara terkhusus
yang terdapat di Indonesia.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
Hukum Nikah Beda Agama dalam perspektif Islam dan hukum Negara?
B.
Apa
Hukum Nikah Mut’ah dalam perspektif Islam dan hukum Negara?
C.
Bagaimana Perspektif Hak Asasi Manusia tentang
Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia?
D.
Bagaimana
Pandangan Masyarakat tentang nikah mut’ah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Nikah Beda Agama dalam perspektif Islam dan hukum Negara
Hukum Nikah dengan Wanita atau
laki-laki nonmuslim banyak sekali pendapat yang berbeda-beda, adapun beberapa
ayat yang menjadi landasan para ulama perihal terlarangnya perbedaan beda agama
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya
(perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqarah : 221).
Dalam
surat ini menjelaskan larangan seorang muslim untuk menikah dengan non muslim,
sebelum mereka masuk Islam. Permasalahan ini diasumsikan oleh para Ulama bahwa
akan menimbulkan banyak permasalahan yang akan menimbulkan fundamentalis
menyangkut keselamatan keimanan terutama pada orang muslim.[1]Di samping itu pernikahan
beda agama rentan sekali dengan masalah intern yang akan mengancam keharmonisan
rumah tangga dan menjauhkan nilai-nilai sakral dalam pernikahan.
Adapun
ayat yang menjelaskan bahwa Wanita Muslim tidak boleh menikah dengan Laki-laki
musyrik maupun Ahlu Kitab.[2]
Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.(Q.S.Al-Mumtahanah
: 10).
Sedangkan Allah SWT dalam Surat Al-Maidah ayat 5,
membolehkan seorang pria muslim menikah dengan wanita Ahlu Kitab (Sekalipun
dalam Surat Al-Bayyinah ayat 1, Ahlu Kitab[3]
itu termasuk Orang Kafir)[4].
Akan tetapi tidak boleh sebaliknya seperti yang dituliskan di atas.
dan (dihalalkan kamu berkahwin)
dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya di antara
perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatannya dari kalangan orang-orang yang diberikan Kitab dahulu daripada
kamu apabila kamu beri mereka mas kahwinnya, sedang kamu (dengan cara yang
demikian), bernikah bukan berzina dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi
perempuan-perempuan simpanan. (Q.S. Al-Maidah : 5)[5]
Rasulullah SAW pun bersabda seperti apa yang Allah
SWT firmankan dalam Al-Qur’an, yaitu:
Kita boleh menikah dengan
perempuan-perempuan Ahlu Kitab, Tetapi mereka tiodak boleh kawin dengan perempuan-perempuan
kita. (HR Ibnu Jarir)[6]
Maka dari ayat dan Hadits di atas kita dapat
menyimpulkan bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria musyrik
maupun Ahlu Kitab, akan tetapi pria muslim boleh menikah dengan wanita Ahlu
Kitab dan tidak boleh dengan wanita musyrik.
Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat
tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan kitabiyah,
sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan,
yaitu:
1.
Kitabiyah itu
benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak
beragama yang bukan agama Samawi.
2.
Wanita kitabiyah
yang muhshanah.[7]
3.
Ia bukan
kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan
kaum muslimin.
Adapun beberapa pendapat tentang
Pernikahan beda agama yang dikemukakan oleh 4 Madzhab pada Ilmu Fiqih, yaitu:
1)
Madzhab Hanafi
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita
musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas,
karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki
kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa
saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT,
termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang
yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh
dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya
makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang
besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh
tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan
minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2)
Madzhab Maliki
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama
ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya
makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah
atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh
menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si
isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama
ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut
tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka
diharamkan.
3)
Madzhab Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga
berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan
wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya,
sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab
ini adalah :
· Karena
Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa
lainnya.
· Lafal
min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada
dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut
mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut
agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu
semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut
Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan
Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min
qoblikum tersebut.
4)
Mazhab Hambali
Pada
mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan boleh menikahi
wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda
agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi
tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari
Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi
dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.[8]
Pernikahan
perbedaan agama pun sedikit banyak dibahas dan ditulis dalam undang-undang
Negara Republik Indonesia pada Pasal 2 RUU Perkawinan Tahun 1973 yang secara
tegas merumuskan perkawinan adalah sah jika dilakukan dihadapan pegawai
pencatat perkawinan, dicatatkan, dilangsungkan menurut undang-undang dan
ketentuan hukum perkawinan para pihak yang melakukannya asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang. Dan adapula adanya kesekularisasian di
bidang keabsahan perkawinan yang dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan Tahun 1973,
bahwa “Perbedaan karena kebangsaan, suku
bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan tidak
merupakan penghalang perkawinan”.[9]
Perkawinan beda agama telah banyak dibahas
sebelumnya bahwa baik menurut Hukum Islam maupun Hukum Negara sebagai Kompilasi
pernikahan beda agama tidak diperbolehkan walaupun tidak secara tegas karena
pernikahan ini lebih banyak menimbulkan kemudharatannya ketimbang
kemaslahatannya, bahkan pernikahan agama ini sering menjadi media kaum kafir
dan mesyrik sebagai pemurtadan bagi kaum muslim dengan dalih Hak Asasi Manusia
untuk memeluk agama yang diinginkan orang yang terkait. Sedangfkan pemurtadan
yang dilakukan muslim merupakan salah satu jarimah hudud[10],
yang hukumannya ditentukan secara pasti oleh Rasullullah SAW.
Perbuatan murtad yang bisa menjadi salah satu alasan
terputusnya pernikahan (perceraian) sesuai RUU-HM-PA-BPerkwn Tahun 2007[11],
rumusan ini sudah Islami . Jika ketentuan tentang Perkawinan beda agama itu
dibandingkan dengan perkawinan tidak dicatat, sebagaimana Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 143 RUU-HM-PA-BPerkwn Tahun
2007, bahwa perkawinan beda agama lebih dilindungi dari pada perkawinan tidak
dicatat. Karena itulah perkawinan beda agama marak sekali di Indonesia dan
adapula lembaga yang menyediakan perkawinan beda agama di Jakarta seperti Yayasan
Paramadina, The Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and
Peace (ICRP).[12]
Penyelenggaraan perkawinan beda agama oleh suatu lembaga juga tidak dilarang
ataupun diancam hukuman administrasi dan sebagainya, sehingga perkawinan beda
agama semakin meluas di Indonesia.
B.
Hukum
Nikah Mut’ah dalam perspektif Islam dan hukum Negara
Nikah Mut’ah ialah Nikah dengan
seorang wanita untuk jangka waktu tertentu, lalu diceraikan. Dalam beberapa
Kitab ada keterangan bahwa lamanya itu sampai 45 hari, tidak wajib memberi
nafkah, tidak menerima warisan, dan tidak pula ada masa iddah dan lain layaknya
pernikahan yang formal dan sah.[13] Sebagaimana yang telah tertulis dalam hadits Rasulullah SAW
tentang sifat-sifat tersebut, yang artinya:
“Dari Ibnu
Mas’ud, ia berkata: kami biasa pergi perang bersama Nabi SAW, padahal tidak ada
yang (ikut) bersama kami. Lalu kami bertanya (kepada Nabi SAW): Bukankah baik
kita berkebiri? Tetapi Nabi melarang kami dari yang demikian, kemudian ia beri
kelonggaran kepada kami, supaya kawin kepada seorang wanita dengan (upahan)
dari kain sutera untuk sati masa”.
(HR. Bukhori Muslim).
Dan adapula hadits lain yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, yaitu yang artinya:
“Dari Muhammad
bin Ka’ab dari Ibni ‘Abbas, ia berkata: Adalah kawin mut’ah pada awwal Islam,
ialah seorang laki-laki masuk ke satu negeri, yang tidak adanya baginya di sana
kenalan. Lali ia kawin dengan seorang wanita sekedar masa yang ia rasa, bahwa
ia akan tinggal di sana; maka wanita itu pelihara barang-barangnya, dan
mengurus keperluannya”.(HR. Tirmidzi)
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada
empat :
1.
Shighat, seperti
ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2.
Calon istri, dan
diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3.
Mahar, dengan
syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4.
Kedudukan anak
dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah biasa.
5.
Dalam nikah
mut’ah masa iddah dihitung dua kali suci/haid.
6.
Bila tidak
disyaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi.
7.
Tidak dikenal
dengan nafkah iddah.
8.
Jangka waktu
tertentu.[14]
Adapun
beberapa pendapat Ulama terutapa Ahli Fiqih empat Madzhab, yaitu:
a)
Menurut Madzhab
Syafi’i dan Hanafi dalam pendapat barunya (Qaul
Jadid), bahwa Mut’ah wajib kepada setiap wanita yang dicerai sebelum
bercampur dan sebelum kepastian mahar.
b)
Menurut Madzhab
Hambali, bahwa Nikah Mut’ah itu wajib.
c)
Menurut Madzab
Maliki dan Syafi’i (Qaul Qadim),
bahwa Nikah Mut’ah itu tidak wajib akan tetapi sunnah.
Semua
pendapat empat madzhab di atas berlandaskan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah : 236
“Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu,jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur
kepada merekadan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan
suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemamppuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian yang
menurutnya patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan”. (Q.S. Al-Baqarah : 236).[15]
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan nikah mut’ah sangat bertentangan sekali dan tidak sah untuk
dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah ini
bertentangan dengan aturan perundang-undangan tentang perkawinan Islam di
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang
kedudukan keluarga dari nikah mut’ah setelah perkawinan itu berakhir, karena
nikah mut’ah itu bertentangan dan tidak sah untuk dilakukan.[16]
Nikah mut’ah menurut Hukum Islam ada dua golongan yang
berbeda pendapat tentang masih boleh atau tidaknya nikah mut’ah dilakukan,
karena dua golongan ini sepakat bahwa nikah mut’ah pada awal era Islam
diperbolehkan. Kedua golongan itu adalah golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah
dan golongan Syi’ah. Golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah berpendapat
bahwa nikah mut’ah sudah tidak boleh dilakukan dan haram hukumnya karena Nash
yang memperbolehkan perkawinan tersebut sudah dihapus. Menurut golongan Ahlusunnah
Wal Jama’ah kedudukan keluarga dari
nikah mut’ah setelah perkawinan itu berakhir tidak ada, karena golongan ini
mengharamkan nikah mut’ah tersebut.
Sedangkan golongan Syi’ah berpendapat bahwa nikah mut’ah masih boleh
dan halal untuk dilakukan karena belum ada Nash yang menghapus kebolehan
nikah mut’ah tersebut. Kedudukan keluarga dari nikah mut’ah yang mengatur hanya
dari golongan Syi’ah, karena hanya golongan Syi’ahlah yang masih
membolehkan dan menghalalkan perkawinan tersebut. Kedudukan keluarga dari nikah
mut’ah yang mengatur hanya dari golongan Syi’ah, karena hanya golongan Syi’ahlah
yang masih membolehkan dan menghalalkan perkawinan tersebut. Menurut golongan Syi’ah
kedudukan keluarga dari nikah mut’ah setelah perkawinan itu berakhir adalah
tentang suami sebagai penyewa dan istri sebagai wania yang disewa, anak hasil
dari nikah mut’ah sama seperti anak dari perkawinan daim, waris dan
nafkah sesuai dengan perjanjian yang disepakti, tapi jika dalam perjanjian
nikah mut’ah waris dan nafkah antara suami istri tidak dicantumkan maka waris
dan nafkah itu tidak ada dalam nikah mut’ah.
C.
Perspektif
Hak Asasi Manusia tentang
Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Hal yang signifikan di dalam
memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu
sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin
hak-hak warganya. Dan hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan
perkawinan beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum,
sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan beda agama adalah persoalan
teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena Indonesia bukan negara agama,
maka yang menjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun hukum nasional, seperti
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan diri pada apa yang
dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi
bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
Jika melihat persoalan
perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di Indonesia diatur melalui
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini terdiri dari 14 bab
dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanannya dan dinyatakan berlaku efektif
sejak tanggal 1 Oktober 1975. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka
pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi
lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa “ Tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945”. Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi
manusia muncul dalam kasus perkawinan beda agama berkaitan dengan pasal 2 ayat
(1) UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pencatatan Perkawinan sebagai peraturan pelaksana UU Perkawinan.
Problem HAM yang muncul adalah:[17]
Pertama, soal sahnya perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1)
diatas terlihat bahwa sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini hanya dapat
dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya
memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi, ada empat cara yang lazim
ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni, pertama, meminta
penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan
melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi
dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua,
perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih
dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru
disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya
perkawinan mana yang dianggap sah? Apakah perkawinan menurut hukum yang kedua
(terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan pertama dianggap tidak sah? Ketiga,
kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk
pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah
agama’ sebagai bentuk penundukan hukum. Disini terlihat adanya penyeludupan
hukum dimana salah satu pihak secara pura-pura beralih agama. Keempat,
yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri.
Kedua, soal pencatatan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (2)
dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Peran pemerintah hanya sebatas melakukan
pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah hanya mengatur aspek
administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat dalam pasal 2
tersebut berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi
persayaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi dari
sistematika produk perundang-undangan dimana komponen-komponen yang menjadi
bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.
D.
Pandangan
Masyarakat tentang Nikah Mut’ah
Di tengah-tengah
masyarakat kita sering mendengar tentang kawin kontrak. Sebuah perkawinan yang
didasarkan pada kesepakatan untuk mengadakan ikatan lahir batin suami istri,
yang mana ikatan perkawinannya disandarkan pada waktu tertentu yang sudah
disepakati. Kita juga sering mendengar dan menemui tentang istilah nikah
mut’ah. Bagaimana sebenarnya kawin model seperti ini, bagaimana pandangan para
ulama terhadap model kawin mut’ah atau kawin sementara ini. Kita cermati
pandangan dan pendapat dalam masalah ini.
Menurut
sebagaian para ulama kawin mut’ah sering juga disebut dengan sebutan “kawin
terputus”.[18]
Disamping itu nikah mut’ah terkenal dengan sebutan “kawin sementara”, ada juga
yang menyebutnya dengan sebutan “aqad kecil”. Kenapa disebut demikian, karena
model perkawinan mut’ah ini amatlah terbatas dengan adanya pembatasan waktu.
Samakah nikah mut’ah ini dengan nikah sementara ? Sebagian ulama yang lain
memandang bahwa ada perbedaan antara nikah sementara dengan nikah mut’ah. Pada
nikah mut’ah tidak dipergunakan didalam ijab qabul lafadz nikah atau lafadz
yang sama artinya dengan nikah, akan tetapi dipergunakan lafadz mut’ah atau
yang sama pengertiannya dengan nikah mut’ah. Sebaliknya pada nikah sementara,
dipergunakan lafadz nikah atau yang sama artinya dengan itu.
Pandangan para
ulama tentang nikah mut’ah akhirnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan sekali
lagi karena adanya penghapusan hukum dari yang semula diperbolehkan kemudian
diharamkan. Disini ada dua pendapat yang muncul menurut pandangan para ulama
Islam dalam mensikapi perubahan hukum tentang nikah mut’ah ini, yaitu ada yang
mengatakan bahwa nikah mut’ah haram secara mutlak dan halal secara mutlak. Apabila
ada seorang laki-laki mengawini perempuannya untuk sementara waktu, yang
bisasanya mengawini dengan maksud untuk bersenang-senang untuk sementara waktu
saja, hal tersebut termasuk katagori nikah mut’ah. Model kawin semacam ini oleh
para imam madzhab telah sepakat keharamannya. Menurut mereka, apabila sampai
terjadi kawin mut’ah maka hukumnya tetap batal. Artinya dapat difasadkan.
Kesepakatan akan batalnya nikah mut’ah, haram secar mutlak disampaikan oleh
Jumhur Ulama diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abi Umrah Al Anshari, dan dari ulama
Mutaakhirin seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan lain-lain.
IV.
Kesimpulan
Dalam
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama rentan sekali dengan
masalah intern yang akan mengancam keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan
nilai-nilai sakral dalam pernikahan. bahwa Wanita Muslim tidak boleh menikah
dengan Laki-laki musyrik maupun Ahlu Kitab dan seorang
pria muslim boleh menikah dengan wanita Ahlu Kitab, Akan tetapi tidak boleh
dengan wanita musyrik.
Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat
tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan kitabiyah,
sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan,
yaitu:
a.
Kitabiyah itu
benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak
beragama yang bukan agama Samawi.
b.
Wanita kitabiyah
yang muhshanah.
c.
Ia bukan
kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan
kaum muslimin.
Nikah Mut’ah ialah Nikah dengan
seorang wanita untuk jangka waktu tertentu, lalu diceraikan. rukun
nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada empat :
9.
Shighat, seperti
ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
10.
Calon istri, dan
diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
11.
Mahar, dengan
syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
12.
Kedudukan anak
dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah biasa.
13.
Dalam nikah
mut’ah masa iddah dihitung dua kali suci/haid.
14.
Bila tidak
disyaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi.
15.
Tidak dikenal
dengan nafkah iddah.
16.
Jangka waktu
tertentu.
Adapun
beberapa pendapat Ulama terutapa Ahli Fiqih empat Madzhab, yaitu:
ü Menurut
Madzhab Syafi’i dan Hanafi dalam pendapat barunya (Qaul Jadid), bahwa Mut’ah wajib kepada setiap wanita yang dicerai
sebelum bercampur dan sebelum kepastian mahar.
ü Menurut
Madzhab Hambali, bahwa Nikah Mut’ah itu wajib.
ü Menurut
Madzab Maliki dan Syafi’i (Qaul Qadim),
bahwa Nikah Mut’ah itu tidak wajib akan tetapi sunnah.
V.
Penutup
Demikianlah
makalah ini kami buat , kami sadar makalah yang kami buat jauh dari kriteria
sempurna .Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan
demi perbaikan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin ya rabbal ‘alamin............
DAFTAR PUSTAKA
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, 2010, Jakarta : AMZAH.
A. Hassan, Soal
Tanya Jawab Tantang Bernagai masalah Agama, 1984, Bandung : CV.Diponegoro.
Djubaidah, Neng, Pencatatan
Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum Tertulis di Indonesia
dan Hukum Islam, 2010, Jakarta : Sinar Grafika.
Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, 1999,
Jakata : Gema Insani.
Hawwas, Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab
Sayyed, Fiqh Munakahat, 2009, Jakarta
: AMZAH.
Sabiq, Sayyid, Fikih
Sunnah 6, 1997,Bandung : Al-Ma’arif.
Ulfiah, Nasrul Umam
Syafi’i dan Ufi, Ada Apa dengan Nikah
Beda Agama?, 2005, Depok : Qultum Media.
“Beberapa Pandangan Tentang Nikah Mut’ah”, http://sururudin.wordpress.com/2009/03/23/beberapa-pandangan-tentang-nikah-mut%E2%80%99ah/,
Sabtu 1 Juni, 16:40.
“Perkawinan
Beda Agama dan Hak Asasi Manusia
di Indonesia”, http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/,
Sabtu 1 Juni 2013, 16:45.
[1]
Nasrul Umam Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada
Apa dengan Nikah Beda Agama?, (Depok : Qultum Media), 2005, hlm 52.
[2]
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta
: AMZAH), 2010, hlm 139.
[3]
Ahlu Kitab adalah kaum yang sebelumnya telah percaya pada nabi dan kitab yang
diturunkan Allah SWT yaitu kaum Yahudi dan Nasrani.
[4]
Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan
Keluarga, (Jakata : Gema Insani), 1999, hlm 21.
[5]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6,
(Bandung : Al-Ma’arif), 1997, hlm 137.
[6]
Op Cit, hlm 21.
[7]
Wanita Ahlu Kitab yang memelihara kehormatan dan membentengi dirinya dari
perzinaan.
[8] “Perkawinan Lintas Agama Menurut
Empat Madzhab”, http://idrus.blog.com/2010/02/16/perkawinan-lintas-agama-menurut-mazhab-empat/,
Sabtu 1 Juni 2013, 15:54.
[9]
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan
Perkawinan Tidak Dicatat: Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam,
(Jakarta : Sinar Grafika), 2010, hlm 177.
[10]
jarimah adalah segala bentuk larangan syara’ yang diancam dengan hukuman, hudud
atau hudada adalah ketentuan tentang hukuman yang diberikan Allah SWT kepada
manusia yang berbuat dosa maupun melanggar hukum. Maka Hukum hudud tidak dapat dimaafkan jika telah
dilaporkan kepada qadi (hakim), dan qadi diberikan hak untuk menjatuhkan
hukuman setimpal sesuai yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits.
[11]
Op Cit, hlm 179.
[12]
Beberapa lembaga ada yang masih aktif dan adapun yang sudah berhenti walaupun
sekedar memberi konsultasi tentang Nikah beda agama.
[13]
A. Hassan, Soal Tanya Jawab Tantang
Bernagai masalah Agama, (Bandung : CV.Diponegoro), 1984, hlm 1063.
[14]
“Beberapa Pandangan Tentang Nikah Mut’ah”, http://sururudin.wordpress.com/2009/03/23/beberapa-pandangan-tentang-nikah-mut%E2%80%99ah/,
Sabtu 1 Juni, 16:40.
[15]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta : AMZAH), 2009, hlm 207-208.
[16]
“Tinjauan Nikah Mut'ah Menurut
Hukum Islam dan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” http://simta.uns.ac.id/cariTA.php?act=daftTA&sub=new&fr=det&idku=496,
Sabtu 1 Juni 2013, 15:40.
[17]
“Perkawinan Beda Agama dan Hak
Asasi Manusia di Indonesia”, http://bangdenjambi.wordpress.com/perkawinan-beda-agama-dan-hak-asasi-manusia-di-indonesia/,
Sabtu 1 Juni 2013, 16:45.
[18]
“Beberapa Pandangan Tentang Nikah Mut’ah”, http://sururudin.wordpress.com/2009/03/23/beberapa-pandangan-tentang-nikah-mut%E2%80%99ah/,
Sabtu 1 Juni, 16:40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar